“Pengobatan hipogonadisme yang paling tepat yakni dengan mencari sebabnya dan mengatasi penyakit penyebab tersebut,” ujar dr. Nugroho Setiawan, MS, Sp.And yang praktik di RSUP Fatmawati, Jakarta Selatan. Pada hipogonadisme primer di mana ‘pabrik’ testosteron rusak, “Satu-satunya jalan yakni pemberian testosterone dari luar.” Pada kasus sekunder, akar masalahnya harus diselesaikan. Bila berhubungan dengan pola hidup dan penyakit metabolik, bisa dicegah dan diatasi dengan perbaikan gaya hidup.
Studi Andrew A. Dwyer (2012) mengungkapkan, modifikasi gaya hidup pada laki-laki dengan gangguan toleransi glukosa, meningkatkan kadar testosteron endogen dan mengurangi prevalensi hipogonadisme hingga 46%. Penurunan berat badan (BB) juga berperan besar dalam memperbaiki kadar testosteron.
Overtraining bisa menurunkan kadar testosterone; olahraga yang teratur dan terukut harus rutin dilakukan, “Idealnya setiap hari. Minimal lima kali seminggu, atau jarak antar olahraga tidak lebih dari 48 jam.” Kualitas dan kuantitasnya harus tepat, jangan berlebihan. Sesuaikan dengan usia. Untuk usia >50 tahun, yang paling tepat jalan cepat dan berenang. “Jangan olahraga kompetisi seperti tenis atau badminton, yang melibatkan emosi; dikhawatirkan menganggu kesehatan,” imbuh dr. Nugroho.
Asupan gizi harus cukup dan berimbang. Berat badan berlebih perlu diturunkan dan dipertahankan bila sudah tercapai. Sediakan waktu istirahat, 6-7 jam setiap malam, dengan kondisi gelap. Tidur dalam gelap akan merangsang produksi hormon pertumbuhan dan melatonin. Ini penting untuk regenerasi sel dan meningkatkan status kesehatan secara keseluruhan.
Stres tak bisa dihindari, tapi bisa dikelola. Kerahkan semua kemampuan saat bekerja. Begitu keluar kantor, jangan lagi memikirkan pekerjaan, apalagi sampai dibawa tidur. “Beri aturan kepada diri sendiri, lewat jam 9 malam tidak lagi bekerja, sehingga tidak menjadi beban yang monoton dan memberatkan,” papar dr. Nugroho.
Bila hipogonadisme sekunder disebabkan adanya gangguan pada kelenjar pituitary, misalnya ada tumor, tumor perlu diangkat. Pada kasus seperti sindrom Kallman, dibutuhkan pemberian testosteron pada awalnya, untuk menginduksi karakteristik laki-laki. Bisa dilanjutkan dengan hormon gonadotropin, untuk merangsang kesuburannya. (nid)
Bersambung ke: Kembali "Greng" dengan Terapi Hormon
Ada triad (hubungan segitiga) antara hipogonadisme, penyakit metabolik dan disfungsi seksual. “Lelaki yang mengalami hipogonadisme, lebih rentan menderita penyakit metabolik dan sebaliknya, dan kedua kondisi tersebut mengganggu fungsi seksual,” tutur dr. Nugraha. Penyakit metabolik mencakup hipertensi, DM2, obesitas dan profil lipid (lemak) yang kacau. (nid) |
Testosteron mulai bekerja sejak manusia dalam kandungan, untuk menentukan jenis kelamin. “Bila kadarnya kurang, pembentukan genital lelaki bisa tidak penuh sehingga membingungkan,” terang dr. Nugroho. Bisa terjadi, testosteron kurang saat anak lelaki mengalami masa pertumbuhan, organ genitalia eksternalnya tidak sempurna: penis kecil, dan buah zakarnya tidak berkembang sempurna. Bila gangguan testosteron terjadi di usia dewasa, “Fungsi kelelakiannya yang terganggu: kurang gairah, ejakulasi terganggu, dan lain-lain.” (nid) |