Penggunaan Ivermectin sebagai obat COVID-19 masih kontroversial, walau belum diakui sudah banyak negara memakai Ivermectin sebagai obat COVID-19. Di tengah kotroversi ini studi terbesar yang menyatakan manfaat Ivermectin pada terapi COVID-19 ditarik karena masalah etik.
Sebelumnya penelitian Dr Ahmed Elgazzar dari Benha University, Mesir, menyatakan pasien COVID-19 di rumah sakti yang mendapatkan terapi Ivermectin secara signifikan mengalami perbaikan dan pengurangan risiko kematian hingga 90%. Riset pracetak ini dimuat di laman Research Square.
Namun beberapa ilmuwan lain meragukan hasil penelitian tersebut. Mahasiswa pascasarjana di London, Jack Lawrence adalah salah satu yang pertama melihat ada masalah etik serius di dalamnya.
Ia menemukan bila pada bagian pembukaan riset ilmiah ini hampir seluruhnya adalah plagiasi, diambil dari press release dan website tentang ivermectin dan COVID-19.
Data-data yang dipaparkan juga mencurigakan, di mana data mentah tampak tidak sesuai dengan protokol penelitian standar. “Peneliti mengklaim bila studi hanya dilakukan pada 18-80 tahun, tetapi setidaknya ada tiga pasien yang tercatat berusia <18 tahun,” kata Lawrence, melansir The Guardian.
“Peneliti juga mengklaim bila mereka melakukan studi antara 8 Juni - 20 September 2020, tetapi sebagian besar pasien yang tercatat meniggal di rumah sakit adalah sebelum 8 Juni.”
Dalam laman resminya redaksi Research Square menyatakan, “Research Square telah menarik studi pracetak ini.” Penarikan dari jurnal ilmiah ini dilakukan pada Kamis (15/7/2021).
Temuan lain
“Pada laporan mereka, peneliti mengklaim bila ada 4 dari 100 pasien derajat ringan dan sedang dengan terapi standar yang meninggal,” imbuh Lawrence. “Tetapi menurut data asli, jumlahnya adalah 0, sama seperti pada kelompok Ivermectin.”
“Untuk pasien COVID-19 derajat berat, di kelompok Ivermectin, peneliti melaporkan hanya dua orang meninggal, tetapi data mentahnya mengatakan empat.”
Kemudian Lawrence menghubungi ahli epidemiolgi penyakit kronis dari Univerity of Wollongong, Australia, Gideon Meyerowitz-Katz, dan analis data di Swedia Nick Brown untuk membantunya menganalisa data riset tersebut.
Menurut Brown, kesalahan utama adalah setidaknya 79 catatan pasien adalah klon dari catatan lain. “Ini sulit dijelaskan menjadi suatu kesalahan yang tidak disengaja. Karena ada tanda-tanda mereka mencoba mengubah satu atau dua hal agar telihat lebih alami,” ujarnya.
Penelitian yang dilakukan Dr Ahmed Elgazzar ini adalah salah satu yang terbesar dan paling menjanjikan yang menunjukkan bila Ivermectin bisa dipakai sebagai obat COVID-19, dan yang paling sering dikutip oleh pendukung riset ini sebagai bukti keefektifannya.
Sikap WHO
Jika menilik sikap resmi Organisasi Kesehatan Duni (WHO) Ivermectin belum bisa dipakai secara luas sebagai obat COVID-19.
“Bukti saat ini tentang penggunaan Ivermectin untuk mengobati pasien COVID-19 belum dapat disimpulkan. Sampai tersedia lebih banyak data, WHO merekomendasikan bahwa obat tersebut hanya digunakan dalam uji klinis,” tulis WHO dalam situs resminya.
Saat ini juga tengah berlangsung penelitian Ivermectin untuk pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit oleh University of Oxford, di Inggris.
Sementara di dalam negeri, hingga saat ini penggunaan obat cacing ini dalam terapi COVID-19 adalah bagian dari uji klinis yang dilakukan di 8 rumah sakit.
PT Harsen Laboratories, salah satu produsen Ivermectin, pada Minggu (18/7/2021) menyatakan permintaan maaf terbuka karena melakukan sejumlah pelanggaran, termasuk menggiring opini masyarakat bila bisa membeli Ivermectin tanpa resep untuk obat COVID-19.
Dalam salah satu poin tertulisnya, “Kami klarifikasi di sini bahwa izin edar yang kami terima dari BPOM RI untuk Ivermax 12 adalah untuk pengobatan cacingan dan bahwa benar Ivermac 12 adalah obat keras yang penggunaannya harus dengan resep dokter.” (jie)