Terapi Musik untuk Pengobatan
terapi_musik

Terapi Musik untuk Pengobatan

Mendengarkan dan memainkan musik selain untuk relaksasi, juga bisa untuk pengobatan. Di negara maju seperti Australia, Amerika Serikat dan Eropa, juga di beberapa negara Afrika, banyak rumah sakit atau klinik yang memanfaatkan musik untuk mendukung pengobatan. Istilahnya terapi musik.

Institut Musik Daya Indonesia (IMDI) yang didirikan Prof. Tjut Nyak Deviana Daudsjah, D.A.Mus.Ed. adalah salah satu pelopor terapi musik di Indonesia. Berikut petikan wawancara dengannya, serta seorang muridnya yang telah menjadi terapis musik Dian Natalina, M.Mus, Th.

 

Apa  yang dimaksud dengan terapi musik?

Prof. Tjut: Di Indonesia, banyak yang menganggap bahwa dengan menyalakan alat pemutar musik di dekat pasien adalah terapi musik. Itu bukan terapi musik, melainkan relaksasi. Terapi musik adalah metode penyembuhan yang sudah dilakukan oleh berbagai bangsa sejak zaman purba. Contohnya di Mesir dan Yunani. Filsuf seperti Aristoteles dan Plato menyatakan, untuk penyembuhkan dari dalam perlu terapi musik. Musik bukan hanya untuk emosi atau mental, tapi bisa mempercepat proses penyembuhan karena nada-nada tertentu bisa mengaktifkan metabolisme tubuh.

Dian: Intinya adalah mengambil frekuensi dari alat musik/nyanyian/tarian; bagaimana suara atau bunyi mempengaruhi tubuh manusia. Kalau kita mendengarkan musik, semua bagian dalam tubuh yang berhubungan dengan emosi akan diproses di otak dan menghasilkan kesadaran baru, sehingga membantu proses metabolisme. Melalui peredaran darah, pencernaan dan lain-lain, berproses dalam pembentukan sel-sel dan mempercepat penyembuhan. Jadi, proses penyembuhan benar-benar dari dalam.

Di IMDI, kami mengutamakan terapi musik secara aktif. Pasien tidak sekadar duduk dan mendengarkan musik, tapi ikut berperan aktif dalam bermain musik, membuat komposisi lagu, membuat lirik. Terapi secara reseptif hanya mendengarkan musik; tujuannya hanya untuk relaksasi, memberi ketenangan dan suasana nyaman saja. Tidaka ada proses penyembuhan.

 

Pengaruh bunyi atau nada terhadap kesehatan?

Prof. Tjut: Kita mengenal frekuensi (bunyi-bunyian / sound) dan nada (tone). Coba dengarkan suara frekuensi tinggi, 10 menit saja sudah pusing. Frekuensi tinggi bisa menggangggu saraf, apalagi kalau volumenya juga tinggi. Ada frekuensi rendah. Mendengarkan suara dengan frekuensi ini, lama-lama bisa pusing juga, meski dikatakan frekuensi rendah bikin rileks; tergantung. Ini baru bunyi-bunyian, apalagi bila digunakan dengan nada.

Nada ‘do-re-mi-fa-sol-la-si-do’ sebenarnya berasal dari planet-planet yang mengitari matahari. Ini dipelajari oleh ahli kosmologi zaman dulu, salah satunya Phytagoras. Ia menemukan interval nada sesuai dengan jarak dari Merkurius ke Venus, dan seterusnya. Nada C adalah nada matahari. Posisi bulan mau pun planet-planet, mempengaruhi manusia di bumi. Percaya atau tidak, ini fakta. Jadi, jangan heran bila terapis musik menanyakan tanggal lahir, zodiac, tahun lahir. Itu penting untuk terapi; terapis akan menghubungkannya dengan numerologi. Misalnya, mereka yang lahir bulan Februasi (Aquarius), umumnya memiliki masalah di tangan atau kaki. Tiap orang memiliki frekuensi berbeda, yang berhubungan dengan saraf. Banyak konstelasi dan komponen dalam tubuh manusia yang bisa dianalisa oleh seorang terapis, untuk menentukan musik yang tepat untuk dijadikan terapi. Jadi sangat individual, seperti resep obat dari dokter.

