Terapi plasma darah konvalesen seperti ‘angin segar’ di tengah sengkarut pengobatan COVID-19. Beberapa pasien yang mendapat terapi plasma darah ini dikabarkan mengalami perbaikan. Banyak negara, termasuk Indonesia, mulai beralih pada terapi ‘kuno’ ini. Tetapi bagaimana sebenarnya terapi plasma darah konvalesen bekerja?
Hingga saat ini belum ada obat antivirus yang spesifik menarget pada virus SARS-CoV-2 ini, walau remdesivir memperlihatkan hasil yang potensial, penelitian tentang obat ini masih terus berlangsung. Selain itu, terapi kortikosteroid untuk mengobati radang paru akibat COVID-19 masih kontroversial. Vaksin masih dalam tahap uji coba.
Terapi plasma darah konvalesen sejatinya adalah imunoterapi klasik, pertama kali digunakan pada pandemi Flu Spanyol tahun 1918 -1919. Saat itu terapi ini berhasil menurunkan angka kematian pada pasien kritis hingga setengahnya. Metode yang sama dipakai untuk merawat pasien SARS, MERS dan pandemi virus H1N1 (flu babi) tahun 2009 dengan hasil yang memuaskan.
Dasar terapi
Mengutip keterangan Karimah Muhammad, clinical pharmacist sekaligus direktur Continuing Pharmacy Education (CPE) Alumni ITB, plasma darah penyintas COVID-19 mengandung antibodi yang jika diberikan kepada pasien COVID-19 lainnya akan memperkuat sistem imunnya, sehingga virus bisa lebih cepat dimusnahkan, dan gejala lebih cepat hilang/reda.
“Tetapi bukan berarti terapi plasma darah ini layak disebut ‘the magic bullet’ yang akan ‘menghabisi’COVID-19 dan membawa semua kembali normal,” tulisnya.”Pasien yang sembuh tersebut juga memperoleh terapi lainnya dalam waktu bersamaan (dengan terapi plasma darah) atau sebelumnya.”
Proses pengambilan plasma mirip seperti saat donor darah. Tetapi yang diambil hanya cairan plasma - berwarna kekuningan – sedangkan sel-sel darah merah dan putih tidak diambil.
Belajar dari pengalaman 10 pasien pertama
Salah satu studi pertama pemakaian plasma darah konvalesen untuk COVID-19 dilakukan pada 10 pasien COVID-19 di China yang mengalami infeksi parah. Riset ini dipublikasikan 6 April 2020 di jurnal PNAS (Proceedings of the National Academy of Science of the United Stated of America).
Dari 23 Januari – 19 Februari 2020, 10 pasien COVID-19 ( 6 pria dan 4 wanita; rerata usia 52,5 tahun) mendapatkan transfusi 200 mL plasma darah konvalesen. Rata-rata pasien tersebut mendapatkan terapi plasma darah setelah 6 hari sejak pertama kali terinfeksi.
Umumnya mereka mengalami demam (7 orang), batuk dan sesak napas (8 orang). Gejala lain seperti nyeri dada (2 orang), diare (2 orang), mual dan muntah (2 orang), sakit kepala dan nyeri tenggorok (1 orang).
Empat pasien memiliki penyakit penyerta seperti penyakit kardiovaskular dan /atau serebrovaskular dan hipertensi. Sembilan orang mendapatkan obat tunggal arbidol atau dikombinasi dengan remdesivir/ribavirin/peramivir. Sedangkan satu pasien hanya mendapat terapi tunggal ribavirin.
Dalam 1 – 3 hari setelah mendapat terapi plasma darah, ke 10 pasien mengalami perbaikan gejala signifikan (atau menghilang) terutama pada demam, batuk, sesak napas dan nyeri dada.
Sebelum terapi plasma darah, ada 3 pasien yang dirawat dengan ventilator mekanik, 3 orang harus mendapatkan oksigenasi beraliran tinggi (high-flow nasal cannula oxygenation), dan 2 orang lainnya dengan oksigenasi bertekanan rendah konvensional.
Setelah terapi plasma darah, 2 pasien parah dengan ventilator mekanik mendapat perbaikan – dialihkan menjadi oksigenasi beraliran tinggi-, dan 1 pasien bisa lepas oksigenasi aliran tinggi. Selain itu, pada pasien dengan oksigenasi tekanan rendah konvensional, berubah ke oksigenasi intermiten.
Peneliti juga melihat terajadi perbaikan yang signifikan radang paru pada 9 pasien; rata-rata di hari 10 -13 setelah infeksi. Mereka juga mencatat perbaikan kondisi limfositopenia (kadar sel darah putih limfosit yang rendah dalam darah) pada 7 pasien. Juga ada kecenderungan penurunan parameter yang menandakan peradangan dan / disfungsi hati, dibandingkan sebelum mendapat plasma darah.
Peneliti juga mengukur titer antibodi penawar (neutralizing antibody) sebelum dan sesudah terapi plasma darah pada 9 pasien (kecuali pasien 2). Terjadi peningkatan titer antibodi penawar pada 5 pasien setelah mendapat terapi, sementara 4 lainnya tetap sama.
RNA virus diuji dengan tes RT-PCR positif pada 7 pasien, dan negatif pada 3 kasus sebelum dilakukan transfusi plasma darah. Peneliti melihat bila RNA virus menurun ke tingkat yang tak terdeteksi pada 3 pasien (pada hari ke 2), 3 pasien di hari ke 3, dan 1 pasien di hari ke 6 setelah terapi plasma darah. Hasil ini mendukung efek penawar terapi plasma konvalesen pada serum virus COVID-19. (jie)
Baca juga : Terapi Plasma Konvalesen, Harapan untuk COVID-19 yang Tengah Diuji Klinis