Hingga saat ini belum ada obat spesifik untuk COVID-19. Karena berkejaran dengan waktu, para ahli dari Daewoong Pharmaceutical, farmasi dari Korea, mengolah ulang beberapa obat lama untuk digunakan dalam terapi infeksi virus corona.
Sebelumnya, ada dua obat yang disetujui / diketahui bermanfaat untuk terapi COVID-19, yakni remdesivir dan dexamethasone. Remdesivir sejatinya adalah obat yang dikembangkan untuk virus Ebola. Sementara dexamethasone adalah obat steroid murah yang bertahun-tahun dipakai sebagai antiradang.
“Remdesivir bisa memperpendek rawat inap hingga 4 hari dan sedikit mengurangi mortalitas walau tidak bermakna secara statistik. Dexamethasone terbukti mengurangi kematian hingga 30% pada pasien parah, tapi karena ia steroid maka penggunaannya dibatasi akibat kekhawatiran terhadap efek samping obat. Kesimpulannya kasiatnya kurang, sehingga perlu obat lain yang lebih superior,” ujar Wang-Shik Ryu, PhD, CEO Institut Pasteur Korea, yang bekerjasama dengan Daewoong Pharmaceutical meneliti obat untuk COVID-19.
Normalnya dibutuhkan 5-10 tahun untuk mengembangkan obat / vaksin baru. Tetapi karena kebutuhan yang sangat mendesak akibat pandemi ini, reposisi obat (pembuatan kembali untuk indikasi baru) menjadi pilihan yang lebih masuk akal. Ini seperti yang terjadi pada sildenafil (Viagra) yang awalnya adalah obat penyumbatan jantung menjadi untuk gangguan ereksi.
“Kami memilih obat yang dapat menghambat pertumbuhan virus corona dalam kultur sel dan dengan efek antivirus yang lebih kuat dibandingkan dengan remdesvir,” ujar Wang-Shik Ryu, dalam konferensi pers virtual Daewoong Media Day dari Korea, Selasa (29/9/2020).
Sebagai informasi, Institut Pateur Korea menerapkan ‘phenomic screening’ atau sistem skrining obat yang mengevaluasi obat berbasis citra sel. Wang-Shik Ryu menjelaskan setelah membentuk pengujian bebasis sel pada suatu penyakit, obat dikembangkan melalui 384 well plates untuk mengobati banyak senyawa sekaligus.
“Setelah mendapatkan citra sel yang diobati dengan obat tersebut, citra tersebut akan dianalisis kemanjurannya,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama CEO Daewoong Pharmaceutical, Sengho Jeon, mengatakan perusahaan ini sedang mengembangkan perawatan COVID-19 menggunakan bahan-bahan camostat (obat radang pankreas yang telah dipasarkan sejak 2012) dan niclosamide yang awalnya untuk infeksi parasit (cacing).
Saat ini camostat (Fostar) sedang menjalani uji klinis fase 2 di Meksiko dan Korea. “Camostat diharapkan efektif dalam merawat pasien bergejala ringan dan sedang, yang melingkupi 80% dari seluruh pasien COVID-19. Sebagai obat oral, produk berbahan camostat dapat diresepkan dan dilakukan dimana saja sehingga pasien tidak perlu dirawat inap,” imbuh Sengho Jeon.
Untuk niclosamide, pada studi in vitro (di dalam tabung reaksi) dan in vivo (pada organisme hidup) terlihat adanya aktivitas antivirus yang kuat dibandingkan remdesivir atau chloroquine (obat malaria yang digunakan dalam terapi COVID-19), namun efektivitasnya berkurang jika diberikan sebagai obat oral.
“Tetapi Daewoong Pharmaceutical telah mengembangkan teknologi Depot Injection sehingga niclosamide bisa disuntikkan, dan efektivitasnya dapat ditingkatkan secara optimal,” tukas Sengho Jeon. “Saat ini uji klinis fase 1 telah diajukan di Korea, India dan Filipina. Uji klinis dilakukan pada orang sehat dan pasien COVID-19.”
Jika berjalan lancar uji klinis kedua obat tersebut selesai pada paruh pertama tahun 2021, dan bila hasilnya baik akan segera dikirimkan untuk mendapatkan persetujuan penggunaan darurat. (jie)
Baca juga : Sudah Sejauh Apa Uji Klinis Terapi Sel Punca Untuk COVID-19 di Indonesia, Bagaimana Cara Kerjanya?