Melibatkan Eijkman dan Universitas Airlangga untuk tes COVID-19
tes_COVID

Melibatkan Eijkman dan Universitas Airlangga untuk tes COVID-19 tidak cukup. Ini solusi para ahli

Luthfi T. Dzulfikar, The Conversation

Peneliti kesehatan melihat keputusan pemerintah untuk menambah dua lagi lembaga sebagai rujukan uji klinis untuk kasus infeksi coronavirus masih kurang dalam menanggulangi penyakit tersebut.

Minggu lalu, pemerintah menunjuk Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dan juga Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan (BBTKL) di Universitas Airlangga (UNAIR) di Surabaya, Jawa Timur sebagai tempat uji klinis untuk kasus COVID-19, untuk membantu Lembaga Penelitian dan Pengembangan (Litbangkes) Kementerian Kesehatan yang sudah ditunjuk resmi.

Tapi, penambahan tersebut belumlah cukup karena rumah sakit di mana pasien berada masih sulit mengakses secara cepat lab pengujian yang ditunjuk.

“Bukan masalah kualitas ya, Eijkman siapa yang meragukan? Tapi ini lab riset, bukan lab untuk perawatan pasien,” Erni Juwita Nelwan, seorang dosen dan peneliti di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) menjelaskan.

“[Penundaan] beberapa hari ini akan menyulitkan manajemen pemantauan pasien kalau hasilnya tidak bisa keluar segera. Pemerintah belum melihat karena yang membuat kebijakan di [level] atas, enggak ngerasain seperti yang di bawah bagaimana kalau hasil lama.”

Kasus positif COVID pertama di Indonesia terdeteksi pada tanggal 1 Maret dan dalam sepuluh hari total kasus menjadi 34 orang. Namun, hanya lima hari kemudian jumlah kasus bertambah 83 orang menjadi total 117 kasus positif. Laju pertumbuhan angka infeksi diprediksi akan terus bertahan hingga beberapa waktu ke depan.

Oleh karena itu, Erni menyerukan kepada pemerintah untuk juga mempertimbangkan laboratorium yang dekat dengan layanan perawatan pasien.

Di antaranya adalah lab rumah sakit rujukan, lab universitas yang bekerja sama dengan rumah sakit, atau mendayagunakan lab kesehatan daerah untuk memangkas waktu diagnosis.

Lambannya proses pengujian di Indonesia - baru 736 spesimen yang diperiksa hingga 11 Maret - dapat menyulitkan penanganan pasien di rumah sakit, memberikan gambaran persebaran COVID yang tidak aktual, dan juga menghambat penyelamatan nyawa pasien.

Libatkan lebih banyak lab yang memiliki layanan perawatan pasien

Sebagai langkah yang paling mudah, Erni menyarankan pemerintah untuk mendayagunakan lab-lab di rumah sakit yang sudah menjadi rujukan untuk COVID-19.

Per 11 Maret, terdapat 132 rumah sakit rujukan yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan. Menurut Erni, banyak di antaranya memiliki lab mikrobiologi dengan kualitas baik.

“Jadi libatkan lab di tempat perawatan yang jelas-jelas menjadi rujukan … Enggak perlu kirim ke Eijkman atau Litbangkes. Banyak pimpinan yang bisa jadi PIC [penanggung jawab] untuk menjaga akurasi hasil lab,” tambah Erni.

Menurut laporan, setidaknya ada 49 rumah sakit rujukan tersebut yang dikategorikan ‘siap’, yakni mampu melakukan pengujian COVID-19 sekaligus dilengkapi semua perlengkapan yang dibutuhkan untuk merawat pasien.

132 rumah sakit rujukan yang telah ditetapkan. (Kementerian Kesehatan)

Selain itu, rumah sakit yang dipilih bisa juga yang dekat dengan universitas atau lembaga riset. Dalam hal ini, lab riset universitas dapat menyediakan riset pendukung tentang COVID-19.

