Selama 6 bulan pertama kehidupannya, Rumman Andarra Hishani (alm.) sering muntah-muntah. Awalnya, dipikir bahwa Rumman mengalami GERD (gastroenterology reflux disease). Saat usianya 6 bulan, ibunda Rumman, dr. Suci Istiqa Mustafa membawa Rumman ke dokter anak, untuk berkonsultasi mengenai pemberian MPASI. “Ternyata berat badannya tidak sesuai untuk anak usia 6 bulan. MPASI pun ditunda, dicoba dulu dengan memberikan susu,” ujar dr. Suci.
Rumman tak kunjung membaik. Bahkan ia sempat diare berair sampai 8x dalam sehari, ketika mendapat susu yang kandungan gulanya tinggi. Beberapa dokter sudah dikunjungi, tidak juga diketahui penyakit yang menjangkiti Rumman. “Saya yang bergerak di bidang medis saja tidak tahu, apalagi orang awam. Saya sampai frustasi karena diagnosis tidak juga tegak. Bingung harus ke mana lagi,” kenang dr. Suci, dalam diskusi bertajuk Tantangan dan Harapan Pasien Penyakit Langka di Indonesia, dalam Peringatan Hari Penyakit Langka Sedunia 2019 di Jakarta, akhir Februari lalu.
Rumman akhirnya dirujuk ke Dr. dr. Damayanti R. Sjarif, Sp.A(K), pakar penyakit nutrisi dan metabolik anak. Dr. dr. Damayanti curiga bahwa Rumman mengalami sindrom GGM (Glucose-Galactose Malabsorption), lalu mulai menerapi Rumman dengan susu khusus. “Berat badannya mulai naik, dan diare berkurang,” ujar dr. Suci. Namun ketertinggalan Rumman dengan anak seusianya (kala itu 1 tahun 5 bulan) sangat jauh; banyak sekali yang harus dikejarnya.
Saat itu, diagnosis pasti belum tegak; baru sebatas dugaan. Sampel darah Rumman dikirim ke Jerman untuk dievaluasi, betulkah Rumman menderita GGM. Sayangnya, hasil diagnosis baru keluar beberapa minggu kemudian, setelah Rumman meninggal dunia di usia 2 tahun 8 bulan.
Penyakit langka
Sindrom GGM yang diderita Rumman termasuk satu dari 7.000-8.000 penyakit langka (rare disease) yang ada di dunia. Penyandang GGM memiliki kondisi langka, di mana sel-sel yang melapisi ususnya tidak bisa mencerna glukosa dan galaktosa, serta molekul yang terbentuk dari kedua gula sederhana tersebut.
Sebagai informasi, di dalam tubuh, sukrosa (gula pasir) dan laktosa (gula susu) dipecah menjadi bentuk yang lebih sederhana untuk bisa diserap. Sukrosa dipecah menjadi glukosa dan fruktosa, sedangkan laktosa dipecah menjadi glukosa dan galaktosa. Dengan demikian, bila penyandang GGM minum susu dan minum/makan apapun yang mengandung sukrosa, tubuhnya pun bereaksi karena terjadi malabsorpsi.
Di awal hidupnya, bayi hanya bisa menerima makanan cair: ASI atau bila terpaksa, susu formula. Sementara itu, ASI maupun susu formula biasa mengandung laktosa. Bila bayi mengalami GGM, gejalanya mulai muncul saat berusia beberapa minggu. Misalnya diare berat hingga mengancam nyawa akibat dehidrasi.
Memang rasanya sulit percaya, ASI bisa mengancam nyawa bayi. Sayangnya dalam kasus khusus seperti GGM, demikianlah faktanya. “Ini karena si bayi memiliki masalah. Memang angkanya hanya sedikit, makanya disebut penyakit langka,” ujar Dr. dr. Damayanti.
Baca juga: Penyakit Langka Ancam Anak-anak
Data di dunia menyebutkan, 6-10% dari populasi menderita penyakit langka. Bila kita ambil 10%, maka ada sekira 25 juta orang dengan penyakit langka di Indonesia. Namun hanya seujung kuku yang berhasil didiagnosis. Karena langka, penyakit-penyakit ini sering terlupakan, dibiarkan saja karena tidak ada obatnya, bahkan tidak terdiagnosis.
Sekitar 80% penyakit langka terjadi akibat kelainan genetik. Umumnya ditemukan pada usia anak, meski ada pula tipe lambat yang baru muncul di usia dewasa. Hingga kini tidka diketahui apa penyebabnya. Risiko kemunculannya akan lebih besar pada pasangan yang masih memiliki hubungan saudara. Tentu, bila kedua orangtua membawa gen penyakit langka (sebagai carrier), anak memiliki risiko lebih besar mengalami penyakit langka. “Tapi bukan berarti kalau orangtua tidak bersaudara lantas tidak akan muncul penyakit langka. Tetap ada kemungkinan, namanya sporadik,” terang Dr. dr. Damayanti.
