Perilaku yang Salah selama 1000 HPK bisa Memicu Stunting

Perilaku yang Salah selama 1000 HPK bisa Memicu Stunting

Cukup mengejutkan, ternyata 70% penyebab stunting adalah hal-hal di luar kesehatan dan gizi. Secara spesifik, 30% stunting disebabkan oleh perilaku yang salah, utamanya dalam 1000 hari pertama kehidupan (HPK). “Perilaku yang kurang baik terkait pola hidup, pola makan, dan pola pengasuhan anak bisa memicu terjadinya stunting,” ujar Widodo Suhartoyo, Senior Technical and Liasion Adviser Early Childhood Education and Development Tanoto Foundation. Perilaku yang salah selama 1000 HPK bisa memicu stunting.

Stunting bukanlah kondisi akut, melainkan kondisi akibat kekurangan gizi kronis yang terjadi sedikit demi sedikit, secara akumulatif. Akhirnya, anak mengalami gagal tumbuh dan gagal kembang. Perilaku yang salah memang ‘hanya’ menyumbang 30% angka kejadian stunting, tapi bila tidak ditangani, masalah stunting tidak akan selesai. Padahal, pemerintah punya target menurunkan angka stunting hingga <20% pada 2024. Masih cukup jauh dari kondisi terakhir berdasarkan Riskesdas 2018 (30,8%) dan SSGBI (Survei Status Gizi Balita Indonesia) 2019 sebesar 27,7%.

Anak pendek belum tentu stunting, tapi salah satu indikator stunting adalah pendek. “Stunting bukan melulu soal tinggi badan yang tidak tercapai. Lebih jauh lagi, kondisi ini akan menentukan kualitas-kualitas anak di kemudian hari,” ujar pakar nutrisi Dr. Rita Ramayulis, DCN, M.Kes, dalam diskusi daring bersama Tanoto Foundation, Rabu (29/7/2020).

 

Perilaku yang salah selama 1000 HPK

Orang tua yang pendek tidak otomatis akan memiliki anak pendek. “Anak bisa menjadi pendek karena orang tua menerapkan pola asuh dan pola makan seperti yang diterimanya dulu. Lingkaran ini harus diputus,” tegas Widodo. Periode 1000 HPK merupakan masa krusial perkembangan anak. Untuk memutus lingkaran setan stunting, orang tua dan pengasuh anak harus mengenali dan memperbaiki perilaku yang salah selama 1000 HPK.

Stunting berkembang secara kumulatif selama 1000 HPK. Ini bisa dibagi ke dalam 5 tahapan: masa kehamilan, saat melahirkan, bayi usia 0-6 bulan, bayi usia 7-11 bulan, dan anak usia 12-24 bulan. “Kondisi saat ibu hamil akan memengaruhi kondisi ibu saat melahirkan nanti, yang akan memengaruhi kondisi bayi hingga ia berusia 24 bulan,” tutur Rita.

Sepanjang perjalanan ini, sangat rentan muncul berbagai risiko stunting. “Kita tidak boleh absen memerhatikan gizi dalam lima kelompok tadi,” tegas Rita. Ia sangat menyayangkan, masih banyak perilaku orang tua yang kurang tepat, hingga asupan gizi selama 1000 HPK tidak terpenuhi sebagaimana mestinya. Saat hamil misalnya, ibu tidak memperbaiki pola makannya sehingga asupan gizi untuk janin kurang memadai.

Perilaku lain misalnya bayi tidak diberi ASI (air susu ibu) sesuai ketentuan. Idealnya, bayi hanya mendapat ASI saja (ASI eksklusif) selama 6 bulan pertama kehidupannya. “Masih ada anggapan bahwa ASI adalah minuman sehingga dianggap tidak mengenyangkan. Akhirnya bayi diberi makanan lain agar kenyang,” ungkap Rita.

Masih banyak lagi perilaku yang salah selama 1000 HPK di masyarakat, dan tidak disadari. Perlahan tapi pasti, anak makin berisiko mengalami stunting. Rita menekankan pentingnya konseling, untuk membantu orang tua mengenali perilaku yang salah dan menempatkan anak dalam risiko stunting. “Kita bantu orang tua memahami bahwa perilakunya bermasalah, lalu kita bantu carikan solusi untuk menyelesaikannya. Masalah yang sama bisa memiliki solusi berbeda untuk tiap orang,” ucapnya.

Lantas, apa saja perilaku saat hamil yang berisiko memicu stunting? Simak penjelasannya dalam artikel berikut ini. (nid)

____________________________________________

Ilustrasi: Baby photo created by onlyyouqj - www.freepik.com