Setiap usia berisiko menderita neuropati, baik anak-anak hingga orang dewasa. Deteksi dini dan mengenali gejala efektif mencegah kerusakan saraf berat dan mengembalikan fungsi saraf.
Saraf tepi atau perifer menghubungkan sistem saraf pusat (dari otak dan sumsum tulang belakang) dengan semua bagian penting tubuh, termasuk tangan dan kaki. Neuropati adalah gangguan pada sistem saraf tepi yang bisa terjadi akut ataupun kronis.
Ketua Pokdi Neuro Fisiologi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, dr. Manfaluthy Hakim, SpS(K), menjelaskan bila setiap usia berisiko menderita neuropati, bahkan pada bayi dan anak-anak.
Ada banyak penyebab neuropati mulai karena penyakit tertentu, kondisi fisik, usia lanjut, terpapar bahan kimia, mengonsumsi obat-obatan tertentu hingga kurangnya asupan vitamin B.
“Bisa timbul pada bayi dan anak-anak, ini yang disebut neuropati herediter,” ujar dr. Luthy. “Sementara neuropati nonherediter disebut neuropati yang didapat, bisa terjadi pada usia dewasa muda.”
Neuropati yang didapatkan disebabkan oleh kondisi seperti diabetes, hipertensi, penyakit pembuluh darah atau gangguan tiroid, kondisi fisik, usia lanjut, terpapar bahan kimia, mengonsumsi obat-obatan tertentu dan kurangnya asupan vitamin B.
Deteksi dini sangatlah penting agar pengobatan lebih awal dapat dilakukan termasuk pemberian vitamin neurotropik (vitamin B1, B6, B12). Hal tersebut bertujuan untuk mencegah dampak neuropati yang lebih berat.
“Jika kerusakan sudah lebih dari 50%, maka sampai pada point of no return (tidak bisa dikembalikan seperti semula),” tutur dr. Luthy dalam seminar Neuropathy Awareness Week, Senin (20/6/2022).
Diabetes dan neuropati
Diabetes dan gangguan saraf tepi punya hubungan erat. Kadar gula darah yang tinggi, selain merusak pembuluh darah juga sistem saraf tepi. Data menyebutkan hampir 1 dari 5 penderita diabetes menderita neuropati.
“Data dari Kementerian Kesehatan tahun 2013 menyatakan hanya 30% dari kasus neuropati diabetes yang terdeteksi di Indonesia,” dr. Luthy menambahkan. “Sebagian besar (55%) pasien datang dalam kondisi neuropati berat, 19-26% datang pada kondisi ringan dan sedang.”
Baca: Berawal Dari Kesemutan Berujung Amputasi, Waspadai Gejala Neuropati Diabetes
Gejala khas
Neuropati memiliki gejala khas berupa kesemutan berulang tanpa sebab (misalnya tidak menekuk kaki dalam waktu lama, seperti bersila, dll), kram, rasa terbakar, kaku-kaku, kulit mengkilap/kering.
Selain itu juga bisa ditandai dengan kulit mati rasa sehingga berisiko terjadi luka yang tidak diketahui misalnya saat menginjak benda runcing.
Dr. Luthy menerangkan ada beberapa fakta terkait gejala neuropati:
Fakta 1: satu dari dua orang berusia 30 tahun yang menderita neuropati mengalami gejala kebas, mati rasa dan kesemutan berulang.
Fakta 2: satu dari empat orang berusia 26 -30 tahun merasakan gejala kesemutan dan kebas. Gejala neuropati mulai dirasakan di rentang usia yang lebih muda, paling tinggi di usia 26 – 30 tahun.
Fakta 3: tingginya aktivitas dan gaya hidup masyarakat Indonesia berisiko menyebabkan neuropati. Gaya hidup yang dimaksud adalah sedentari, alias kurang gerak.
Dalam kesempatan yang sama, dr. Imran Agus Nurali, SpKO, Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat – Ditjen Kesmas, Kemenkes RI menjelaskan satu dari tiga orang Indonesia kurang bergerak, menurut Riskesdas 2018.
“Kurang bergerak menyebabkan kurangnya oksigenasi. Kalau tidak olahraga oksigennya tidak menyebar sampai ke ujung-ujung kaki,” katanya.
Deteksi dini sebelum terlambat
Pengobatan dini atau pencegahan adalah hal yang penting untuk mencegah kerusakan yang irreversible, yakni bila lebih dari 50%.
“Serabut saraf masih bisa meregenerasi bila neuropati didiagnosis lebih awal,” tegas dr. Luthy. Studi NENOIN (2018) menunjukkan pemberian vitamin B1, B6 dan B12 selama 14 hari pada penderita neuropati derajat ringan - sedang signifikan memperbaiki gejala. (jie)