“Multiple Sclerosis”, Penyakit 1000 Wajah | OTC Digest

“Multiple Sclerosis”, Penyakit 1000 Wajah

Elisabeth Sianturi (58 tahun) tidak pernah menyangka bahwa kejadian jatuh tanpa sebab yang beberapa kali dialami, adalah tanda dari penyakit serius dan misterius. Ketika duduk di bangku SMP, tiba-tiba saja ia jatuh. Kemudian ia bisa berdiri lagi dan berjalan seperti biasa, sehingga tidak punya pikiran macam-macam. Waktu berlalu, tidak muncul gejala apapun, hingga ia kuliah. Suatu hari ia berdandan rapi karena di kampus ada perayaan.“Sudah gaya-gaya, eh aku jatuh. Semua ketawa. Malu sekali,” kenang perempuan berkacamata ini.

Bertahun kemudian ketika sudah bekerja, kejadian yang sama terulang hingga dua kali. Setelah jatuh, ia kembali berdiri dan berjalan lagi. Elisabeth tidak menganggap yang dialaminya serius, sehingga tidak merasa perlu untuk pergi ke dokter. “Kejadiannya cuma sekali dalam beberapa tahun, dan tidak menimbulkan keluhan lain,” ujarnya.

Saat berlibur ke Bali, ia jatuh lagi. Begitu berdiri dan mencoba berjalan, “Saya pincang. Saya pikir, saya kena stroke.” Beberapa hari di Pulau Dewata, ia harus menyeret kakinya saat berjalan.

Kembali ke Jakarta, ia masuk rumah sakit dan dirawat. Selanjutnya berbagai RS disambangi. Tak terhitung berapa kali ia menjalani pemeriksaan MRI, tapi diangosisnya tidak pasti. Lambungnya ‘hancur’ akibat obat-obatan yang dikonsumsi dan berat badannya turun 14 kg.

Tahun 2009, ia memutuskan ke Singapura untuk mengobati lambung, sekalian menanyakan kemungkinan penyakit saraf yang dialami sambil menunjukkan hasil MRI terakhir. Dokter curiga ia terkena multiple sclerosis (MS). Cairan otaknya diambil dan dikirim ke Amerika Serikat (AS). Benar. Elisabeth mengidap MS. (Baca juga: RA Kanya Puspakusumo: “Saya Pernah Buta dan Lumpuh")

Selama dua tahun ia menyuntikkan obat sendiri, tiga kali seminggu. Tiap malam ia berdoa, apakah besok pagi masih bisa berjalan seperti biasa. Ketika relaps (kambuh lagi), ia nyaris lumpuh. “Disuruh berjalan lurus saya tidak bisa. Saya menjalani fisioterapi,” katanya. Kini, ia sedang dalam fase remisi (sembuh). Sudah bisa berjalan dan berbincang seperti biasa.

Untuk membantu mengatasi kondisinya, Elisabeth menjalani self healing yang mengintegrasikan tubuh, pikiran dan jiwa sehingga bisa berpikir positif dan legowo. “Saat dinyatakan kena MS, sebaiknya mencari pengobatan medis. Baru setelah itu mencari pengobatan lain. Tergantung kita mau yang seperti apa,” tuturnya.

 

Penyakit autoimun

MS merupakan penyakit autoimun. Sistem imun yang seharusnya melindungi tubuh dari berbagai benda asing berbahaya, malah menyerang sel-sel tubuh sendiri. “Pada MS, yang diserang adalah sel-sel saraf pusat (otak dan sumsum tulang belakang),” terang dr. Riwanti Estiasari, Sp.S, Sekretaris  Yayasan Multiple Sclerosis Indonesia (YMSI).

Bagian saraf yang diserang yakni myelin, lapisan yang menyelubungi dan melindungi ‘ekor’ sel saraf (akson). Sebagai informasi, pesan berupa aliran listrik diteruskan dari satu sel saraf ke sel saraf berikutnya. Bila selubung myelin rusak, listrik di sepanjang akson terganggu. Misalnya, otak memerintah tangan untuk mengambil sesuatu. “Bila hantaran di saraf terganggu, perintah itu tidak sampai. Tangan bisa lumpuh, lemah, atau gerakan tidak terkoordinasi. Bukan mengambil barang yang diperintahkan, tangan malah mengambil yang lain,” papar dr. Riwanti.

