Antara Pola Asuh Otoritatif dan Otoriter
pola_asuh_otoritatif

Antara Pola Asuh Otoritatif dan Otoriter: Mana yang Lebih Baik untuk Anak Indonesia?

Agnes Maria Sumargi, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya; Ania Filus, University of Sheffield; Divna Haslam, Queensland University of Technology, dan Lia Mawarsari Boediman, Universitas Indonesia

Budaya berpengaruh pada pola pengasuhan anak.

Penerapan pola asuh di negara-negara Barat yang memiliki rasa individualitas yang tinggi. Ini berbeda dengan penerapan pola asuh di negara-negara Asia yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan.

Penelitian menunjukkan bahwa pola pengasuhan yang paling cocok untuk anak-anak di negara Barat adalah pola pengasuhan otoritatif.

Diana Baumrind, ahli psikologi perkembangan dari Amerika Serikat mengartikan pengasuhan otoritarif sebagai pengasuhan yang hangat, tanggap terhadap kebutuhan anak, namun juga tegas dengan memberikan batasan dan aturan.

Hasil penelitian di atas menunjukkan pengasuhan otoritatif yang bersifat mendukung kemandirian anak tampak sejalan dengan prinsip dalam budaya Barat.

Sayangnya, tidak semua penelitian menemukan manfaat pola pengasuhan otoritatif pada masyarakat dari budaya Timur.

Namun, penelitian terbaru kami menunjukkan bahwa pola pengasuhan otoritarif memiliki dampak positif bagi anak yang berasal dari budaya Barat maupun Timur.

Hasil riset

Kami melakukan penelitian pada 2015 dengan melibatkan 387 orang tua yang berasal dari Indonesia dan Australia untuk mewakili dua budaya yang berbeda.

Dalam penelitian ini, kami meminta para orang tua yang memiliki anak dengan usia yang berkisar antara 2-10 tahun ini untuk mengisi kuisioner guna melihat dampak pengasuhan otoritatif terhadap pengelolaan emosi dan perilaku anak.

Berdasarkan kuesioner yang mereka isi, kami menemukan bahwa pengasuhan otoritatif berdampak positif pada anak yang berasal dari budaya Barat maupun budaya Timur.

Anak yang diasuh dengan cara otoritatif menunjukkan pengelolaan emosi yang baik dan tidak banyak menunjukkan perilaku bermasalah seperti marah-marah, berkelahi, dan berteriak. Semakin sering orangtua menerapkan pengasuhan otoritatif, semakin baik pengelolaan emosi anak dan semakin berkurang perilaku bermasalahnya.

Sementara itu, orang tua melaporkan pengelolaan emosi yang buruk pada anak yang mendapatkan pola pengasuhan yang berseberangan dengan pola pengasuhan otoritatif yaitu pola pengasuhan otoriter. Berbeda dengan pola asuh otoritarif, pola asuh otoriter cenderung menuntut dan mengendalikan anak tanpa kompromi dan memicu munculnya lebih banyak perilaku bermasalah pada anak.

Penelitian kami mencatat dampak negatif dari pola pengasuhan otoriter oleh orang tua dengan budaya Barat maupun Timur. Semakin sering orang tua menerapkan pengasuhan otoriter, semakin kurang baik pengelolaan emosi anak dan semakin sering anak menampakkan perilaku bermasalah.

Hasil penelitian kami ini mendukung hasil dari riset-riset sebelumnya yang menyatakan bahwa pengasuhan otoritatif berdampak positif bagi perkembangan sosial emosi anak.

Penelitian kami membuktikan bahwa pengasuhan otoritatif berdampak positif pada keluarga dari budaya Timur yang menekankan harmonisasi dan kepatuhan pada orangtua.

Sebaliknya, pengasuhan otoriter yang banyak dijalankan oleh orang tua dari budaya Timur dengan tujuan agar anak menjadi disiplin dan patuh pada otoritas malah menimbulkan dampak yang negatif bagi perkembangan sosial dan emosi anak.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam situasi saat ini, pengasuhan otoritatif masih menjadi pilihan yang terbaik bagi para orang tua baik dari budaya Barat dan Timur.

Dampak baik pengasuhan otoritatif

Berbeda dengan pengasuhan otoriter, pengasuhan otoritatif justru mendorong anak untuk mengekspresikan pemikiran dan bernegosiasi.

Orang tua dengan pengasuhan otoritatif terbuka terhadap pandangan anak, melibatkan anak dalam pembuatan aturan dan batasan.

Selain itu, pengasuhan otoritatif tidak sama dengan pengasuhan permisif yang cenderung membebaskan dan memanjakan anak. Batasan tetap dibutuhkan untuk menumbuhkan disiplin dan kontrol diri. Dengan demikian, pengasuhan otoritatif tidak ketat dan keras seperti pengasuhan otoriter namun tidak lunak seperti pengasuhan permisif. Kebebasan dan kontrol diseimbangkan.

Penelitian menunjukkan bahwa pengasuhan otoritatif berdampak positif pada perkembangan sosial dan emosi anak, dan juga pada prestasi sekolahnya.

Anak yang diasuh dengan pengasuhan otoritatif lebih mandiri, percaya diri, memiliki kontrol diri dan dapat menjalin relasi sosial dengan baik.

Selain itu, dibandingkan dengan pengasuhan otoriter dan permisif, anak yang diasuh dengan pengasuhan otoritatif menunjukkan perilaku bermasalah yang lebih sedikit. Mereka mampu menyesuaikan diri dengan situasi lingkungan dengan lebih baik sehingga jarang mengalami masalah seperti kecemasan, menarik diri, dan depresi, ataupun agresi (menyerang orang lain).

Menerapkan pola asuh otoritatif

Berikut adalah cara menjalankan pengasuhan otoritatif pada anak:

1.Pertama,

Penting bagi orang tua untuk mendengarkan anak dan berusaha memahami kebutuhan serta sudut pandangnya. Dengan mendengarkan, orang tua menunjukkan perhatian dan kepeduliannya.

2.Kedua,

Tunjukkan sikap yang hangat dengan memuji anak atas perilakunya yang baik dan meluangkan waktu bersama.

Ketiga,

Berikan kesempatan anak untuk berbicara dan membiarkannya mengambil keputusan sendiri.

Keempat, Ajak anak berbicara mengenai aturan dan batasan. Penting bagi orang tua untuk menjelaskan alasan di balik aturan dan mendiskusikan berbagai akibat yang mungkin terjadi apabila aturan dilanggar. Pada saat inilah terjadi komunikasi dan negosiasi antara orang tua dan anak.

Tentu saja tidak mudah untuk menjalankan pengasuhan otoritatif, orang tua butuh kesabaran, ketenangan, dan keuletan. Namun apabila orangtua mencoba melakukannya, niscaya hal ini akan mendatangkan kebaikan pada anak kini dan nanti.

The Conversation

Agnes Maria Sumargi, Dosen Fakultas Psikologi , Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya; Ania Filus, Director, Outcomes Research and Analytics , University of Sheffield; Divna Haslam, Senior Research Fellow (Faculty of Law/ Health) & Clinical Psychologist, Queensland University of Technology, dan Lia Mawarsari Boediman, Ketua Program Studi Psikologi Profesi Universitas Indonesia, Universitas Indonesia

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

______________________________________________

Ilustrasi: Baby photo created by pressfoto - www.freepik.com