Anak-anak penyandang disabilitas mengalami kesulitan berkomunikasi. Ini membuat anak berkebutuhan khusus ini tidak dapat menerima layanan medis tepat waktu. Mereka perlu belajar mengungkapkan gejala sakitnya.
Penyandang diabilitas atau yang disebut anak berkebutuhan khusus selama ini mendapatkan stigma di masyarakat, dicap negatif dan dikucilkan. Padahal akar masalahnya adalah ketidakmampuannya mengekspresikan perasaannya, dan ada keengganan dari orang lain untuk memahaminya.
Anak berkebutuhan khusus memiliki keterbatasan pada fungsi-fungsi hidup karena adanya gangguan dalam proses perkembangan (terkait dengan perkembangan fisik dan sistem syaraf).
Jenisnya bisa berupa gangguan intelektual, gangguan komunikasi, gangguan motorik, autism, hingga gangguan heperaktivitas (ADHD).
Tri Puspitarini, SPsi, MPsi, dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI menjelaskan tidak sedikit orangtua yang baru mengetahui anaknya memiliki developmental disabilities ketika mereka akan memasukan anaknya ke sekolah dasar, sehingga sudah agak terlambat dalam penanganannya.
“Hampir semua siswa berkebutuhan khusus yang pernah melakukan konseling psikologi dalam ruangan praktik saya, menyebut diri mereka dengan label: bodoh, nakal, aneh, weirdo, pemarah, pengganggu, autis dan sebagainya,” katanya dalam peluncuran program ‘Say Pain’ oleh Daewoong Pharmaceutical Company Indonesia, Selasa (31/5/2022).
Ini menimbulkan konsep diri negatif pada diri mereka. Celakanya, lingkungan seakan mengiyakan.
“Anak berkebutuhan khusus bukan kutukan, bukan penghambat hidup, bukan produk gagal. Mereka bisa belajar dan mampu menerima pelajaran. Anak-anak yang datang ke saya dari yang tidak bisa ngomong jadi bisa ngomong, dengan konsistensi,” ujar Tri.
Akses pelayanan kesehatan terbatas
Penyandang disabilitas membutuhkan pelayanan kesehatan ekstra, dibandingkan anak normal. Mereka membutuhkan alat bantu dan terapi khusus – misalnya fisioterapi, terapi bicara dan perilaku, hingga terapi nutrisi - untuk mengatasi keterbatasannya.
Selain itu mereka membutuhkan bantuan psikologis untuk mendiagnosis, memberi informasi rinci, serta merancang terapi yang tepat untuk mereka.
Studi di Korea Selatan menunjukkan karena sulit berkomunikasi, penyandang disabilitas juga sulit untuk menerima perawatan medis yang tepat. Data yang diterbitkan oleh Institusi Layanan Kesehatan dan Sosial Korea menyatakan sekitar 74,3% anak berkebutuhan khusus tidak mengunjungi rumah sakit.
Di Indonesia, data Susenas 2018 – 2020 mencatat terdapat 26,8% penyandang disabilitas yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Layanan kesehatan masih terbatas pada pengeluaran kesehatan yang sifatnya esensial, sedangkan untuk penanganan lain termasuk alat-alat bantu dan terapi masih belum dapat terakomodasi.
Tri, yang juga adalah pakar psikolog perkembangan menjelaskan, fokus terapi bukan bagaimana mereka bisa sembuh, tetapi bagaimana memaksimalkan kemampuannya supaya bisa mandiri dan fungsi hidupnya bisa berjalan.
Anak berkebutuhan khusus ini membutuhkan strategi khusus untuk berkomunikasi. Misalnya mengajarkan kosa kata sederhana, satu per satu, kata benda yang konkret di sekitarnya (seperti susu, botol, mainan, HP, TV, dll).
Kata sifat (yang abstrak) – seperti sakit, senang, bahagia, dll – lebih sulit dipahami, sehingga membutuhkan alat bantu (gambar).
Metode belajar dengan gambar
Eka Bobby Saputra, dari Daewoong Pharmaceutical Company Indonesia menjelaskan di Inggris dan Jepang sudah menerapkan berbagai gambar dan tulisan untuk menggambarkan beberapa tipe sakit dan gejala yang dirasakan penyandang disabilitas.
Di Indonesia, “Kami membuat buku bergambar AAC (Augmentative and Alternative Communication) yang disesuaikan dengan bahasa dan budaya Indonesia,” ujar Bobby.
AAC dapat diterapkan pada penyandang disabilitas yang membutuhkan sarana komunikasi alternatif (misalnya disfungsi bicara, gangguan artikulasi parah), dan yang membutuhkan komunikasi lebih langsung dan mudah karena sulit menggunakan bahasa sehari-hari (seperti disabilitas intelektual, autisme).
“Biasanya mereka lebih paham nulis, dibanding mereka harus ngomong,” imbuh Tri.
Gangguan komunikasi picu agresivitas
Kesulitan bekomunikasi membuat anak penyandang diabilitas kerap bersifat agresif, marah (mengamuk).
“Biasanya karena orangtua atau lingkungan sekitarnya tidak paham apa yang mereka rasakan / isi pikirannya. Kalau dibiarkan terus sampai dewasa akan menyebabkan situasi darurat, keparahan yang lebih serius. Kita tidak bisa menebak, mendiagnosa apa yang ia rasakan,” terang Tri.
Ia menyarankan pada saat anak bersifat agresif, orang tua perlu berbicara dengan sederhana. “Ibu kan biasa bicara cerewet, jangan harus sederhana. Harus tegas antara boleh atau tidak, iya dan tidak, harus ditunjukkan sakit apanya, konkret sakit di mana,” katanya.
Orangtua juga perlu merendahkan posisi tubuh (duduk atau jongkok), agar bisa saling menatap. Sentuhan (elusan atau pelukan) bisa menenangkan anak yang sedang marah. Perilaku mengucilkan penyandang diabilitas juga memicu agresifitas mereka.
“Orangtua perlu memahami pikiran mereka. Karena kebanyakan mereka punya bakat khusus, yang tak jarang jadi sumber ia berkarier,” pungkas Tri. (jie)