tekanan darah normal tinggi berisiko menjadi hipertensi
mencegah hipertensi

Tekanan Darah Normal Tinggi Berisiko Menjadi Hipertensi, Lakukan Ini Untuk Pencegahan

Anda merasa aman walau tekanan darah sedikit tinggi? Jangan senang dulu, dokter menyatakan tekanan darah normal tinggi berisiko menjadi hipertensi di masa datang.

Hipertensi (tekanan darah tinggi) adalah bila kadar tekanan darah terdeteksi >140/90 mmHg pada dua kali pemeriksaan yang berbeda di klinik/fasilitas layanan kesehatan dengan menggunakan alat ukur yang sudah tervalidasi.

Menurut Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi 2019, tensi yang optimal adalah bila tekanan darah sistolik (TDS) <120 mmHg dan tekanan darah diastolik (TDD) <80 mmHg. Tekanan darah nomal bila TDS 120-129 mmHg dan/atau TDD 80-84 mmHg.

Sebagai informasi, tekanan darah sistolik adalah tekanan yang terukur saat jantung memompa darah. Sementara tekanan darah diastolik adalah tekanan saat jantung istirahat.

Disebut tekanan darah normal tinggi saat TDS 130-139 mmHg dan/atau TDD 85-89 mmHg. Kategori hipertensi bila tekanan darah >140/90 mmHg. Kondisi hipertensi masih dikelompokkan dari derajat 1 hingga 3.

Dr. Erwinanto, SpJP(K), FIHA, Ketua Perhimpunan Hipertensi Indonesia (InaSH), menegaskan jika tekanan darah normal tinggi berisiko menjadi hipertensi di masa datang.

“Sebuah penelitian menunjukkan risiko menjadi hipertensi dua tahun ke depan adalah 40%, jika tekanan darah normal tinggi (130-139/85-89 mmHg),” katanya dalam Annual Scientific Meeting InaSH 2023, Jumat (24/2/2023).

Dan bila sudah jatuh pada kondisi hipertensi (>140/90 mmHg), berisiko mengalami penyakit jantung, stroke dan gagal ginjal yang jauh lebih besar dibandingkan mereka dengan tekanan darah lebih rendah.

Seseorang dianjurkan menurunkan tekanan darah jika terukur 130/85 mmHg atau lebih. Jika tekanan darah normal tinggi, lanjut dr. Ervinanto, lakukan intervensi gaya hidup seperti olah raga teratur, menurunkan berat badan, mengurangi asupan garam.

“Mungkin perlu terapi obat jika tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih. Dokter akan memutuskan apakah perlu terapi obat atau tidak,” ujarnya.

Sering diabaikan

Sekjen InaSH, dr. Djoko Wibisono, SpPD-KGH, mengatakan kerap kali hipertensi ditemukan secara tidak sengaja saat pemeriksaan kesehatan rutin atau datang dengan keluhan lain.

“Hipertensi sering kali diabaikan sebagian besar orang karena merasa tidak memiliki keluhan, namun sesungguhnya menjadi sumber komplikasi kesehatan yang lebih fatal untuk organ vital seperti otak, jantung, maupun ginjal,” imbuhnya.

Hipertensi masih menjadi faktor risiko utama penyebab dari stroke perdarahan, penyakit jantung koroner, gagal jantung, penyakit ginjal kronik, bahkan kematian dini pada usia muda.

Sebagian besar (90-95%) kasus hipertensi di Indonesia adalah hipertensi primer, alias tidak diketahui sebabnya. Hipertensi primer dipengaruhi oleh usia lanjut, obesitas dan riwayat hipertensi pada keluarga.

Juga terkait dengan konsumsi makanan tinggi garam (natrium), konsumsi makanan kemasan atau makanan cepat saji, kurang buah dan sayur, pola hidup sedenter (terlalu banyak duduk dan kurang aktivitas fisik), konsumsi alkohol, serta kebiasaan merokok.

Sebagian besar kondisi tekanan darah tinggi tidak memiliki gejala spesifik. Gejala klinis baru dirasakan bila kondisi hipertensi telah memberat atau yang telah berkomplikasi.

“Gejala yang dapat muncul antara lain sakit kepala atau pusing, rasa mudah lelah saat aktivitas, nyeri dada, gelisah, penglihatan buram, mimisan, bahkan penurunan kesadaran” dr. Djoko menguraikan.

Konsumsi obat harus rutin

Untuk mereka yang sudah terdiagnosa hipertensi dan memperoleh obat antihipertensi perlu mengkonsumsi obat secara teratur, sekaligus melakukan kontrol kesehatan rutin.

“Sebagian besar pengobatan hipertensi diberikan dalam jangka panjang bahkan mungkin sampai seumur hidup, karena terapi hipertensi ini bertujuan untuk mengendalikan tekanan darah sesuai target agar dapat memperpanjang harapan hidup serta mengurangi risiko komplikasi,” pungkas dr. Djoko. (jie)