MS jarang menyebabkan kematian, tapi mengganggu aktivitas sehari-hari dan menurunkan kualitas hidup karena saat terjadi serangan, sejumlah fungsi tubuh berkurang atau hilang. Komplikasi MS berat, misalnya infeksi paru atau sulit bernafas akibat kelemahan otot.

MS seperti yang diderita almarhum Pepeng, termasuk penyakit langka. Di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, selama 1,5 tahun terakhir ‘hanya’ ditemukan 14 kasus. Belum diketahui berapa jumlah kasus ini di Indonesia. Berdasar Atlas MS 2013 Federasi Internasional MS, diperkirakan ada 2,3 juta penderita MS di dunia, meningkat 9,5% dari survei tahun 2008.

Belum diketahui, apa yang menyebabkan sistem imun menyerang myelin sehingga muncul MS. Meski bukan penyakit keturunan, faktor genetik ditengarai dapat berpengaruh pada terjadinya MS. Menurut National Institute of Neurological Disease and Stroke,  sekitar 15% individu dengan MS memiliki satu atau lebih anggota keluarga/kerabat dengan MS. Pada kasus kembar identik, risiko meningkat 30% bila salah satu anak kembar mengalami MS. 

Infeksi mikroba tertentu dicurigai dapat mencetuskan atau meningkatkan risiko MS, tapi belum terbukti. Masih diteliti hubungan MS dengan infeksi tertentu seperti Epstein-Barr, herpes dan Varicella zoster (cacar air). Faktor risiko lain yakni merokok, stres dan terpapar toksin (racun) tertentu seperti pelarut. Pastinya, MS tidak menular

MS bisa terjadi di usia berapa saja; yang paling sering usia 20 - 40 tahun. Perempuan yang menderita MS 2-3 kali lebih banyak daripada laki-laki. Diduga, ada kaitannya dengan hormon. Ras Amerika Pribumi, Afrika dan Asia memliki risiko MS terendah, sedangkan ras Kaukasia berisiko lebih tinggi. Keturunan Eropa Utara memiliki risiko tertinggi. MS lebih banyak terjadi di negara beriklim dingin.

 

Seribu wajah

 “Gejala awal MS tidak spesifik,” ujar dr. Riwanti. Seperti penyakit autoimun lain yaitu lupus, MS dijuluki penyakit 1000 wajah. Karena gejalanya tidak khas, MS sulit dikenali, termasuk oleh dokter. MS belum populer, sehingga jarang yang mencurigai penyakit ini.

Gejala antara lain kelelahan ekstrim (fatigue), gangguan keseimbangan seperti dialami Elisabeth (tiba-tiba jatuh), dan gangguan penglihatan misalnya penglihatan ganda di satu mata. Gejala utama lainnya mencakup kebas atau gatal menggelitik di beberapa bagian tubuh berbeda; otot kejang, kaku atau lemah; gangguan koordinasi; gangguan berpikir, belajar dan merencanakan. “Gangguan yang muncul berbeda, tergantung area otak yang terserang,” imbuh dr. Riwanti. Ada baiknya segera ke dokter bila merasakan gejala-gejala tersebut tanpa sebab yang jelas.

Gejala yang ringan atau gejala awal penyakit sulit didiangosis pada pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama (PPK 1). Untuk menegakkan diangosis, perlu pemeriksaan khusus, utamanya MRI dengan kontras. Pemeriksaan lebih jauh yakni lumbal pungsi, pengambilan cairan otak dari punggung untuk diteliti. Sayangnya pemeriksaan ini belum bisa dilakukan di Indonesia. Sampel cairan otak harus dikirim ke negara seperti AS, sehingga biayanya lumayan besar. (nid)

 

Baca juga: Empat Tipe “Multiple Sclerosis”