Jumlah jemaah umrah Indonesia meningkat signifikan dalam tiga tahun terakhir. Di satu sisi pneumonia adalah masalah kesehatan yang paling banyak dilaporkan, baik oleh Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) atau RS Arab Saudi.
Hingga kuartal pertama 2025 (akhir Maret), sudah terdapat sekitar 500 ribu jemaah umrah Indonesia yang berangkat ke Tanah Suci. Menteri Haji dan Umrah Arab Saudi, menyampaikan bahwa jumlah jemaah umrah pada kuartal I 2025 tembus 6,5 juta orang.
Situasi ini memicu terjadinya kerumunan besar (mass gathering) yang padat, sehingga meningkatkan risiko penularan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Dr. dr. Endy M. Astiwata, MA, FIIS, CRGP, CPLHI, dari Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI) menerangkan, kondisi suhu yang sangat panas/dingin, kelembapan udara, debu, polutan dan kerumunan manusia dari berbagai ras/negara meningkatkan risiko seseorang untuk sakit.
Kejadian ISPA pada jemaah haji / umrah berkisar antara 20-80%, ini setara dengan satu dari tiga jemaah di Tanah Suci mengalami ISPA. ISPA paling banyak disebabkan oleh infeksi virus Influenza dan RSV (Respiratory Syncytial Virus).
Infeksi virus adalah salah satu penyebab eksaserbasi (kekambuhan disertai perburukan) penyakit, seperti asma dan PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik), diabetes atau jemaah dengan penyakit jantung.
Terdapat efek domino infeksi virus, terang dr. Dirga Sakti Rambe, MSc, SpPD, FRSPH, FINASIM, vaksinolog dan anggota PP Peralmuni. “Terjadi penurunan fungsi paru, komplikasi pernapasan, bisa menyebabkan pneumonia (randang paru) dan eksaserbasi asma/PPOK,” katanya.
Selain itu, pada jemaah dengan penyakit diabetes atau sakit jantung, bisa meningkatkan gula darah atau menyebabkan kekambuhan penyakit jantungnya.
Baca: Lansia, Diabetes dan Risiko Perburukan Akibat Virus RSV
“Pneumonia dan PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik) merupakan penyakit jemaah haji tahun 2023 terbanyak yang dirawat di KKHI,” timpal dr. Endy. “Penyakit pernapasan menjadi penyebab kematian kedua terbanyak setelah penyakit kardiovaskular.”
Data menyebutkan 96,5% kematian jemaah terjadi pada kelompok berusia di atas 50 tahun. Dan, mayoritas jemaah meninggal masuk dalam kategori risiko tinggi, yakni mereka dengan diabetes, hipertensi, penyakit jantung atau penyakit kronis lainnya.
Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, SpP(K), MHA, DTM&H, DTCE, FIRS, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, menjelaskan, RSV menjadi salah satu penyebab paling umum pneumonia dan bronkiolitis berat, terutama pada kelompok risiko tinggi, seperti lansia dan mereka dengan penyakit kronis.
RSV adalah infeksi pernapasan umum yang dapat menyebabkan kondisi serius dan kematian pada populasi yang rentan, termasuk bayi prematur dan bayi sangat muda, anak-anak, orang dewasa dengan penyakit paru kronis atau penyakit jantung bawaan, serta lansia.
Gejalanya sulit dibedakan dengan gejala umum flu, termasuk batuk, pilek, demam, sakit tenggorokan, bersin, sakit kepala, mengi dan kesulitan bernapas.
“Sulit membedakan penyakit paru satu dengan lainnya hanya berdasarkan gejala ringan,” terang Prof. Tjandra, di Jakarta (16/7/2025).
Namun, akan berbeda cerita bila RSV mengenai kelompok risiko tinggi, bisa berubah menjadi berat, menyebabkan pneumonia, perawatan intensive care unit (ICU), eksaserbasi kardiopulmoner, hingga kematian.
Vaksinasi sebelum berangkat
Hingga saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk ISPA yang disebabkan RSV. “Terapinya berupa suportif, dipasang infus supaya tidak dehidrasi, diberi obat demam. Obat hanya untuk meringankan gejala. Belum ada obat spesifik untuk virusnya,” ujar dr. Dirga.
Jemaah yang hendak berangkat umrah diharapkan untuk melakukan pencegahan dengan vaksinasi. Dengan vaksinasi tubuh akan memiliki kekebalan tanpa harus terkena virus terlebih dulu. Sehingga harapannya, jika terkena RSV tidak sakit sama sekali, atau sekurang-kurangnya tidak sakit berat.
“Ada anggapan kalau punya komorbid, termasuk autoimun, tidak boleh divaksin. Terbalik, justru mereka adalah orang pertama yang harus divaksin. Selama ia dalam kondisi stabil, maka bisa divaksin,” dr. Dirga menekankan.
Jemaah direkomendasikan melakukan vaksinasi RSV setidaknya dua minggu sebelum berangkat. Sebagai catatan, selain vaksin RSV, para ahli juga merekomendasikan vaksinasi influenza dan pneumokokus.
Sebagai penutup, Prof. Tjandra menyarankan, untuk tidak lupa menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (cuci tangan, memakai masker jika dalam kerumunan) dan menjaga jarak (physical distancing). (jie)
Baca juga: Infeksi RSV Perburuk Pasien Jantung, Lindungi Dengan Vaksin