“Contohnya Institut Penyakit Tropis [ITD] di UNAIR kontaknya dekat dengan [Rumah Sakit Umum Daerah] Soetomo, bisa digunakan. Universitas Sumatra Utara (USU), di rumah sakitnya ada lembaga riset,” kata Erni.

“Universitas Gadjah Mada (UGM) juga ada [[Rumah Sakit Umum Pusat] Sardjito] bisa ke situ. Jadi memang baiknya lembaga yg memiliki fakultas sekaligus rumah sakit.”

Peraturan Menteri Kesehatan No. 658/2009 sendiri menganjurkan koordinasi antara laboratorium fakultas kedokteran sebuah universitas dan laboratorium rumah sakit selama memenuhi syarat keamanan biomedis.

Sebenarnya koordinasi antara laboratorium universitas dan rumah sakit pernah terjadi ketika Indonesia dalam menghadapi wabah flu burung (H5N1) pada tahun 2007.

Saat itu pemerintah mendelegasikan pengujian kepada jaringan 44 laboratorium rumah sakit umum dan juga universitas di 21 provinsi.

Praktik ini juga diterapkan di beberapa negara lain. Di Thailand, misalnya, beberapa rumah sakit dan lab universitas - seperti di Chulalongkorn University dan Prince of Songkla University - dilibatkan dalam jaringan laboratorium Kementerian Kesehatan Umum Thailand untuk mendiagnosis COVID-19.

Membangun jejaring lab kesehatan yang matang

Riris Andono, Direktur Pusat Kedokteran Tropis UGM mengatakan pentingnya membangun jejaring laboratorium kesehatan yang matang di Indonesia.

“Antara pemerintah, lab daerah [Balai Laboratorium Kesehatan], dan universitas harus duduk bersama memetakan bagaimana mereka bisa saling berkontribusi untuk membangun jejaring yang baik dengan platform dan peran setiap aktor dengan jelas. Tapi itu tidak mudah dilakukan di situasi sekarang, harus jauh jari,” katanya.

Ia menjelaskan bagaimana di beberapa negara maju, jejaring lab kesehatan umum yang matang dapat membantu diagnosis COVID-19 yang cepat karena lab rujukan dekat dengan rumah sakit dan pasien di setiap daerah.

Di Amerika Serikat (AS), misal, pada awal epidemi seluruh pengujian dilakukan di Pusat Pengendalian Penyakit (CDC) di Atlanta. Namun sejak akhir Februari, pengujian dengan cepat dapat disebar ke level negara bagian.

Per 13 Maret, sebanyak 83 lab kesehatan umum daerah di seluruh negara bagian di AS mampu melakukan diagnosis COVID-19.

Proporsi pengujian CDC Atlanta dengan Lab Kesehatan Umum Negara Bagian di AS. (CDC)

Waktu tunggu hasil pengujian yang cenderung lebih cepat (sekitar 1-2 hari) dibandingkan Indonesia, membuat hampir 16,000 pemeriksaan berhasil dilakukan AS hanya dalam tiga minggu terakhir.

Di AS, berbagai lab maupun rumah sakit universitas, seperti Laboratorium Klinis Stanford University dan Rumah Sakit University of Pennsylvania juga turut membantu meringankan beban diagnosis di masing-masing negara bagian setelah mengembangkan perangkat uji sendiri.

“Lembaga riset dan lab kesehatan kita banyak tapi memang tidak dijaga dan dipersiapkan dari kemarin-kemarin untuk memiliki legalitas dan SOP yang baik,” kata Erni.

“Kuncinya duduk bersama dan kalau bisa segera, karena orang-orang di atas sepertinya tidak paham perjuangan di bawah. Mereka melihat seakan bilang ‘nggak sulit, kirim aja [ke pusat]’. Enggak sulit gimana, jangan bayangkan mudah di kita. Ini akan membuat banyak yang underdiagnosed [kecolongan dalam diagnosis].”

The Conversation

Luthfi T. Dzulfikar, Associate Editor, The Conversation

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

_____________________________________________

Ilustrasi: Woman photo created by freepik - www.freepik.com