Vaksinasi berfungsi untuk mencegah dan melindungi anak dari penyakit berbahaya. Kasus vaksin palsu jangan membuat kita apatis terhadap vaksinasi.
Apotek, klinik, praktek bidan dan rumah sakit adalah institusi terpercaya di mana kita bisa memperoleh obat dan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan. Kepercayaan itu kini ternoda. Di apotek, klinik, tempat praktek bidan dan rumah sakit di Bekasi, Jakarta Timur, Tangerang dan beberapa wilayah lain diketahui beredar vaksin palsu. Vaksin itu telah disuntikkan kepada anak-anak balita, dan karena palsu vaksin tadi tentunya tidak dapat menangkal aneka penyakit seperti yang diharapkan.
Kasus vaksin palsu sangat meresahkan. Bukan hanya oangtua yang anak-anaknya mendapat vaksin palsu, masyarakat ikut marah ketika kasus ini terbongkar. Menurut pengakuan tersangka pembuat dan yang mendistribusikan, vaksin palsu ternyata sudah diedarkan sejak 13 tahun lalu.
Orangtua yang menjadi korban mendatangi rumah sakit tertentu, untuk meminta penjelasan dan pertanggung jawaban. Menteri Kesehatan RI Nila F. Moeloek mencoba menenangkan situasi dan memerintahkan agar anak-anak yang diduga kuat mendapat vaksin palsu, dilakukan vaksinasi ulang.
Vaksinasi merupakan cara yang dapat dilakukan untuk melindungi anak-anak dari penyakit berbahaya dan mematikan. Selama ini orangtua merasa aman karena anak sudah terlindungi; ternyata tidak. “Kasus vaksin palsu tidak sesederhana kasus tas palsu, misalnya,” ujar Parulian Simanjuntak, Direktur Eksekutif IPMG (International Pharmaceutical Manufacturers Group), persatuan perusahaan farmasi internasional.
Pentingnya vaksinasi
Menurut dr. Dirga Sakti Rambe, M.Sc-VPCD, vaksinolog lulusan University of Siena, Italia, vaksinasi adalah pemberian suatu zat, melalui suntikan maupun tetes, yang akan menyebabkan kekebalan. Misalnya anak-anak yang diberi vaksin hepatitis B, maka akan kebal terhadap penyakit tersebut. Sebaliknya yang tidak diberi vaksinasi, bila terpapar oleh virus hepatitis B, akan jatuh sakit. “Anak sakit dulu, baru kebal. Kalau divaksinasi, sebelum sakit anak sudah kebal,” ujarnya. Intinya, vaksinasi adalah tindakan pencegahan (preventif); vaksin tidak ada gunanya bila anak sudah telanjur mengalami penyakit tersebut.
Kandungan utama vaksin yakni antigen, yang berasal dari bagian mikroorganisme (virus/ bakteri /lain) penyebab penyakit. Begitu dimasukkan ke dalam tubuh, sistem imun akan mengenalinya sebagai bagian dari mikroorganisme berbahaya, dan terbentuklah antibody. “Antibodi ini punya ingatan (memori). Jadi, bila suatu ketika virus atau bakteri tersebut masuk ke tubuh, tubuh sudah mengenali dan langsung menyerang sehingga anak tidak jatuh sakit,” imbuh lulusan FKUI ini.
Ingatan atau nmemori itu bisa bertahan seumur hidup? “Tiap penyakit berbeda. Ada yang bertahan seumur hidup, ada yang 20 tahun. Pastinya, daya tahannya untuk jangka panjang,” ujar dr. Dirga. Karenanya ada vaksin yang cukup diberikan satu kali untuk seumur hidup, ada yang harus beberapa kali.
Dokter Piprim Yanuardi, Sp.A (K), mengingatkan, ada cara agar kekebalan aktif dan memori imunologis dari vaksin efeknya optimal. “Vaksinasi harus dilakukan sesuai dengan cara pemakaian dan jadwal yang telah ditentukan melalui bukti uji klinis,” ujarnya. Pendiri Rumah Vaksin ini juga mengungkapkan, cara kerja vaksin berbeda dengan ASI. ASI meningkatkan kekebalan tubuh anak secara umum, sedangkan vaksin bekerja dengan membentuk antibody yang spesifik terhadap penyakit tertentu.
