“Manusia kan bisa hidup tanpa cinta, tapi tidak bisa hidup tanpa oksigen. Jadi yang jomblo jangan takut, tetap hidup kok,” ujar dr. Elisna Syahruddin, Ph.D, Sp.P(K), yang disambut gelak tawa para jurnalis. Mendengarkan penjelasan dr. Elisna tentang penyakit paru, tidak membuat kening berkerut. Dokter yang menyelesaikan S3 di Hiroshima University, Jepang, memang kocak.
Banyak cerita, sedih maupun lucu selama dr. Elisna praktik di RSUP Persahabatan, Jakarta. Banyak yang tadinya menangis, akhirnya tertawa bahagia karena ternyata benjolan di parunya bukan kanker. “Itu happy ending. Ada juga yang tadinya santai, lalu menangis karena kanker. Ya itu sad ending,” ujarnya. Sebagai dokter, ia berusaha tenang menghadapi pasien dan keluarganya, meski di dalam hati pun sedih, “Kalau ikut nangis terus, dokternya belekan deh.”
Keluarga pasien bisa meringankan beban dokter, tapi bisa juga memberatkan. Anehnya di Indonesia, keluarga cenderung merahasiakan diagnosis kanker ke pasien. “Di luar negeri, dokter akan telepon langsung ke pasien. Kalau di sini, keluarga tahu tapi pasiennya tidak dikasih tahu. Lah kan mau dikemo, bagaimana ceritanya kalau pasien tidak diberitahu?” tuturnya.
Dokter berpenampilan tomboi ini mengingatkan, pasien kanker silakan makan apa saja. “Kecuali dua: yang haram dan tidak enak. Jengkol itu bikin nafsu makan, tapi kalau tidak suka ya jangan dimakan,” ucapnya. Ada pasien dr. Elisna memaksa makan jengkol agar nafsu makannya kembali. Dua minggu kemudian dia datang, muntah-muntah, “Ternyata dia gak suka jengkol. Karena patuhnya sama saya, dia makan jengkol.”
Sebagai orang Minang, jengkol adalah makanan nikmat bagi dr. Elisna. “Jengkol itu tablet lapis dua dengan khasiat ganda: menambah nafsu makan dan membaukan kamar mandi,” ia terkekeh. (nid)