Pengobatan Hemofilia Sudah Ditanggung BPJS, tapi Masih Banyak Tantangan | OTC Digest

Pengobatan Hemofilia Sudah Ditanggung BPJS, tapi Masih Banyak Tantangan

Penyandang hemofilia lahir dengan gen yang tidak mampu memproduksi faktor pembekuan darah. “Salah gerak atau terlalu banyak berjalan sedikit saja, bisa bengkak di lutut atau pergelangan kaki,” ungkap Dr. dr. Novie Amelia Chozie, Sp.A(K), Wakil Ketua Himpunan Msyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI). Bahkan aktivitas biasa sehari-hari saja bisa menimbulkan perdarahan.

Pengobatan hemofilia disesuaikan dengan jenis hemofilia; apakah tipe A atau tipe B. Pada hemofilia tipe A yang kekurangan faktor VII, maka pengobatannya dengan pemberian konsentrat faktor VII. Adapun hemofilia tipe B yang kekurangan faktor IX membutuhkan konsentrat faktor IX.

Hadirnya obat konsentrat sangat menguntungkan bagi penyandang hemofilia. Sebelum ada obat konsentrat, pengobatan hemofilia dilakukan dengan cara memisahkan protein yang dibutuhkan dari darah donor, lalu ditransfusikan ke penyandang hemofilia. Pada anak-anak, mungkin butuh 5 kantong darah, dan kebutuhannya makin banyak seiring bertambahnya usia. Di usia remaja/dewasa, mungkin bisa membutuhkan hingga 12 kantong darah. Bisa habis waktu seharian untuk pengobatan ini. Dengan obat konsentrat, obat cukup disuntikkan secara intravena, bahkan bisa dibawa pulang dan disuntikkan sendiri di rumah.

Baca juga: Hidup Normal dengan Hemofilia

Idealnya, pengobatan dilakukan meski tidak ada gejala. Ini disebut terapi profilaksis (pencegahan), dan sudah dilakukan di negara-negara maju. “Penyandang hemofilia otomatis mendapat obt sejak ia mengalami perdrahan sendi pertama kali. Jadi tidak tunggu sampai sendi rusak baru diberikan rutin,” ujar Dr. dr. Novie, dalam peluncuran Aplikasi Hemofilia Indonesia di Jakarta, beberapa waktu lalu. Obat diberikan dua atau tiga kali seminggu, tergantung kebijakan masing-masing negara. “Dengan terapi profilaksis, anak-anak bisa beraktivitas mendekati normal,” lanjutnya.

Sayangnya di Indonesia, obat diberikan sebatas ketika ada keluhan seperti perdarahan atau bengkak-bengkak. Tidak heran, angka perdarahan sendi di negara maju jauh lebih rendah dibandingkan di negara berkembang, di mana obat diberikan secara on demand atau hanya ketika dibutuhkan.

Obat konsentrat telah ditanggung oleh BPJS. Namun, obat konsentrat sangat mahal. Satu vial harganya jutaan rupiah, sedangkan orang dewasa mungkin membutuhkan >1 vial per terapi, dan terapi dibutuhkan minimal satu kali dalam seminggu. Pembiayaan yang ditanggung BPJS mungkin tidak mencukupi.

Baca juga: Virus Adeno, Pengobatan Baru Hemofilia

Penentuan tarif yang ditanggung oleh BPJS, ditentukan berdasarkan diagnosis hemofilia, dan besarannya berbeda-beda di tiap RS. Di RSCM misalnya, tarifnya sekitar 11 juta untuk rawat inap. “Tarif demikian mungkin tidak cukup karena makin besar pasien, makin banyak pula kebutuhan obatnya,” sesal Dr. dr. Novie.

Untuk orangtua yang memiliki anak dengan hemofilia, ingat selalu prinsip RICE (rest, ice, compression, elevation) sebelum membawa anak ke RS. Segera istirahatkan sendi yang bengkak. “Misalnya lutut atau mata kaki yang bengkak, istirahatkan; jangan dipakai untuk bertumpu,” tegas Dr. dr. Novie. Istirahatkan sendi salam posisi agak naik. Lalu, bebat tapi jangan terlalu ketat. Terakhir, kompres dengan es. “Jangan langsung mengenai kulit, bungkus dulu dengan handuk,” imbuhnya. Lakukan kompres es dengan diangkat tiap dua menit.

Usahakan faktor pembekuan sudah diberikan dalam dua jam setelah cedera, atau sendi akan lebih sulit sembuh, dan butuh penogbatan yang lebih lama. Ini salah satu kendala lain yang dihadapi penyndang pasien hemofili di Indonesia. “Antrean di RS demikian panjang. Yang idealnya dapat obat dalam dua jam, jadi terlambat,” sesal Dr. dr. Novie.

Sangat bagus bila penyandang hemofilia bisa menjalani pengobatan di rumah. “Misalnya saat berobat ke RS, kita berikan empat vial. Tiga vial dipakai, sisanya satu vial disimpan sehingga bila sewaktu-waktu ada perdarahan, obat bisa segera disuntikkan sebelum datang ke RS,” tuturnya. Hal ini sudah bisa dilakukan di beberapa RS, tapi masih banyak yang belum bisa memfasilitasnya.

 

Tantangan pengobatan

Tangan lain dalam pengobatan hemofili yakni sistem berjenjang. Memang, sistem ini dimaksudkan agar penyakit-penyakit tertentu bisa selesai diterapi di layanan primer sehingga apsien tidak bertumpuk di RS umum. Sayangnya untuk hemofilia, ini menjadi kendala. “Bila pemeriksaan hemofilia mengikuti sistem berjenjang, bisa terlambat didiagnosis. Penanganannya pun akhirnya ikut terlambat,” terang Dr. dr. Novie.

Ketersediaan obat juga masih menjadi kendala. Dengan tersedianya obat-obat faktor VIII dan IX di Fornas, maka obat bisa diberikan di RS pada pasien yang membutuhkan. “Masalahnya, distribusi dokter sub spesialis hematologi anak dan dewasa masih belum merata, terutama di daerah timur,” ujar Prof. Dr. dr. Djajadiman Gatot, Sp.A(K), Ketua HMHI. Padahal, hanya sub spesialis hematologi yang memiliki kompetensi untuk mendiagnosis dan memberi pengobatan untuk hemofilia.

Lantas, apa yang harus dilakukan? “Sertifikasi; pendidikan kepada dokter anak dan dokter umum yang bekerja di layanan primer dan sekunder untuk memahami soal hemofilia,” papar Prof. Djajadiman. Dengan demikian, mereka pun berkompeten untuk mendiagnosis dan mengobati hemofilia. Hal ini sudah dilakukan di Surabaya, Banten, dan beberapa kota lain. Kita harapkan bisa segera merata di seluruh kota di Indonesia. (nid)

_________________________________

Ilustrasi: People photo created by lifeforstock - www.freepik.com