Ada enam vaksin dasar yang disuplai oleh pemerintah, yaitu: DTP (difteri, tetanus, pertusis), hepatitis B, polio, BCG (tuberculosis), campak, dan HiB (Haemophilus Influenzae tipe B). Keenamnya termasuk penyakit yang paling banyak diderita oleh bayi di seluruh dunia dan vaksinnya sudah bisa diproduksi di dalam negeri oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dengan demikian, harganya lebih murah ketimbang yang impor. Pemerintah menyediakan vaksin ini gratis, di layanan kesehatan milik pemerintah di seluruh Indonesia. Vaksin yang dipalsukan umumnya produk impor, yang harganya relative mahal.
Di samping 6 vaksin dasar, ada vaksin-vaksin lain yang tak kalah penting untuk diberikan kepada anak-anak. Misalnya MMR (mumps, measles, rubella) dan rotavirus. Sayangnya, perusahaan dalam negeri belum bisa membuat. Vaksin ini harus diimpor dan harganya lumayan mahal, sehingga tidak dapat disediakan gratis oleh pemerintah. Vaksin ini sering disebut sebagai vaksinasi tambahan, “Seolah-olah tidak wajib tapi, sebenarnya, sama pentingnya,” ujar dr. Dirga.
Dampak vaksin palsu
Terkait kasus vaksin palsu, wajar bila orangtua khawatir efek sampingnya pada anak-anak. Tersangka pembuat vaksin palsu mengakui bahwa ‘vaksin’ buatannya tak lain adalah cairan infus (NaCl) ditambah antibiotik dan sedikit vaksin asli sebagai oplosan. “Secara medis, vaksin seperti ini tidak menyebabkan kematian atau kerusakan organ,” terang dr. Dirga. Namun bisa mengakibatkan infeksi, karena vaksin palsu dibuat di lingkungan yang tidak steril, sehingga bisa tercemar kuman. Reaksi infeksi akan terjadi dalam waktu <2 minggu. Tidak mungkin efeknya baru dirasakan bertahun-tahun kemudian.
Dampak yang perlu dikhawatirkan, karena anak jadi tidak mendapat perlindungan atau proteksi seperti yang diharapkan. Gawatnya lagi, vaksin-vaksin yang dipalsukan mencakup vaksin dasar seperti hepatitis B, BCG dan polio. Padahal, penyakit-penyakit tersebut sangat berbahaya bila sampai menyerang anak.
Dampaknya tidak hanya terhadap anak, tapi juga secara sosial. Anak-anak yang divaksin, akan mendapat perlindungan. Vaksinasi sekaligus bisa menjadi ‘pagar’ bagi anak-anak lain sehingga tercipta herd immunity. Kekebalan yang terjadi dalam suatu komunitas, akan tercapai bila cakupan vaksinasi mencapai >80%ujuan akhir vaksinasi adalah eradikasi. Anak yang telah divaksinasi menjadi kebal terhadap penyakit tertentu, sehingga penularan akan berkurang. Selanjutnya prevalensi (angka kejadian) penyakit berkurang; epidemiologi berubah karena mata rantai penyakit terputus, dan akhirnya terjadi eradikasi (penyakit hilang dari muka bumi). Ini yang kita harapkan, seperti yang terjadi pada virus cacar api (Variola major).
. Terjadinya kasus vaksin palsu, membuat herd immunity mungkin tidak tercapai.
Bijak bersikap
Indonesia sudah mendapat sertifikat bebas polio dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 27 Maret 2014. Meski demikian, vaksinasi poli tetap perlu dilakukan karena ada kemungkinan virus polio liar dari luar negeri, seperti yang kemudian mewabah di Sukabumi, Jawa Barat, tahun 2005. Campak sdaat ini sudah dalam tahap eliminasi, yakni satu tahap di bawah eradikasi.
