Virus Corona : Kenapa Kita Mendapatkan Penyakit Dari Hewan? | OTC Digest

Virus Corona : Kenapa Kita Mendapatkan Penyakit Dari Hewan?

Dunia sedang dihadapkan dengan wabah virus corona jenis baru yang hingga saat ini secara global menginfeksi lebih dari 17.000 orang. Diketahui vurs corona dan banyak virus lainya dimulai dari hewan yang menyebar ke manusia.

Selama lebih dari 50 tahun penyakit-penyakit infeksi menyebar sangat cepat, dan ‘melompat’ dari antarhewan menjadi dari hewan ke manusia, yang akhirnya dari manusia ke manusia.

Krisis infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) tahun 1980-an aslinya berasal dari monyet. Tahun 2004-2007 ada pandemik virus flu burung, demikian juga geger virus babi di tahun 2009. Yang lebih baru adalah SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) yang dicurigai berasal dari kelelawar. Binatang ini juga menyebabkan ebola.

Pada kasus virus corona baru ini (2019-nCov) peneliti masih belum menemukan pasti asal muasal virus, dicurigai berasal dari kelelawar atau ular. Otoritas kesehatan hanya memastikan bahwa virus corona baru ini berasal dari pasar hewan liar di Wuhan. Ini menggambarkan manusia kerap kali mendapat penyakit dari hewan; sebagian besar berasal dari hewan liar.

Menurut Prof. Tim Benton, direktur penelitian di Chatham House, the Royal Institute of International Affair, Inggris, sebagian besar hewan membawa patogen, baik itu bakteri, virus atau parasit yang berpotensi menyebabkan penyakit.

Sebagian besar patogen tidak bisa hidup lama di udara, kemampuan hidup patogen sangat bergantung dengan host-nya. “Dan berpindah spesies adalah salah satu cara untuk mempertahankan hidupnya,” terang Prof. Benton, dilansir dari bbc.com.

Sementara itu sistem imun host yang baru akan mencoba untuk membunuh patogen tersebut, berarti keduanya ‘terkunci’ dalam siklus untuk saling mengalahkan/membunuh.

Sebagai contoh, dalam pandemik SARS tahun 2003 menyebabkan kematian pada 10% orang yang terinfeksi, dibandingkan dengan < 0,1% kasus kematian akibat kasus flu lokal biasa.   

Perubahan iklim dan lingkungan menyebabkan perubahan habitat hewan, merubah cara mereka bertahan hidup dan apa yang mereka makan.

Manusia juga mengalami perubahan- 55% populasi global saat ini tinggal di kota, naik 35% dibanding 50 tahun lalu. Dan kota-kota besar ini menjadi tempat hidup yang ideal bagi binatang liar, seperti tikus, tupai, burung, anjing, hingga monyet, yang tinggal di area-area hijau (taman atau kebun) dan daerah limbah yang ditinggalkan manusia.

Kerap kali, binatang liar lebih bisa bertahan hidup di kota dibandingkan di alam liar karena suplai makanan yang melimpah. Ini menjadikan ruang-ruang di kota sebagai wadah/sarang penyakit yang siap berkembang.

Siapa yang paling berisiko?

Penyakit baru, di dalam host baru kerap kali lebih berbahaya. “Beberapa kelompok orang lebih rentan terserang penyakit dibanding orang lain. Penduduk miskin kota, atau yang bekerja di bidang sanitasi, berpeluang lebih besar terpapar penyakit ini,” terang Prof. Benton.

Mereka juga lebih mungkin memiliki imunitas yang rendah karena asupan nutrisi yang buruk, dan terpapar oleh kondisi yang kurang higienis. Dan bila mereka sakit, biasanya mereka juga tidak mampu “membeli” pengobatan yang baik.

Infeksi baru- seperti pada kasus virus corona-  juga dapat menyebar dengan cepat di lingkungan padat di kota; mereka menghirup udara yang sama dan menyentuh permukaan yang sama.  

Dalam beberapa kebudayaan, orang juga menyantap binatang liar yang ditangkap di sekitar tempat tinggal mereka.

Pandemik adalah bagian dari kebudayaan

“Mengakui penyakit baru yang muncul dan menyebar akan menempatkan kita pada posisi yang lebih kuat untuk memeranginya, yang merupakan bagian yang tak terhindarkan dari masa depan kita,” tambah Prof. Benton.

Sebagai gambaran, satu abad yang lalu, pandemi flu Spanyol menginfeksi sekitar setengah miliar orang dan membunuh 50-100 juta orang di seluruh dunia. Kemajuan ilmiah dalam kesehatan global menyebabkan penyakit itu bisa dikelola dengan lebih baik.

Setengah abad lalu beberapa orang di Barat mengklaim penyakit menular sudah dapat ditaklukkan. “Tetapi ketika urbanisasi dan ketimpangan tumbuh, serta perubahan iklim semakin mengganggu ekosistem, kita harus mengenali penyakit yang muncul sebagai risiko yang semakin besar,” kata Prof. Benton.

Apa yang harus dilakukan?

Fakta yang terjadi adalah semakin manusia merubah lingkungan, semakin besar ini mempengaruhi ekosistem, dan memberikan kesempatan pada penyakit untuk tumbuh.

Diperkirakan baru sekitar 10% dari patogen di seluruh dunia yang tercatat, sehingga lebih banyak usaha dibutuhkan untuk mengidentifikasi sisanya, dan hewan apa yang membawanya.  Sebagai contoh, ada berapa banyak tikus yang tinggal di sebuah kota besar, dan seberapa besar potensinya menyebabkan penyakit.

“Masuk akal untuk melacak hewan baru apa yang tinggal di kota dan apakah orang membunuh atau memakan satwa liar atau membawanya ke pasar dari daerah sekitarnya.

“Memperbaiki sanitasi, pembuangan limbah, dan pengendalian hama adalah cara untuk membantu menghentikan penyebaran dan penyebaran wabah ini. Lebih luas lagi, ini tentang mengubah cara kelola lingkungan kita dan cara kita berinteraksi dengannya,” tutup Prof. Benton. (jie)