Kontroversi Silikon | OTC Digest

Kontroversi Silikon

Suntik silikon untuk memperbesar payudara, diperkenalkan di AS tahun 1960-1970-an. Tahun 1950-an, seorang dermatolog (dokter ahli kulit) di New York, dr. Norman Orentreich,  mempelopori penggunaan silikon cair dalam jumlah kecil untuk mengatasi keriput. Suntikan ini jadi populer di kalangan selebritis. Salah satu yang menjalani yakni Helen Gurley Brown, editor majalah perempuan ternama Cosmopolitan. Tahun 1992, Badan Pengawas Makanan dan Obat AS FDA melarang penggunaan silikon cair. “Hingga kini, tidak ada silikon cair yang disetujui FDA untuk prosedur bedah plastik,” ujar dr. Elida Sari Siburian dari RS Pondok Indah, Jakarta.

Tahun 1997, FDA menyetujui silikon cair tapi untuk kepentingan medis, yakni memperbaiki retina yang terlepas; bukan untuk keperluan kosmetik. Diam-diam beberapa ahli kulit mulai menggunakannya untuk mengatasi keriput dan bekas jerawat, atau  menambah volume bibir dan pipi.

Dermatolog yang melakukan praktik suntik silikon berpendapat, hasil yang diberikan silikon untuk mengatasi keriput dan/atau bekas jerawat, lebih baik ketimbang filler kolagen dan restylane (gel terbuat dari hyaluronic acid). Kedua filler ini perlu diulang secara berkala, karena terbuat dari bahan alami yang akan hancur. Sebaliknya, silikon bersifat permanen

Ketika disuntikkan, silikon merangsang tubuh memproduksi kolagen untuk ‘membungkus’ benda asing tersebut. Kolagen terbentuk, kulit jadi terisi. Negatifnya, bila terjadi komplikasi, efeknya permanen karena silikon tidak bisa dibuang tubuh.

Silikon sebenarnya merupakan material terbaik untuk implant, karena bisa diterima tubuh tanpa menimbulkan reaksi serius. Sifatnya stabil, tidak mengalami perubahan kimia di dalam tubuh, dan tidak terpengaruh suhu tubuh. Karenanya, silikon banyak digunakan untuk kepentingan medis, misalnya protesis katup jantung. Yang digunakan adalah implan atau silikon padat, dengan bahan yang medical grade, sehingga keamanan terjamin. Bila menggunakan  silikon cair, apalagi yang tidak jelas jenis silikonnya, risiko terhadap kesehatgan sangat besar.

 

Waspada bujuk rayu

Jangan mudah tergoda iklan klinik kecantikan, salon, spa, atau “ahli kecantikan” yang tidak jelas latar belakangnya. Iming-iming murah dan praktis sangat menggiurkan. Sebagai perbandingan, biaya operasi plastik untuk hidung (rhinoplasty) sekitar Rp.6 -10 juta. Suntik silikon di klinik atau salon hanya ratus ribu rupiah. Ada yang mahal, tapi tetap lebih murah dibandingkan prosedur resmi di RS, yang dilakukan dokter ahli bedah plastik.

“Praktis tanpa operasi” adalah kata-kata yang sangat menarik; operasi memang terdengar menakutkan. “Rasa tidak enak habis operasi hanya beberapa hari. Wajar kalau agak bengkak, terbentur saja kan bengkak,” ujar dr. Sari.

Bila ingin ‘mereparasi’ wajah atau tubuh, sebaiknya konsultasi ke dokter bedah plastik terpercaya. Dan, “Sebaiknya dilakukan di usia dewasa,” tutur dr. Sari. Di usia dewasa, seseorang sudah bisa berpikir dan menimbang-nimbang dengan baikkan. Bentuk tubuh sudah mencapai maksimal, sehingga operasi tidak mengganggu pertumbuhan atau berubah bentuk karena pertumbuhan badan.

Larangan suntik silikon belum diatur secara tegas di Indonesia. Kita sendiri yang harus pandai-pandai memilih. (nid)