Memutus Rantai Stunting sejak Masa Remaja
stunting_remaja_sayur

Memutus Rantai Stunting sejak Masa Remaja

Riskesdas 2018 menemukan, sebanyak 8,7% remaja usia 13-15 tahun dan 8,1% remaja usia 16-18 tahun memiliki tubuh kurus dan sangat kurus. Penyebabnya beragam. Antara lain karena jarang sarapan, kurang makan sayur dan buah, tingginya angka anemia, serta tingginya angka pernikahan di usia remaja. Semua ini akan berkontribusi terhadap kejadian stunting di Indonesia. Untuk itu, memutus rantai stunting harus dilakukan sejak masa remaja.

“Indonesia darurat stunting, kita butuh gerakan nyata yang bisa mengubah kondisi ini,” tegas dr. Reisa Broto Asmoro. Ia menyayangkan, tidak ada pendidikan mengenai parenting di sekolah. Padahal, pencegahan stunting sangat krusial dalam 1000 HPK (hari pertama kehidupan), sehingga kesehatan dan kecukupan nutrisi ibu harus terpenuhi jauh hari sebelumnya, bahkan sejak ia remaja. “Kondisi anak yang sudah stunting tidak bisa berubah. Yang bisa kita lakukan, bagaimana menyelamatkan generasi berikutnya agar tidak mengalami hal yang sama,” imbuhnya.

Remaja adalah masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa muda. Pada tumbuh rasa ingin tahu dan penasaran dengan berbagai hal. Edukasi di usia 10-19 tahun menjadi sangat krusial, agar para remaja mendapat informasi yang tepat mengenai kesehatan dan nutrisi, bukan sekadar mempercayai mitos yang banyak beredar di masyarakat. Dengan bekal pengetahuan yang baik, mereka akan lebih siap dan sigap saat menjadi orang tua nanti.

Program Advocacy and Communications Manager Tanoto Foundation Indiana Basitha mengungkapkan, masih banyak yang beranggapan bahwa isu stunting hanya untuk orang tua dan mereka yang sudah menikah saja. “Padahal, stunting adalah sebuah siklus. Jika asupan gizi calon ibu kurang sejak remaja, ia berisiko punya anak kurang gizi, dan si anak akan mencontoh pola makan ibunya, dan terus berputar seperti ini,” tuturnya, dalam webinar “Saatnya Remaja Cegah Stunting”, Rabu (26/8/20). Siklus ini dimulai sejak masa remaja. “Masalah stunting harus jadi ksadaran sejak remaja agar mereka menjaga asupan gizinya, karena mereka adalah calon orang tua,” lanjut Indiana.

 

Memperbaiki pola hidup remaja untuk memutus rantai stunting

Asupan gizi remaja tentu harus diperbaiki, untuk memutus rantai stunting. Pada dasarnya, mengikuti Pedoman Gizi Seimbang. “Mungkin tampak agak ribet. Tapi sudah ada rekomendasi Piring Makanku. Dalam sekali makan ada karbohidrat, sayur dan buah, lauk dari protein hewani dan nabati, serta air. Tinggal lihat gambarnya, bisa langsung diterapkan untuk panduan makan sehari-hari,” ujar Melinda Mastan, salah satu penerima Tanoto Scholars angkatan 2017, yang juga Sarjana Gizi dari FKUI.

Pada dasarnya, asupan makanan remaja masih dalam kontrol orang tua. Terlebih dalam masa PJJ (pembelajaran jarak jauh) seperti sekarang, di mana hampir 100% waktu anak dihabiskan di rumah. Maka, sediakanlah makanan sehat dan bernutrisi. Jangan sediakan junk food maupun minuman bergula tinggi di rumah.

Bagaimana bila anak remaja tak suka sayur? “Olah sayur jadi makanan enak, jangan sekadar ditumis saja. Dari Sabang sampai Merauke ada resep masakan daerah yang bisa dipakai. Bentuknya kan tidak harus sayur, tapi bisa ‘disembunyikan’ menjadi makanan yang enak,” papar dr. Reisa.

Anemia yang paling banyak diderita oleh remaja yakni anemia defisiensi zat besi dan defisiensi asam folat. Kedua zat ini banyak terkandung dalam sayur, khususnya sayuran hijau gelap. “Harus diupayakan agar remaja makan sayur. Bahaya sekali kalau dibiarkan tidak makan sayur; efeknya panjang,” tandas dr. Reisa.

Pemerintah memiliki program pemberian suplemen zat besi pada remaja, yang didistribusikan melalui sekolah. Sayangnya selama pandemi dan sekolah dilakukan dari rumah, program ini agak terhambat. Namun jangan khawatir, suplemen zat besi bisa didapatkan di Puskesmas secara gratis.

Ia menambahkan, pendidikan kesehatan reproduksi hendaknya tidak berhenti sampai saat bayi lahir. “Lanjutkan dengan pendidikan mengenai IMD setelah bayi lahir, lalu pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan, dan pemberian ASI yang bisa dilanjutkan hingga dua tahun,” tutur dr. Reisa. Edukasi seperti ini penting untuk mempersiapkan remaja menjadi orang tua kelak. Ilmu ini harus diberikan berulang-ulang agar menjadi kebiasaan, sehingga remaja bisa menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. (nid)

____________________________________________

Ilustrasi: Food photo created by senivpetro - www.freepik.com