wasiat dorce ingin kematiannya diurus layaknya perempuan
wasiat dorce ingin kematiannya diurus layaknya perempuan

Dorce Ingin Kematiannya Diurus Layaknya Perempuan, Derita Transeksual

“Kalau saya meninggal, yang memandikan saya, yang mengubur saya, biarlah keluarga yang mengurus. Mau laki-laki boleh, perempuan boleh, siapa saja boleh. Mau dikafani tujuh lapis, delapan lapis, saya serahkan kepada keluarga yang mengurus,” suara Dorce Gamalama (58 tahun) yang sedang sakit, terdengar bergetar dan terbata-bata. 

Pembicaraan tentang Dorce ramai, setelah artis senior ini membuat wasiat agar bila meninggal, dia ingin diurus dan dikuburkan sebagai wanita.

Wasiatnya mengundang pro kontra. Sejumlah tokoh Islam berpendapat, jasad seseorang semestinya dikuburkan sesuai kodratnya saat lahir. Namun tokoh NU, Taufik Damas, berpendapat, “Siapa pun jangan ikut campur masalah wasiat Dorce.”

Dulu bernama Dedi Yuliardi

Ketika lahir, orangtuanya memberi nama Dedi Yuliardi. Ia sendiri lebih merasa sebagai perempuan. Keperempuanannya dirasakan seolah  terkurung dalam tubuh laki-laki. Ketika dewasa, derita yang dirasakan semakin tak tertahankan. Dengan tekad bulat, ia memutuskan untuk menjalani operasi kelamin di Surabaya. Adalah Prof. Dr. dr. Djohansjah Marzoeki, Sp. BP. RE, Guru Besar FK Unair, yang melakukan tindakan operasi atas diri Dedi.

Operasi berjalan lancar, Dedi berganti nama menjadi Dorce Gamalama. Ia aktif dan sukses di dunia hiburan. Dorce juga dikenal sebagai ibu bagi banyak anak yatim. Di kediamannya, ia mengasuh, mendidik dan membesarkan anak-anak itu dengan penuh ketulusan dan kasih sayang.

Beberapa tahun  terakhir, Dorce terserang penyakit diabetes. Karena kadar gula darahnya sepertinya tak terkendali, ia juga terkena penyakit Alzheimer; penyakit pikun, kalau menurut istilah awam. Kondisinya membuat Dorce sering drop, pingsan dan dirawat di rumah sakit. Menurut sahabatnya Ira Safira, “Daya ingat beliau kadang on, kadang off.”

Saat sedang on itulah, tampaknya Dorce dengan suara terbata-bata menanggapi pendapat tokoh agama atas wasiat yang dibuatnya. Ia merasa sedih. Menurut kerabatnya Hetty Soendjaya, “Dorce bukannya mau membantah pendapat ulama atau siapa pun. Dorce hanya sekedar menyampaikan apa yang diinginkan. Dia punya hak bicara mengenai perasaannya. Dia paham kok, siapa dirinya.”

Operasi ganti kelamin

Di Indonesia, operasi ganti kelamin sudah sering dilakukan dan dibenarkan secara hukum. “Secara medis, operasi kelamin jauh berbeda dengan yang dipahami masyarakat secara umum. Ini  yang membuat operasi ini menimbulkan kontroversi,” ujar Guru Besar FK Unair Prof. Dr. dr. Djohansjah Marzoeki, Sp. BP. RE, beberapa waktu lalu.

Ia, dengan keahlian yang dimiliki, tak keberatan melakukan tindakan operasi ganti kelamin, seperti yang terjadi pada Dorce. Baginya, "Ilmu kedokteran adalah untuk kesejahteraan manusia, bukan untuk membentur-benturkan sesama manusia. Ilmu kedokteran sifatnya independen. Tidak perlu komentar, tidak perlu pujian, tidak perlu apa. Yang perlu ada indikasi dan kontra-indikasi.”

Dokter wajib mematuhi larangan untuk melakukan sesuatu, bila ada kontra-indikasi. Dalam kasus bedah kelamin, indikasi antara lain  ketika pasien benar-benar seorang transeksual. Seseorang dapat memiliki perasaan berbeda dari jenis kelaminnya (transeksual).

"Misal, kelaminnya laki-laki tapi yang bersangkutan lebih merasa sebagai perempuan. Sebaliknya, yang berkelamin perempuan lebih merasa sebagai laki-laki. “Kondiski seperti ini dialami oleh transeksual," jelasnya.

Bagi Prof. Djohan, kesehatan seseorang tidak cukup hanya secara fisik. Manusia punya pikiran dan status psikososial. "Satu adalah  badan, dua itu jiwa dan tiga sosial,” paparnya.

Yang berkaitan dengan badan (fisik) misalnya batuk, luka, atau penyakit tertentu. Yang menyangkut jiwa, misalnya bersedih atau gila. Sosial: malu, depresi, takut. Jiwa dan sosial ini yang disebut psikososial. Mereka yang transeksual, jelas terganggu kondisi psikosialnya.

Prof. Dkjohan menegaskan, "Saya melakukan tindakan operasi kelamin bukan karena hobi. Sebagai dokter, saya bekerja untuk ilmu kedokteran, yang terikat oleh sumpah dokter dan etika kedokteran,” katanya. (sur)