Kejadian kejang bisa sangat traumatis, baik bagi si penderita atau keluarga. Ada beberapa hal bisa memicu kejang, namun bila kejang disebabkan oleh epilepsi, terdapat risiko kerusakan otak jika tidak diobati dengan benar.
Prevalensi epilepsi di Indonesia diperkirakan encapai 0,5 – 0,6% dari total penduduk, atau sekitar 1,5 juta jiwa. Epilepsi adalah gangguan neurologis yang ditandai oleh aktivitas listrik otak yang tidak normal, sehingga menyebabkan kejang berulang. Aktivitas listrik yang tidak terkendali ini bisa memicu berbagai gejala, misalnya kejang, gerakan tubuh yang tidak terkendali, perubahan perilaku dan gangguan kesadaran.
Dr. Ruth Rachmawati, medical affairs PT. Abbott Indonesia menjelaskan untuk disebut kejang akibat epilepsi setidaknya terjadi dua kejang tanpa tanpa pencetus (misalnya didahului demam tinggi) yang terpisah dalam waktu 24 jam atau lebih.
“Kalau ada pasien jam 8 pagi kejang, lalu kejang lagi jam 8 malam, hal tersebut belum bisa dikatakan epilepsi. Baru disebut first unprovoked seizure. Jadi itu kalau kejang baru pertama terjadi dengan ciri-ciri begitu dalam <24 jam. Jika terjadi berulang baru dicek secara menyeluruh. Dari pemeriksaan fisik, anamnesis, neurologis, baru bisa ditegakkan diagnosanya,” terang dr. Ruth, kepada OTC Digest.
Studi Berg, et al (2010) menjelaskan epilepsi itu berkontribusi terhadap gangguan kognitif dan perilaku yang parah, melebihi yang diperkirakan dari patologi yang mendasarinya, dan gangguan ini dapat memburuk seiring waktu.
Kenapa epilepsi bisa terjadi? “Ada faktor komorbid, ada faktor etiologi (genetik, infeksi di otak, kelainan struktur otak, imunitas). Kalau dia sudah terdiagnosis walaupun faktor penyebabnya sudah lama/diobati, tetapi tetap bisa tiba-tiba serangan kejang,” dr. Ruth menjelaskan.
Faktor komorbid adalah kondisi lain yang sering terjadi bersamaan dengan epilepsi. Kondisi ini bisa menjadi penyebab, pemicu, atau bahkan akibat dari epilepsi itu sendiri. Antara lain gangguan neurologis (cedera kepala, stroke, tumor otak, kelainan otak sejak lahir atau demensia), gangguan mental (kecemasan, depresi, dll), dan risiko lainnya (terpapar cahaya berkedip, konsumsi narkoba, dll).
Secara umum berdasarkan tipe kejangnya, epilepsi terbagi menjadi generalized seizure (kejang/epilepsi general) dan focal seizure (kejang fokal).
“Saat kejadian kejang, aliran listrik (otak) mengalami gangguan, dan biasanya ada kerusakan jaringan di otak juga. Kalau distribusinya bilateral (kedua bagian otak mengalami gangguan sinyal listrik), disebut epilepsi general. Seluruh tubuh mengalami kejang,” terang dr. Ruth.
Kejang general ditandai dengan kaku seluruh badan, kelojotan, sampai mulut berbusa. Sedangkan kejang fokal hanya sebagian tubuh saja, misalnya pipi berkedut, satu otot tangan kaku. Dalam pemeriksaan neurologis (EEG atau MRI) kejang fokal biasanya berasal dari jaringan yang terbatas (terlokalisasi) di satu bagian otak saja.
Ada pula yang disebut kejang mioklonik, yakni kejang singkat dan tiba-tiba yang menyebabkan otot berkontraksi atau menyentak. Kejang ini biasanya berlangsung sangat singkat, tidak menyakitkan, dan tidak selalu merupakan tanda epilepsi.
Baca juga: Epilepsi Absen, Serangan Epilepsi Tanpa Kejang
Jika epilepsi tidak terkontrol, kejang terus berulang, maka kerusakan jaringan otak makin luas/parah. Berhubungan erat dengan kualitas hidup pasien, berisiko menyebabkan keterbelakangan fisik.
“Pernah lihat anak-anak cacat fisik, misalnya makrosefali, dan punya epilepsi, kejang berulang?Akhirnya tangan dan kaki anak tersebut kaku, tidak bisa jalan, bahkan tidak bisa duduk. Tangan dan kaki kaku itu berarti betapa sering episode epilepsinya,” terang dr. Ruth.
Memulai pengobatan
Terapi epilepsi bersifat jangka panjang, bahkan pada beberapa kasus seumur hidup. Pasalnya, pasien mungkin mengalami kekambuhan.
Dr. Ruth menjelaskan, dalam memulai pengobatan epilepsi, dokter akan mempertimbangkan manfaat dan risikonya. Semua obat anti epilepsi (OAE) memiliki efek samping, terlebih lagi obat dikonsumsi jangka panjang.
“Obat bersifat individual, karena kecocokan pasien terhadap obat berbeda-beda. Kalau sudah terkontrol – interval antarkejang > 6 bulan, tidak perlu diobati,” katanya.
Pemilihan OAE berdasarkan tipe kejang. Dari berbagai jenis epilepsi dan obat yang ada, salah satunya adalah valproate. Ia efektif untuk berbagai tipe kejang/epilepsi.
Valproate (asam valproate /divalproex sodium) merupakan obat lini pertama untuk berbagai jenis epilepsi.
Mono atau politerapi?
Drs. Budi Raharjo, Apt, Sp.FRS, Wakil Ketua I PD IAI (Ikatan Apoteker Indonesia) Jawa Tengah, menambahkan, pemberian OAE seyogyanya dimulai dari monoterapi (satu jenis obat), dengan dosis kecil.
Valproate merupakan OAE spektrum luas, bekerja dengan dua mekanisme: memblok kanal Na (natrium) dan memodulasi GABA (gamma-aminobutyric Acid), suatu neurotransmiter inhibitor utama di sistem saraf pusat.
“Ibarat mobil, natrium itu ngegas, nah valproate itu menutup gasnya. Sementara GABA ini seperti rem tangannya,” urai apt. Budi. “Monoterapi dengan dosis optimal. Terapi kombinasi hanya bila perlu. Perubahan obat (dosis atau jenisnya) dilakukan bertahap, sambil evaluasi komorbiditas dan interaksi obat.”
Lama pengobatan untuk epilepsi general adalah dua tahun hingga bebas kejang, dr. Ruth menambahkan. Jika dalam pemeriksaan EEG masih ada kelainan, obat dilanjutkan hingga 3 tahun bebas kejang. Pada kejang fokal pengobatan selama 3 tahun.
“Penghentian obat (tapering off) dilakukan secara bertahap sedikitnya 2-3 bulan. Misalnya 75% dosis menjadi 50% dosis, turun lagi 25% dosis, 1 kali sehari. Bila pasien mendapatkan lebih dari 1 obat, tapering offdilakukan satu per satu,” pungkas dr. Ruth. (jie)