Penyakit langka yang paling banyak ditemukan di Indonesia antara lain MPS (Mucopolysaccharidoses). Penderita MPS mengalami defisiensi atau malfungsi enzim lisosomal, sehingga tubuhnya tidak bisa mencerna zat gizi tertentu seperti karbohidrat dan lemak. Akibatnya, terjadi penumpukan karbohidrat kompleks (mukopolisakarida atau glikosaminoglikan) pada organ-organ tubuh tertentu, hingga akhirnya terjadi kerusakan pada organ tersebut. Ada 9 tipe MPS dengan ciri khas yang berbeda-beda, tergantung organ yang terdampak.
Seperti dikisahkan oleh Fitri Yenti, ibu dari Umar Abdul Azis (7 tahun). Umar didiagnosis MPS tipe II saat berusia 3 tahun 7 bulan. Saat berusia 6 bulan, Umar mengalami pembesaran kepala dan keerlambatan perkembangan motorik. Usia 2 tahun Umar pilek yang tampak tidak normal. “Hidungnya terus mengeluarkan cairan. Waktu itu diagnosinya pneumonia, tapi saya sudah curiga ada kelainan,” ujar Fitri.
Setelah proses yang demikian panjang dan lama, Umar dirujuk ke RS Cipto Mangkunkusumo dan bertemu dengan Dr. dr. Damayanti. Diagnosis MPS berhasil ditegakkan, tapi kondisi Umar telanjur memburuk karena terlalu lama hingga mendapat diagnosis dan penanganan yang tepat.
Usia 5 tahun, tumbuh kembang Umar mengalami kemunduran, secara fisik dan mental. Kini ia bersekolah di sekolah khusus. “Untuk fisik sudah ada perbaikan karena pengobatan. Tapi dalam hal pengucapan kata-kata, yang dulu sempat hilang belum kembali,” sesal Fitri.
Tantangan diagnosis
Diagnosis penyakit langka sering kali terlambat karena gejalanya sering menyerupai penyakit lain, dan belum banyak dokter yang sadar untuk mencurigai kemungkinan penyakit langka. “Data di seluruh dunia, rata-rata seorang pasien baru didiagnosis setelah mengunjungi 8-11 dokter,” ungkap Dr. dr. Damayanti.
Bagaimanapun ia bersyukur, kesadaran mengenai penyakit langka berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. “Tiga tahun ini sangat cepat, lebih dari 65 anak didiagnosis, karena akses diagnostik sudah lebih baik,” lanjutnya.
Baca juga: Muhammad Alif Maulana Melawan MPS Sindrom Hunter
Dr. dr. Damayanti terus berupaya mendidik dokter di berbagai daerah. Tim dokter yang mendalami penyakit langka kini sudah ada di 12 Fakultas Kedokteran di universitas negeri berbagai daerah: Medan, Padang, Palembang, Bandung, Jakarta, Semarang, Solo, Yogyakarta, Malang, Surabaya, Bali, dan Makassar. Tiap Jumat, dilakukan rapat via Skype untuk mendiskusikan kasus-kasus yang dicurigai penyakit langka. Untuk menegakkan diagnosis pasti, sampel dari daerah lain dikirim ke Jakarta (IMERI FK Universitas Indonesia), lalu dari Jakarta dikirim ke pusat penyakit langka di negara lain, karena Indonesia belum memiliki laboratorium diagnostik untuk penyakit langka. Dengan cara ini, pasien dari Aceh hingga Papua sudah berhasil didiagnosis.
Idealnya, setiap bayi yang baru lahir diskrining untuk penyakit langka. Banyak negara telah melakukannya, seperti Jepang, Amerika Serikat, bahkan negara tetangga kita Malaysia dan Taiwan. Tidak semua penyakit langka bisa diskrining. “Skrining dilakukan penyakit yang bisa diobati, dan negara bertanggungjawab untuk mengobati,” tegas Dr. dr. Damayanti. Sejauh ini di Indonesia skrining pada bayi baru lahir baru mencakup hipotiroid; itu pun belum rutin dilakukan di semua RS.
Tantangan pengobatan
Hanya 5% penyakit langka yang bisa diobati. Pengobatannya pun mahal, dan sama langka dengan penyakitnya. Pengobatan penyakit langka bisa berupa obat (orphan drug) atau makanan khusus (orphan food). Keduanya tidak tersedia di Indonesia sehingga harus impor. Ini pun tidak mudah karena hanya diproduksi sedikit.
Misalnya saja susu khusus yang dibutuhkan Rumman. Susu tersebut hanya diproduksi dua kali setahun, dan jumlah produksi disesuaikan dengan pasien yang terdata di tiap negara. Orangtua Rumman bersama Dr. dr. Damayanti harus berusaha keras menghubungi dan meminta bantuan dari negara lain yang memiliki stok susu.
