Pembaca buku Totto-chan: Gadis Kecil di Tepi Jendela pasti ingat cerita si Totto tentang bekal “yang dari laut dan yang dari gunung” untuk dibawa ke sekolah. Siapa sangka, ternyata ini sejalan dengan Shokuiku yang di kemudian hari menjadi bagian penting dalam pendidikan di Jepang.
SD Tomoe tempat Totto bersekolah tidak menyediakan makan siang karena merupakan SD swasta, sehingga murid diminta membawa bekal dari rumah, sesuai ketentuan dari sekolah. Saat makan siang, seluruh murid duduk melingkar. Mereka yang tidak membawa salah satu jenis atau bahkan kedua jenis makanan tak perlu khawatir, karena istri kepala sekolah berjalan berkeliling sambil membawa dua panci: satu panci berisi “yang dari laut” dan satunya lagi “yang dari gunung”.
Sejarah program makan siang di Jepang memang sangat panjang, sejak 1889. “Menu saat itu nasi, ikan, dan acar sayuran,” ungkap Prof. Naomi Aiba, R.D., Ph.D - Peneliti di Institut Kesehatan dan Gizi Nasional Jepang. Tak heran bila Jepang menjadi salah satu negara dengan program makan siang di sekolah yang terbaik dan paling sukses.
Program makan siang di sekolah mengalami pasang surut. Pada 1942 ketika Perang Dunia II melanda, menu makan siang di sekolah hanya berupa sup, bahkan sempat ditiadakan. “Baru dilanjutkan kembali pada 1947, di mana UNICEF memberikan bantuan berupa susu, untuk meningkatkan status gizi anak. Pada 1949 UUD makan siang sekolah disahkan dan dilembagakan,” tutur Prof. Naomi, dalam Seminar Ilmiah Shokuiku – Nutrisi dan Edukasi yang diselenggarakan oleh PT Yakult Indonesia Persada di Jakarta, 13 Februari lalu.
Menu makan siang terus berganti, dan dievaluasi. Ada yang menarik. Pada 1975, menu makan siang di sekolah kebanyakan berupa roti, dan disajikan dengan sendok garpu. “Hal ini menimbulkan masalah, yaitu banyak anak jadi tidak bisa memakai sumpit,” ujar Prof. Naomi. Setelah itu menu makan siang berubah, kembali ke nasi sebagai makanan pokok, beserta lauk dan sayur, sehingga siswa kembali terbiasa memakai sumpit.
“Seiring waktu, variasi bahan makanan makin bertambah. Lauk pauk dari berbagai masakan Jepang sekarang jadi fokus utama,” imbuhnya. Menu kini meliputi makanan pokok/utama (biasanya nasi), makanan pendamping (lauk-pauk), dan sup. Bahan makan yang digunakan berasal dari lokal-tradisional, dan diproduksi di dalam negeri.
Dampak Besar Shokuiku
Shokuiku adalah kampanye pendidikan pangan dan gizi, yang disahkan dalam UUD dan mulai diberlakukan sejak 2005. Shokuiku dilaksanakan melalui pendidikan dan aktivitas di sekolah. “Ini adalah cara bagi anak untuk memperoleh pengetahuan tentang pangan dan mengembangkan sikap positif terhadap makanan,” ucap Prof. Naomi.
Pusat pendidikan pangan di sekolah dilakukan oleh guru ahli gizi, yatu guru yang juga memiliki sertifikasi sebagai ahli gizi. Guru gizi bekerja sama dengan guru-guru lain misalnya wali kelas untuk memberikan edukasi. Di kelas, siswa akan menerima arahan tentang gizi bersama wali kelas. “Dengan merasakan makan siang di sekolah, anak-anak dapat mempraktikkan yang telah dipelajari di kelas,” lanjut Prof. Naomi.
Beruntung, OTC Digest pernah merasakan langsung makan siang bersama di sekolah pada 2008 lalu, bersama murid-murid di sebuah SD di area Tokyo. Saat makan siang, murid-murid yang hari itu piket akan brbaris rapi di depan lift makanan. Makanan diantar dari dapur sekolah dengan lift khusus, lalu ditata oleh petugas piket ke troli makanan. Setelah itu dibawa ke kelas, dan seisi kelas berbaris rapi untuk mengambil nampan dan makanan yang telah disediakan. Suasana makan terasa menyenangkan. Murid-murid makan sambil mengobrol riang, tapi tetap tertib dan duduk di kursi masing-masing. Selesai makan, mereka membereskan sendiri peralatan makan, menumpuk nampan di troli, dan membuang sampah kotak susu ke tempat sampah khusus yang telah disediakan.
Makan siang berlangsung selama total 45 menit, mulai dari persiapan hingga beres-beres. Ternyata, waktu makan siang dianggap sebagai kegiatan belajar, dan waktunya sama seperti mata pelajaran lain, 45 menit.
Prof. Naomi menjelaskan, shokuiku melalui makan siang di sekolah tidak sekadar memberikan gizi yang baik untuk kesehatan anak, tapi juga penting untuk mengembangkan pola makan sehat dan mensyukuri makanan. “Melalui makan siang di sekolah, anak mempelajari hubungan antar manusia, dengan menikmati makanan bersama-sama. Dengan demikian membantu anak-anak untuk mengembangkan kebiasaan makan yang baik, untuk pola makan yang sehat di masa mendatang,” paparnya.
Ia melanjutkan, waktu makan yang menyenangkan bersama teman-teman merupakan cara yang efektif untuk mencegah anak menjadi picky eater. “Pengalaman makan bersama di sekolah yang menyenangkan, bisa menciptakan susasana sosial yang nikmat sehingga tanpa sadar, anak mencoba makanan yang tidak disukainya,” terang Prof. Naomi. Hal ini juga menunjukkan contoh kpada anak mengenai perilaku makan yang baik, dengan meniru tindakan teman-teman dan guru mereka.
Bisakah Diterapkan di Indonesia?
Melaksanakan Program Makan Bergizi gratis (MBG) memang bukan pekerjaan mudah. Masih banyak sekali yang harus dibenahi dari MBG yang sudah berlangsung sekitar 1,5 bulan ini. “Yang membedakan program MBG Indonesia dengan Jepang adalah, Indonesia tidak memulai dari kelompok yang kecil, melainkan serentak langsung pada semua kelompok sasaran,” ujar Dr. Drs. Nyoto Suwignyo, MM, Deputi Bidang Promosi dan Kerja Sama Badan Gizi Nasional.
Ia sangat mengapresiasi program makan siang dan Shokuiku di Jepang. “Dari Prof Naomi Aiba kami dapatkan banyak hal, baik aspek hukum maupun edukasi. Apa yang beliau sampaikan sebagai pencerahan edukasi yang luar biasa yang tentu jadi perhatian bagi kami,” ujar Nyoto.
Ia menekankan pentingnya kerjasama dan kekompakan antar pihak, baik swasta, media, perguruan tinggi, dan pemerintah itu sendiri. “Uji coba MBG di Indonesia yang baru saja kita mulai ini, harus berhasil. Jadi prinsipnya trial and success, bukan trial and error. Kita cari bagusnya sehingga pelaksaaan MBG di Indonesia, uji coba langsung yang terbaik,” pungkas Nyoto. (nid)