Waspadai Perilaku Risiko Stunting hingga Anak Berusia 2 Tahun

Waspadai Perilaku Risiko Stunting hingga Anak Berusia 2 Tahun

Ada lima tahap selama 1000 HPK (hari pertama kehidupan) yang berisiko memicu stunting. Dua tahap pertama yakni selama melahirkan dan saat melahirkan, telah dibahas di sini. Kini kita masuk ke tahap selanjutnya, yakni perilaku risiko stunting hingga anak berusia 2 tahun.

Hal-hal yang tampaknya sepele, bisa jadi merupakan perilaku risiko stunting. Setelah bayi lahir, maka tantangannya adalah membentuk pola makan yang sehat sejak awal. “Suami dan keluarga harus mendukung ibu untuk memberikan ASI eksklusif hingga bayi berusia 6 bulan,” tegas tegas pakar nutrisi Dr. Rita Ramayulis, DCN, M.Kes. Dilanjutkan dengan MPASI (makanan pendamping ASI) pada usia 7 bulan. Berikut ini pemaparannya.

 

Bayi usia 0-6 bulan

ASI adalah makanan terbaik bagi bayi. Berbagai studi menemukan, ASI menurunkan berbagai risiko yang bisa memicu stunting, misalnya infeksi dan diare. ASI harus diberikan sejak bayi lahir, dan idealnya secara eksklusif hingga bayi berusia 6 bulan.

Bayi tidak diberi kolostrum

Kolostrum adalah ASI pertama, yang berwarna kekuningan/oranye. Dalam kolostrum terdapat begitu banyak antibodi dan dan sel-sel darah putih, yang akan membantu imunitas bayi melawan infeksi. “Masih banyak ibu yang tidak memberi kolostrum karena warnanya kuning. Dianggap kotor, lalu dibuang,” sesal Rita, dalam diskusi daring bersama Tanoto Foundation, Rabu (29/7/2020).

Menggap bahwa ASI = minuman

Ada anggapan bahwa ASI adalah minuman, bukan makanan. Alhasil, bayi diberi makanan lain agar kenyang. Akhirnya, tujuan ASI eksklusif tidak tercapai. Hingga usia 6 bulan, usus bayi belum bisa mencerna makanan padat, selembut apapun teksturnya. Usus bayi hanya bisa menerima makanan cair yakni ASI, atau susu formula bila bayi benar-benar tidak bisa mendapat ASI.

Tidak mengerti arti tangisan bayi

Hal ini bisa sangat merugikan bayi. “Tiap kali bayi menangis dianggap kelaparan. Akhirnya begitu bayi menangis tapi ASI sudah kosong, dianggap bayi masih lapar sehingga diberi makanan atau minuman lain,” tutur Rita.

Menganggap bahwa menyusui adalah hal biasa

“Dianggapnya, yang penting mulut bayi sudah menempel di puting ibu. Lalu ibu beraktivitas lain sambil menyusui. Memasak, menonton, bahkan bekerja di kebun,” ungkap Rita. Ini membuat perlekatan mulut bayi dengan puting susu ibu tidak optimal, sehingga asupan ASI yang diterima bayi pun tidak optimal. Selain itu, ikatan emosional antara ibu dan bayi saat menyusui juga tidak terbentuk.

Cara menyusui salah

Cara menyusui yang salah bisa membuat puting ibu luka. Kalau sudah begini, “Ibu pun trauma dan enggan menyusui.”

Tidak paham tahapan pengeluaran ASI

Dalam sekali menyusui, ada ASI depan (foremilk) dan ASI belakang (hindmilk). Di awal menyusui, yang keluar adalah ASI depan, yang kaya akan karbohidrat dan protein. Teksturnya lebih cair dan warnanya lebih pucat. Di tengah menyusui keluarlah ASI belakang yang lebih kental, dan kaya akan lemak.

