Penyebaran virus COVID-19 di Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Di sebagian wilayah, bahkan muncul klaster-klaster baru, salah satunya dari unit masyarakat terkecil, yakni keluarga. Tercatat di Bogor, Bekasi, Yogyakarata, Malang dan Semarang, klaster keluarga bermunculan.
Dirangkum dari berbagai sumber setidaknya terdapat 48 klaster keluarga (189 kasus) di Bogor, 155 klaster keluarga (437 kasus) di Bekasi, dan 10 klaster keluarga di Malang. Sementara di Semarang dan Yogyakarta jumlahnya kurang dari 10 klaster, yakni masing-masing 8 klaster (10 kasus) dan 9 klaster keluarga (13 kasus).
Dilansir dari Antara, Minggu (6/9/2020), Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto menyebut bahwa penularan COVID-19 di Kota Bogor, dari klaster keluarga saat ini menempati peringkat tertinggi dibandingkan penularan dari penyebab lainnya.
Klaster keluarga terjadi saat salah satu anggota keluarga terinfeksi virus SARS-CoV-2 (nama resmi virus COVID-19), lalu menularkan ke anggota keluarga lainnya sehingga satu keluarga tertular saat berada di rumah sendiri.
Belajar dari kota Bogor, 34,7% kasus COVID-19 berasal dari klaster keluarga. Penularannya berasal dari imported case, yakni adanya aktivitas warga yang bepergian ke luar kota / daerah lain, dan kemudian tertular COVID-19.
Dari 189 anggota keluarga yang positif COVID-19, sebagian besar adalah anak-anak dan lansia. Data juga menyatakan 24% warga yang terpapar adalah orang tanpa gejala yang kemudian membawa virus tersebut ke dalam rumah.
Mirisnya, survei Dinas Kesehatan Kota Bogor menyebutkan bahwa warga Bogor yang percaya bahwa COVID-19 itu ada hanya 15%, selebihnya (85%) warga Bogor ragu-ragu dan tidak percaya bahwa COVID-19 itu ada.
Dianggap sangat berbahaya
Para ahli menganggap klaster keluarga lebih berbahaya dari klaster lainnya. Dalam budaya yang mengutamakan silaturahmi, transmisi virus bisa menjadi antarkeluarga. Sebagai gambaran, di Bogor terdapat satu rukun tetangga (RT) yang hampir seluruh warganya positif COVID-19.
Selain itu diperburuk dengan keengganan warga melakukan tes swab, karena takut terhadap stigma dan takut dikucilkan lingkungan sekitarnya. Ini justru berakibat semakin menyebarkan virus.
Mencegah klaster keluarga perhatikan VDJ
Setiap keluarga memiliki faktor risiko penularan COVID-19 yang berbeda, seperti kondisi kesehatan anggota keluarga yang berbeda, jumlah yang tinggal dalam satu rumah, jumlah orang yang keluar rumah untuk bekerja, luas tempat tinggal, dll.
Walaupun sulit untuk benar-benar menghilangkan kemungkinan terinfeksi COVID-19, setiap keluarga bisa mengurangi risiko dengan memerhatikan faktor VDJ di rumah.
Itu adalah ventilasi (V), dengan membukan jendela dan pintu agar sirkulasi udara mengalir lancar. Hindari berada di ruang tertutup, khususnya dengan anggota keluarga yang rentan, dan anggota keluarga yang sering keluar rumah.
Memperhatikan durasi (D) berkumpul dengan anggota keluarga yang keluar rumah pun penting. Sediakan kamar terpisah jika ada anggota keluarga yang harus bekerja di luar rumah dan kurangi interaksinya dengan anggota yang rentang (misal lansia dengan komorbid).
Sebisa mungkin menjaga jarak (J) dengan anggota keluarga yang bekerja di luar. Disarankan juga tetap memakai masker jika berada di sekitar lansia, atau balita.
Kembali diingatkan untuk anggota keluarga yang bekerja di luar rumah/daerah selalu segera membersihkan diri – mandi dan berganti pakaian – setelah kembali ke rumah.
Selain itu penting untuk mengawasi anak-anak jika mereka bermain di lingkungan perumahan. Anak-anak belum memiliki pemahaman yang kuat tentang COVID-19, dan mereka berisiko 3 kali lipat menyentuh barang daripada orang dewasa. (jie)