 

Bagaimana terapi musik dilakukan?

Dian: Pertama, observasi. Kita lakukan pendataan pasien; latar belakangnya, dan lain-lain. Juga dilihat kemampuan pasien dalam bermain musik, musik yang didengar sehari-hari seperti apa, baru kita pilih musik yang cocok untuknya. Dibangun komunikasi antara terapis dan pasien, lalu dibangun kesadaran diri dan pemberdayaan pasien. Terapi musik tidak bisa dilakukan bersama-sama, karena tiap orang memiliki kepribadian dan kondisi berbeda.

Prof. Tjut: Terapis musik harus memiliki pengetahuan memadai mengenai genre musik. Harus menggali, musik apa yang biasa didengar pasien di rumah atau saat lalu lintas macet. Bukan hanya satu jenis musik, tapi berbagai genre. Bila pasien terbiasa mendengarkan musik seperti black metal, terapis akan menyatakan musik tersebut tidak bisa digunakan karena mendengarkan musik seperti itu bisa tambah sakit. Disarankan musik lain, yang dikenal oleh pasien. Pasien dari etnik Jawa, bisa dengan gamelan. Tidak bisa menerapi orang dari Jogja, misalnya, dengan musik Mozart. Atau, orang dari pegunungan Alpen diterapi dengan bunyi-bunyian dari tanah Jawa atau Sunda. Bukannya sembuh, malah tambah sakit. Jadi, harus dengan musik yang dikenal oleh pasien.

Keluarga berperan penting. Misalnya ikut bermain musik. Dukungan keluarga membantu kesembuhan pasien. Bila tidak didukung, pasien bisa depresi.

 

Berapa lama dan seberapa sering terapi dilakukan?

Prof. Tjut: Tergantung individu dan stadium penyakit. Pernah, pasien kanker dijadwal menjalani terapi 2x seminggu, karena stadiumnya belum jauh. Awalnya diterapi 2x agar lebih intensif karena apa yang diajarkan saat terapi, harus dilatih di rumah. Ini penting untuk menjaga agar tidak kembali ke kondisi depresi.

 

Tidak semua pasien bisa bermain musik…

Prof. Tjut: Terapi bisa dilakukan dengan bermacam cara. Bisa dengan menyanyi atau dansa. Pada pasien arthritis reumatoid (AR), bila jari-jari tangannya kaku sehingga tidak bisa memainkan instrumen musik, tapi kakinya bisa bergerak, kita ajari berdansa. Itu namanya kreatif aktif.

Saya yakin, bila pasien mau sembuh, terapi musik bisa membantu kesembuhan. Selain memengaruhi kondisi pasien dengan frekuensi dan nada, terapis musik membantu pasien memiliki kemauan untuk sembuh. Percuma minum obat dan terapi musik, kalau tidak punya  kemauan keras untuk sembuh. Manusia harus berusaha, dan kita tahu proses seperti itu bagus. Kesembuhan tergantung dari pasien dan kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa.

Terapis Perlu Kuasai Anatomi Tubuh Manusia

Untuk menjadi terapis musik, perlu pembelajaran yang lumayan rumit. Seorang musisi harus lulus S1 musik, baru bisa mengambil S2 bidang terapi musik. Itu karena yang dipelajari bukan hanya menyalakan kompo lalu memilih musik yang menenangkan. Terapis harus menguasai dan memahami dasar-dasar anatomi tubuh manusia.

“Jadi, untuk bisa menjadi terapis musik, harus kuliah musik dulu. Karena berhubungan dengan kesehatan dan penyembuhan, maka tidak bisa main-main,” ujar Prof. Tjut.

____________________________________________

Ilustrasi: Background photo created by jcomp - www.freepik.com