Korban Kekerasan Seksual bisa Menjadi Korban Lagi, atau Pelaku di Kemudian Hari

Korban Kekerasan Seksual bisa Menjadi Korban Lagi, atau Pelaku di Kemudian Hari

Orang yang jadi korban kekerasan seksual bisa menjadi korban lagi di kemudian hari, atau sebaliknya, bisa menjadi pelaku. “Ada ciri tertentu yang membuat orang lain menargetkan dia sebagai korban. Dia rentan untuk jadi korban lagi, dan itu di luar kuasanya,” terang dr. Gina Anindyajati, Sp.KJ, terkait korban kekerasan seksual yang rentan menjadi korban lagi.

Salah satu ciri khusus antara lain bisa dilihat melalui relasi dengan orang lain. “Orang yang sulit berkat tidak kepada orang lain, selalu ingin menyenangkan orang, ada kemungkinan ke arah sana. Tapi bukan berarti karakter seperti ini selalu rentan jadi korban,” ujar dr. Gina. Banyak faktor lain yang berpengaruh.

Baca juga: Kasus Reynhard, Dokter: "Laki-Laki dan Perempuan bisa Jadi Korban Kekerasan Seksual"

Tidak semua orang punya bakat biologis untuk melawan. “Ada orang yang setelan otaknya nurut, ada yang rebel. Ada juga yang di tengah-tengah,” lanjutnya. Bukan berarti mereka yang pengaturan otaknya penurut, pasti akan jadi korban, “Ada ketrampilan yang bisa dipelajari, namanya ketrampilan asertif.” Ini adalah ketrampilan untuk mengutarakan pendapat tanpa menyakit orang lain, dan tidak merugikan diri sendiri.

Otak juga memiliki respons alami terhadap ancaman: fight (melawan), flight (kabur), dan freeze (membeku). Tidak semua orang bisa melawan, atau kabur saat ada bahaya. Ada orang yang tendensinya secara natural melawan, ada yang kabur. Sebagian lagi, ada yang jadi membeku. “Dia seperti membatu, tidak bisa mikir. Badannya tidak bisa berbuat apa-apa karena otaknya terkunci,” jelas dr. Gina.

Baca juga: Berkaca dari Kasus Reynhard Sinaga, Memahami Pikiran Seorang Predator Seksual

Penting untuk mengenali, kita termasuk tipe yang mana. Kemudian, latih diri agar bisa lebih beradaptasi dengan mekanisme tersebut. Sehingga saat berhadapan dengan bahaya, kita bisa memilih respons yang tepat.

Menjalin relasi yang baik juga perlu dilatih. “Dalam relasi dengan orang lain, kita perlu belajar merasa aman. Artinya kita bisa percaya, dan tidak khawatir secara berlebihan,” ujar dr. Gina.

Baca juga: Hubungan Intim Harus Setara dan Dilandasi "Consent"

Belajarlah membangun relasi yang aman, yang membuat kita bisa berfungsi dengan baik. “Orang yang cenderung merasa tidak aman dalam hubungannya, mudah ditargetkan menjadi korban,” imbuhnya. Tanpa disadari, mungkin kita merasa tidak aman atau ketakutan; takut ditinggal, takut diabaikan. Hingga akhirnya kita cenderung menurut pada kehendak orang lain.

Bila kita punya anak, ajarkanlah ia untuk berani mengatakan “TIDAK” terhadap hal-hal yang membuatnya tidak nyaman, atau bertentangan dengan keinginannya. Bisa saja seseorang punya kecenderungan untuk menurut; tapi dengan pola asuh yang menanamkan nilai-nilai mengenai otoritas tubuh, serta keberanian untuk membela haknya, ia bisa melawan saat ada yang coba melecehkannya.

 

Bisa menjadi pelaku

Sebaliknya, korban kekerasan seksual juga bisa menjadi pelaku di kemudian hari. “Coba bayangkan diri kita dimanipulasi, dipaksa melakukan sesuatu. Apakah kita masih punya rasa berdaya?” ujar dr. Gina. Salah satu faktor risiko menjadi pelaku adalah rasa tidak berdaya. Hal ini membuat korban merasa butuh pelampiasan, “Untuk membalas perasaan bahwa dulu ia tak berdaya, dan sekarang membuktikan diri bahwa ia berdaya.” Namun, pembuktian ini dilakukan bukan kepada pelaku, melainkan kepada orang-orang yang lebih tidak berdaya dibandingkan dirinya.

Menjadi korban lagi atau menjadi pelaku, sama-sama bukan pilihan yang menyenangkan. Kalaupun tidak keduanya, korban sangat rentan mengalami depresi. Seperti dalam kasus Reynhard, banyak kobannya yang depresi, trauma, bahkan ada yang mencoba bunuh diri. Karenanya, penting bagi korban untuk mendapat pertolongan. Selain untuk menghindari dan memutus mata rantai kekerasan seksual, juga membuat korban kembali berdaya dan berfungsi sebagaimana mestinya. (nid)