Bila ibu tidak memahami hal ini, bisa jadi bayi menyusu tidak sampai habis dari satu payudara, lalu pindah ke payudara lain. “Akibatnya, bayi hanya mendapat karbohidrat, air dan protein dari ASI, tapi tidak mendapat lemak,” terang Rita. Ini membuat bayi jadi cepat lapar, rewel, dan kenaikan berat badannya tidak optimal.

 

Bayi usia 7-11 bulan

Di usia ini, bayi mulai mendapat MPASI. Ibu perlu mengenali tanda-tanda bayi siap makan. Bila bayi belum menunjukkan tanda-tanda tersebut di usia 7 bulan, bukan berarti MPASI ditunda. Segera bawa bayi ke dokter untuk menelaah apa penyebabnya, dan dilakukan stimulasi untuk merangsang motorik bayi, agar ia siap makan. Perilaku risiko stunting apapun harus segera diperbaiki.

Pemberian MPASI yang salah

Menurut Rita, masih banyak ibu yang berpatokan pada gigi bayi saat memberi MPASI. “Saat gigi bayi belum ada hanya dikasih air dan makanan cair, dan ketika giginya sudah tumbuh, diberi makanan keluarga,” papar Rita. Padahal, patokan tekstur MPASI bukan hanya gigi bayi. Usia dan kondisi bayi secara keseluruhan juga jadi pertimbangan.

Perhatikan pula menu MPASI. Jangan sekadar mengikuti tren seperti puree buah dan sayur. “Menu MPASI harus seimbang atau 4 bintang,” tandas Rita. Yakni mengandung karbohidrat, protein hewani, protein nabati, dan sayur.

Rasa MPASI menuruti persepsi ibu

Dalam persepsi ibu, rasa enak berasal dari garam dan gula. Boleh saja menambahkan garam pada MPASI, tapi cukup sedikit saja, hanya untuk menambah rasa. Biarlah bayi menyicipi langsung rasa makanan asli, dengan sesedikit mungkin tambahan garam.

Kesalahan persepsi lain, ibu kerap menganggap sayur tidak enak, sehingga tidak diberikan pada bayi. Memang, bayi hanya membutuhkan sedikit sayur. Namun harus sudah mulai diperkenalkan sejak awal, agar ia terbiasa dengan rasa dan tekstur serat pada sayur.

 

Anak usia 12-24 bulan

Tantangannya berbeda lagi di usia ini. Sering kali berkaitan dengan mogok makan, dan perilaku ngambek si Kecil.

Membiarkan anak tidak mau makan

Kerap anak mulai menunjukkan perilaku pilih-pilih makanan atau mogok makan di usia ini. “Jangan anggap ini hal biasa yang akan hilang sendiri nanti. Harus ditelusuri apa penyebabnya, dan dilakukan intervensi,” tegas Rita.

Ibu takut memberi variasi makanan

Tak jarang ibu terlalu takut memberi makan anak di luar kebiasaan makan keluarga. Akhirnya menu makan anak itu-itu saja. Anak jadi tidak terbiasa dengan variasi makanan, dan asupan gizinya pun tidak beragam.

Hilangkan pula bahwa makan itu harus nasi. Akhirnya porsi basi paling banyak sehingga anak kenyang nasi, dan tidak cukup mendapat protein dan sayur. Ini termasuk perilaku risiko stunting yang diam-diam mengintai.

Mengalah saat anak ngambek

Di usia ini, anak suka mengetes ibu dengan ngambek dan tantrum. “Akhirnya, ibu memberinya jajanan agar ia tenang. Ini harus dihindari,” ujar Rita.

Ibu memang berperan besar dalam membentuk perilaku untuk mencegah stunting. Namun bukan berarti semua beban ada di pundak ibu, hingga ibu capek sendiri. Suami dan anggota keluarga lain harus ikut terlibat dan mendukung ibu, demi menghindari perilaku risiko stunting. (nid)

____________________________________________

Ilustrasi: Tree photo created by freepic.diller - www.freepik.com