Susu akhirnya berhasil didapat, tapi kemudian muncul kendala lain: masalah di Bea Cukai. Beberapa tahun lalu, kasus seperti ini sangat jamak terjadi. Seorang bayi dengan penyakit langka isovaleric academia yang membutuhkan susu khusus tanpa kandungan leucine, terpaksa meninggal dunia hanya karena masalah perizinan. Produsen susu tersebut di Amerika Serikat mengirimkannya ke Indonesia secara gratis, tapi tertahan di Bea Cukai. Berminggu kemudian baru susu bisa diambil, dan bayi mungil itu sudah meninggal.
Baca juga: Penyakit Boleh Langka, Obat Jangan
Harus diapresiasi, masalah seperti ini sudah beres. Sejak 2016, Dr. dr. Damayanti bersama Yayasan MPS & Penyakit Langka Indonesia berupaya berdialog dengan skate holder terkait seperti BPOM, Kementerian Kesehatan, hingga Bea Cukai. “Sekarang, orphan drug dan orphan food sudah bebas pajak, dan tidak perlu perizinan yang rumit untuk mengeluarkannya dari Bea Cukai,” tutur Ketua Yayasan MPS & Penyakit Langka Indonesia Peni Utami.
Adik dari Peni, Fero, adalah salah satu pasien penyakit langka pertama Dr. dr. Damayanti. Ia didiagnosis MPS tipe IV saat berusia 2,5 tahun, dan sekarang sudah berusia 17 tahun. MPS membutuhkan terapi sulih enzim (TSE) untuk menghilangkan tumpukan glikosaminoglikan di dalam tubuh.
Kendala lain pengobatan penyakit langka yakni biaya yang sangat mahal. TSE misalnya, hampir 6 miliar/tahun. “Untuk susu khusus, 30 juta per bulan karena anak dengan penyakit langka harus minum susu sebagai obat, bukan sekadar makanan,” ujar Peni. Belum lagi perawatan lain seperti terapi suportif dan homecare.
Pembiayaan belum ditanggung oleh BPJS. Keluarga harus mengusahakan dari kocek pribadi. “Belum lama ini kami mengadakan forum group discussion untuk mengupayakan pembiayaan pengobatan penyakit langka dari APBN,” imbuh Peni. Bantuan dari pihak swasta seperti Sanofi Genzyme, telah membantu menyelamatkan beberapa anak dengan penyakit langka.
Bisa hidup normal
Seandainya bayi dengan penyakit langka diskrining sejak awal dan segera mendapat obat/makanan yang sesuai, mereka bisa tumbuh seperti anak lain. Seperti Sashi (14 tahun). Lahir di Tokyo, Jepang, Sashi menjalani skrining bayi baru lahir, dan diketahui mengidap PKU (phenylketonuria) di usia 12 hari. “Saya diobati sejak masih sangat kecil,” ujarnya dalam bahasa Inggris. Sashi sekeluarga lama tinggal di Belgia dan bari kembali ke Indonesia, sehingga ia fasih berbahasa Inggris dan Perancis.
Penyandang PKU tidak bisa mencerna fenilalanina, asam amino yang terdapat dalam banyak makanan, termasuk di antaranya beras. Bila tidak mendapat susu khusus saat masih bayi, 99% pasien PKU akan mengalami retardasi mental. Sashi selamat karena sejak awal bisa mendapatkan susu khusus tersebut. Seiring bertambahnya usia, Sashi tidak lagi membutuhkan susu khusus; yang penting menghindari makanan yang mengandung fenilalanina.
Fero tidak seberuntung Sashi. Saat didiagnosis MPS, belum ada pengobatan TSE untuk MPS tipe IV. Obat ini akhirnya ditemukan, dan dengan segala daya upaya, Fero bisa mendapatkan pengobatan tersebut. Napas Fero berangsur membaik dan pileknya hilang, tapi kondisinya tidak bisa kembali seperti sebelum sakit.
“Kalau obat atau makanan khusus bisa diberikan sejak awal, anak-anak penyakit langka bisa hidup seperti anak lain,” tegas Dr. dr. Damayanti. Bahkan orang lain mungkin tidak tahu bahwa anak-anak tersebut mengidap penyakit langka, karena secara fisik dan mental tidak berbeda dengan anak lain.
Meski memiliki kelainan, bukan berarti anak dengan penyakit langka tidak bisa tumbuh optimal. “Mereka bisa jadi dokter, atlet, insinyur. Mereka ada di sekitar kita. Cepat deteksi, bawa ke dokter, dan kita cari terapinya bersama-sama,” tandas Dr. dr. Damayanti.
Penyakitnya langka, dokternya pun langka. Tapi harapan harus terus menyala, tidak boleh langka. (nid)
_________________________________
Ilustrasi: Watercolor photo created by freepik - www.freepik.com