3m mencuci tangan, menjaga jarak, mencuci tangan tidak cukup putus penyebaran covid-19

Dokter: 3 M (Memakai Masker, Menjaga Jarak, Mencuci Tangan) Tidak Cukup Putus Penyebaran COVID-19, Butuh Upaya Tambahan

Kasus positif COVID-19 di Indonesia terus bertambah, hingga Rabu (8/7/2020) tercatat ada 68.079 kasus. Jawa Timur menjadi episentrum penyebaran virus corona di Indonesia, setelah DKI Jakarta. Para pakar menyoroti tampaknya upaya pencegahan dengan 3 M (memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan) tidak cukup, dibutuhkan tindakan prevetif tambahan.

Berkaca dari kasus di Jawa Timur, Dr. dr. Susanthy Djajalaksana, SpP(K), dari RSUD dr Saiful Anwar Malang, mengungkapkan ekskalasi kasus di Jawa Timur disebabkan karena banyak masyarakat yang tidak patuh.

“Kemungkinan besar masyarakat sudah bosan, sehingga tidak mematuhi (protokol kesehatan), sementara PSBB sudah mulai dilonggarkan, sehingga ekskalasi kasus naik,” katanya dalam virtual media briefing yang diadakan oleh Mundipharma Indonesia, Rabu (8/7/2020).     

Ia menegaskan penerapan 3M saja tidak cukup untuk memutus dan cegah rantai infeksi COVID-19. Namun, juga perlu menjaga kebersihan mulut dan rongga hidung.

“Pasien yang secara klinis sudah sembuh tetapi data tes swabnya sering tidak sejalan, masih positif. Sementara panduan untuk memulangkan pasien harus setelah negatif 2 kali hasil tes swab. Kami berharap dengan jika pasien berkumur dan rongga hidung disemprot (cairan antiseptik) akan mempercepat hasil tes swab menjadi negatif,” imbuhnya.

Dalam kesempatan yang sama Prof. drg. Rahmi Amtha, MDS, SpPM, PhD, selaku Satgas COVID-19 Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB PDGI) juga menekankan penting untuk membunuh virus corona di ‘sarangnya’.

“Jumlah virus terbanyak ada di nasofaring (bagian tenggorok di belakang hidung) dan orofaring (bagian tenggorok di belakang mulut). Ini bisa diintervensi dengan melakukan tindakan gargle (berkumur mendongak ke atas hingga mengeluarkan bunyi rrr) dan semprot hidung menggunakan cairan antiseptik,” kata Prof. Rahmi.

Membersihkan rongga mulut dari virus semakin terasa penting ketika baru-baru ini ada 239 ilmuwan (dari 32 negara) mengirimkan surat terbuka kepada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dan menguraikan bukti yang menunjukkan virus corona baru ini memiliki partikel yang lebih kecil dan dapat menginfeksi manusia.

Mereka meyakini bila virus SARS-CoV-2 ini tidak hanya menular lewat droplet (percikan air liur), tetapi juga melalui udara (airborne). Mereka mendesak WHO untuk segera memperbarui kriteria penularan virus.

Apa kata riset tentang obat kumur untuk COVID-19

Beberapa penelitian menyatakan manfaat gargle. Sakai M, et al (dalam BMC Health Serv Res. 2008) menyatakan berkumur dengan air pada orang sehat menurunkan risiko ISPA (infeksi saluran pernapasan akut) hingga 36%.

Riset lain oleh Noda T, dkk., menyatakan gargle dengan air keran, teh hijau atau air fungsional bisa menurunkan demam pada anak-anak. Gargle dianggap cara efektif untuk menjaga kebersihan tenggorok dan mencegah demam pada anak.

Salah satu cairan antiseptik dalam obat kumur yang memiliki efek antivirus luas adalah povidone-iodine (PVP-I). Dalam riset in vitro terbaru yang dilakukan di Duke-National University Singapore menunjukkan bila obat kumur dengan konsentrasi PVP-I 10%, 7,5%, 1%, 0,45% mempu membunuh 99,99% virus SARS-CoV-2 dalam 30 detik.

Studi lain di University of Malaya, Malaysia, membuktikan bila produk obat kumur dengan konsentrasi PVP-I 1% dapat membunuh 99,99% virus SARS-CoV-2 hanya dalam 15 detik.

Pakar farmakologi UGM, Dr. dr. Rustamadji, MKes, menjelaskan, “Pada tenaga kesehatan layanan primer yang menghadapi pasien reaktif, dan pasien COVID-19, kami berikan PVP-I sebanyak 3-4 kali sehari, dan semprot hidung yang mengandung Iota-Carrageenan. Berdasarkan data definit dan empiris, penambahan gargle pada nakes menambah proteksi yang lebih baik.”

Para ahli merekomendasikan untuk pasien atau tenaga kesehatan tanpa gejala atau berada di tempat yang berisiko tinggi untuk berkumur / gargle menggunakan PVP-I hingga 4 kali sehari (tiap 2-3 jam).

“Sementara untuk masyarakat biasa (tidak pada kelompok berisiko tinggi) cukup 1-2 kali sehari,” pungkas dr. Rustamadji. (jie)