Munculnya vaksin palsu, sedikit banyak telah menurunkan kepercayaan masyarakat, terhadap vaksin. Kasus vaksin palsu membuat sementara orangtua yang masih menolak vaksinasi, merasa lega dan merasa bahwa keputusan mereka agaknya tidak divaksinasi adalah benar. Kita berdoa, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan terhadap anak-anak yang tidak mendapat vaksinasi. Kita berhadap, mereka yang terlibat dalam kasus vaksin palsu diproses secara hukum dan kasus serupa tak aka pernah terjadi lagi.
Kasus vaksin palsu perlu dihadapi dengan kepala dingin. Orangtua yang menduga anaknya pernah mendapat vaksin yang mereknya telah dipalsukan, sebaiknya segera menghubungi rumah sakit, di mana dulu anaknya divaksinasi. Seperti dikatakan Menteri Kesehatan, anak-anak ini akan mendapat vaksinasi ulang. “Jangan khawatir, tidak ada istilah over dosis atau kelebihan dosis untuk vaksin,” ujar dr. Dirga.
Bagaimana bila anak sekarang sudah besar; perlukah tetap divaksin ulang? Dalam hal ini, perlu dilihat lagi vaksin palsu apa yang mungkin didapat oleh anak. Untuk vaksin campak, HiB dan DTP, mungkin tidak perlu, tetapi untuk hepatitis B dan BCG sebaiknya diberikan. Vaksinasi tetanus saja (lepasan, tidak satu paket dengan DTP) juga dianjurkan. Sedangkan untuk polio, tidak perlu diberikan vaksinasi ulang, bila anak selalu menjalani PIN (Pekan Imunisasi Nasional). Bila tidak, sebaiknya anak melakukan vaksinasi ulang. Meski umumnya polio menyerang anak-anak, kelompok usia dewasa dalam kondisi tertentu juga bisa terserang. Misalnya karena bepergian ke daerah yang endemis polio.
Yang pasti, jangan khawatir berlebihan mengenai vaksin palsu. “Vaksin palsu sifatnya industry rumahan. Volumenya sangat kecil bila dibandingkan dengan vaksin yang asli,” ujarp dr. Dirga. Peredarannya pun baru akhir-akhir ini yang bersifat masif. (nid)
Fakta: 70% anak yang belum divaksinasi berasal dari 12 negara. Indonesia menempati urutan ke-3.
Hak Anak
Mendapat vaksinasi adalah hak anak, seperti tertuang dalam UU RI No.36/2009 tentang Kesehatan (Pasal 130 dan 132). Juga UU Perlindungan Anak No.23/ 2002. Siapapun yang menghalang-halangi anak untuk mendapat vaksinasi, dianggap telah melanggar hukum.
Membedakan Vaksin Asli vs Palsu
Secara visual, tidak mudah membedakan vaksin asli dengan yang palsu. Dokter pun kesulitan membedakannya. Vaksin palsu “KW super” bisa memiliki kejelasan tulisan yang sangat baik, mirip vaksin asli. Dokter Dirga memberi tips untuk membedakan vaksin asli dengan yang palsu:
- Cek kualitas kemasan; tampilannya utuh, tidak cacat; kualitas cetakan hurus jelas dan tidak buram; segel masih rapi.
- Cek tanggal kadaluarsa pada kemasan.
- Lihat LOT number, yakni nomor unik pada tiap vaksin. Cocokkan nomor ini; harus sama antara yang tertera pada kemasan dengan yang di botol (vial) atau suntikan (syringe).
- Pastikan, penutup syringe atau karet dan tutup botol vial masih utuh, tanpa cacat.
- Perhatikan cairan vaksin; pastikan bening dan bersih, tidak keruh/ada kotoran.
- Jangan sungkan untuk bersikap kritis, bertanya dan mengungkapkan kepada dokter mengenai kekhawatiran terhadap vaksin palsu. Vaksin bisa diperiksa bersama dengan dokter atau perawat sebelum disuntikkan.