Jangan pernah anggap remeh hipertensi, termasuk bagi Anda yang masih usia muda. Hipertensi yang tidak terkontrol memiliki risiko komplikasi yang fatal, seperti gagal jantung, stroke atau gagal ginjal. Risiko yang lebih ‘minimal’ tetapi tidak kalah memprihatinkan adalah memicu kepikunan atau demensia.
Beban ekonomi akibat komplikasi hipertensi di Indonesia masih tinggi. Tercatat beban biaya penyakit hipertensi mencapai 1497,36 USD per orang per tahun (berdasarkan penelitian di 15 negara berkembang termasuk Indonesia).
Disebut tekanan darah tinggi (hipertensi) jika tekanan darah > 140/90 mmHg dalam dua pemeriksaan yang berbeda. Sayangnya, hipertensi sering tidak bergejala, hingga sulit dikenali atau dideteksi secara dini.
Komplikasi hipertensi yang tidak terkontrol salah satunya memicu kepikunan (demensia). Hipertensi dan demensia seperti “anak kembar”. Seiring penambahan usia, risiko terhadap hipertensi dan demensia ikut meningkat.
Dr. Eka Harmeiwaty, SpS, mengatakan, ”Tanpa disadari hipertensi dapat merusak organ selama bertahun tahun sebelum ada gejala. Hipertensi merupakan faktor risiko terjadinya penurunan fungsi kognitif dan demensia, termasuk penyakit Alzheimer.”
Mekanisme terjadinya gangguan kognitif pada hipertensi sangat kompleks. “Hipertensi menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah, akibat berkurangnya aliran darah sehingga suplai oksigen dan nutrien tidak cukup, menurunkan neurotransmiter akan menyebabkan kerusakan sel neuron (sel otak),” katanya dalam 18th Scientific Meeting Indonesian Society of Hypertension (InaSH) 2024, Jumat (23/2/2024).
Pasien yang pernah mengalami stroke berisiko mengalami kepikunan yang dikenal dengan demensia vaskular.
Bagaimana hipertensi memicu kepikunan?
Ada anggapan, untuk terjadi kepikunan atau gangguan kognitif, biasanya lebih dulu diawali dengan serangtan stroke. Padahal, demensia bisa terjadi tanpa perlu stroke. Pasien hipertensi yang awalnya baik-baik saja, bisa mulai menunjukkan gejala pikun.
Hipertensi menyebabkan kepikunan atau mengganggu fungsi kognitif melalui tiga cara: stroke, atrofi (mengecilnya bagian tubuh) dan stroke yang tidak kentara (silent stroke).
Ketiganya saling berhubungan, dan bisa memengaruhi satu sama lain. Akibat hipertensi, terjadi perubahan pada struktur dan fungsi pembuluh darah otak. Kerusakan bisa terjadi pada daerah white matter di otak, yang sangat penting untuk fungsi kognitif. Maka, risiko Alzheimer pun muncul.
Singkatnya, hipertensi menyebabkan gangguan aliran darah, sehingga banyak daerah di otak yang kekurangan oksigen. Kemudian, sel otak mengalami kekurangan nutrisi hingga mati, menimbulkan gangguan fungsi kognitif.
Gangguan fungsi kognitif tersebut selanjutnya dapat menjadi masalah kesehatan yang cukup serius, menyebabkan dampak psikologis, sosial ekonomi berupa isolasi sosial dan kesulitan keuangan, retardasi motorik, memperberat gejala lain dan dapat mengurangi kualitas hidup.
Target terapi disesuaikan setiap pasien
“Upaya preventif terhadap kerusakan saraf yang harus dilakukan pada pasien hipertensi adalah menurunkan tekanan darah sesuai target yang telah ditentukan serta mengontrol variasi kenaikan tekanan darah dalam waktu 24 jam, terutama di pagi hari dengan melakukan intervensi gaya hidup dan medikamentosa (obat-obatan),” imbuh dr. Eka.
Dalam kesempatan yang sama dr. Djoko Wibisono, Sp,PD-KGH, Sekretaris Jenderal InaSH mengatakan, melalui obat dan perubahan gaya hidup, pasien hipertensi diharapkan mampu menurukan tekanan darah < 140/90 mmHg atau <130/80 mmHg sesuai target terapi yang diterapkan per individu.
Penderita hipertensi harus minum obat seumur hidup, agar tensi darah terkontrol. Untuk bisa menemukan obat dosis yang tepat, perlu konsultasi ke dokter dan perlu dilakukan beberapa kali kunjungan. Dokter akan mengevaluasi obat yang diberikan, bagaimana efeknya dan apa efek samping obat. Setelah ditemukan obat dan dosis yang sesuai, tetap perlu kontrol ke dokter untuk dimonitor. Kondisi manusia berubah dari waktu ke waktu; mungkin perlu penyesuaian dosis obat di kemudian hari.
“Pada periode pemantauan, pemeriksaan tekanan darah dilakukan setiap bulan sampai target tekanan darah tercapai, atau lebih sering pada hipertensi derajat 2 (160-179/100-109 mmHg) dan mereka dengan penyakit lain (diabetes, gagal jantung, dll),” kata dr. Djoko.
Selain itu, dr Eka menambahkan, bagi pasien-pasien hipertensi yang mengalami kepikunan atau gangguan kognitif perlu terapi khusus, termasuk berbagai latihan dengan tujuan memperlambat penurunan fungsi dan memperbaiki kualitas hidup pasien.
Banyak berpikir, membaca dan menulis akan merangsang aktivitas otak, dan ditengarai bisa memperlambat munculnya demensia. Sebagai catatan, penderita hipertensi jangan hanya memikirkan tensinya, perlu cuga cek kolesterol dan diabetes. Ini semua untuk mengurangi faktor risiko seminimal mungkin, sehingga kepikunan bisa dicegah. (jie)
Baca juga: Kapan Waktu yang Tepat Minum Obat Hipertensi, Pagi atau Malam Hari?