jokowi ingin penanganan tbc seperti covid-19

TBC Penyakit Lama Yang Sulit Hilang, Jokowi Ingin Penanganan TBC seperti COVID-19

Tuberkulosis masih menjadi penyakit menular paling mematikan sejak ditemukan pada Maret 1882. Laporan WHO tahun 2019 menyatakan kasus TBC di Indonesia adalah ke 3 tertinggi di dunia. Itu sebabnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginginkan penanganan TBC seperti COVID-19.

Presiden Joko Widodo dalam akun Instagram resminya mengatakan di Rapat Terbatas Percepatan Eliminasi Tuberkulosis (TBC), Selasa (21/7/2020), bila bukan COVID-19 saja yang menjadi pandemi, tetapi juga TBC.

TBC adalah salah satu dari sepuluh penyakit menular penyebab kematian terbanyak yang oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah lama dinyatakan sebagai pandemi.

Laporan Organisasi Kesehatan Dunia tahun 2019 menyatakan Indonesia menduduki peringkat ketiga dunia penderita TBC dengan 845 ribu kasus, di bawah India (2,7 juta kasus) dan China (867 ribu kasus).

Presiden Jokowi mengatakan, sebagian besar penderita TBC merupakan kelompok produktif dalam rentang usia 15 – 55 tahun.

“Ini mesti kita waspadai. Meski kita tengah disibukkan dengan penanganan pandemi COVID-19, saya tetap menginstruksikan agar layanan diagnostik maupun pengobatan terhadap pasien tuberkulosis harus tetap berlangsung. Pemerintah berupaya keras untuk mencapai eliminasi tuberkulosis pada 2030 mendatang,” kata Presiden Jokowi dalam akun resminya.

“Terkait dengan itu, pola penanganan serupa COVID-19 dapat dipelajari dan ditetapkan untuk meningkatkan efektivitas penanganan TBC ini,” imbuhnya. “Misalnya, model pelacakan yang agresif untuk menemukan penderita COVID-19, juga bisa untuk membantu mencari penderita TBC yang belum terlaporkan.”

TBC kasus lama yang sulit hilang

Sebagai informasi, di Indonesia sejarah TBC bisa ditelusuri hingga tahun 1908. Sejak tahun 1969 pemerintah Indonesia telah menetapkan TBC sebagai program prioritas Kementerian Kesehatan untuk mengendalikan penyakit ini di Indonesia.

Pada 2015, TBC menjadi salah satu target Rencana Nasional Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, dan menjadi program prioritas Presiden.

Program-program tersebut memang menuai keberhasilan dengan meningkatnya temuan kasus TBC. Lalu pengobatan bisa dengan cepat dilakukan dan angka kesembuhan kasus TBC bisa meningkat.

Namun demikian, laju kesembuhan ini tidak sebanding dengan kasus TBC baru dan kasus TBC kambuh sehingga kasus TB secara keseluruhan di Indonesia tidak menurun signifikan.

Sejak 2000 hingga 2018, kasus penderita TBC baru dan penderita TBC kambuh hanya berkurang dari 380 menjadi 318 orang per 100.000 penduduk.

Di Indonesia, setiap 30 detik satu orang tertular TBC dan rata-rata 13 orang meninggal setiap satu jam akibat penyakit menular itu. Jadi setiap hari ada 300 tewas karena TBC.

TBC di masa pandemi COVID-19

Seperti halnya COVID-19, tuberkulosis menyerang paru-paru, ditularkan melalui medium yang sama  yakni lewat droplet dari mulut dan hidung penderita dalam kontak dekat.

Jika COVID-19 ditularkan oleh virus SARS-CoV-2 yang sampai saat ini belum ada obatnya, TBC disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis yang obatnya sudah diketahui efektivitasnya.

Ada dua pengobatan anti-TBC (OAT): pertama, tahap intensif selama dua bulan, dan kedua, fase lanjutan selama empat bulan.

Pada tahap intensif, penderita diberi obat lini pertama berupa antibiotik khusus TBC seperti rifampisin, isoniazid, pyrazninamid. Pada fase ini, penderita TBC harus mengkonsumsi obat –biasanya lebih dari satu macam obat bahkan bisa empat obat sekaligus – setiap hari tanpa putus. Sementara pada fase lanjutan jumlah dan jenis obat yang diberikan jauh lebih sedikit.

Di masa pandemi COVID-19 saat ini, penderita TBC berpotensi lebih besar untuk terkena penyakit tambahan akibat virus corona. Sebagaimana diketahui terdapat penyakit penyerta lain yang bisa memperparah seseorang bila terinfeksi COVID-19, termasuk penyakit paru obstuktif kronis dan gangguan napas lainnya.

Gejala utama penderita TBC paru yaitu batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan seperti batuk berdarah, sesak napas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurut, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. (jie)

Baca juga : Tuberkulosis tetap Menyerang saat Pandemi Coronavirus: 5 Fakta TBC yang Jarang Diketahui di Indonesia