Apa yang Anda konsumsi mempengaruhi kesehatan. Itu kita sudah tahu. Ternyata seberapa cepat Anda menyantap makanan turut menentukan kesehatan Anda di masa datang.
Penelitian menunjukkan bahwa kecepatan makan meningkatkan risiko penyakit pencernaan, obesitas dan diabetes melitus tipe 2 (DM2).
Anda mungkin sudah mengetahui jika makan terlalu cepat bisa memicu kembung, mual dan perut yang bergas. Ini adalah efek jangka pendek yang secara instan muncul. Namun, jika Anda terbiasa (selalu) makan terlalu cepat dapat menimbulkan konsekuensi jangka panjang.
Mendapatkan rasa kenyang adalah kunci untuk mencegah makan dan asupan kalori berlebih. Perlu dicatat, lambung membutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk memberi tahu otak: “sudah kenyang”.
Saat makan terlalu cepat sinyal kenyang mungkin tidak muncul sampai Anda mengonsumsi lebih banyak kalori dari yang seharusnya. Penelitian T. Ohkuma, et al, menunjukkan bahwa kebiasaan ini akan mengerek berat badan Anda.
Dalam jangka panjang kebiasaan ini juga bisa menyebabkan penyakit pencernaan. Makan terlalu banyak mengakibatkan makanan berada di lambung lebih lama, ini berarti memperpanjang waktu paparan mukosa lambung terhadap asam lambung.
Studi pada lebih dari 10 ribu orang Korea melaporkan partisipan dengan waktu makan tercepat (<5 menit) berisiko 1,7 kali mengalami gastritis erosif dibandingkan dengan waktu makan paling lambat (> 15 menit).
Makan lebih cepat juga meningkatnya risiko dispepsia fungsional dalam penelitian yang melibatkan 89 kadet militer wanita dengan pola makan yang relatif terkontrol di Korea.
Makan terlalu cepat juga dihubungkan dengan peningkatan risiko diabetes tipe 2. Pada penelitian skala besar di Jepang – melibatkan 2050 pekerja pabrik – dan riset nasional dengan 197.825 partisipan menunjukkan hubungan signifikan antara perilaku makan terlalu cepat dengan resistensi insulin dan DM2.
Ada beberapa penjelasan kenapa makan terlalu cepat bisa mempengaruhi proses metabolisme, termasuk rasa kenyang yang tertunda menyebabkan peningkatan kadar glukosa pasca makan, kurangnya waktu mengunyah menyebabkan konsentrasi glukosa lebih tinggi, dan pemicu sitokin tertentu (misalnya interleukin-1 beta dan interleukin-6) menyebabkan resistensi insulin.
Cobalah makanan bertekstur keras
Ahli menyarankan para pemakan cepat ini untuk melakukan intervensi perilaku, termasuk memperhatikan tanda lapar dan kenyang.
Beverly Tchang, MD, assistant professor di Weill Cornell Medicine yang fokus pada pengobatan obesitas mengatakan, “Makan hanya saat Anda lapar; jangan paksa makan jika belum lapar. Jika Anda tidak yakin apakah Anda lapar atau tidak, konsultasikan dengan dokter karena ini menunjukkan adanya kelainan pada sistem pengaturan nafsu makan Anda.”
Menyesuaikan apa yang dimakan dapat membantu memperbaiki waktu makan. Misalnya, kita tahu bila makanan berserat tinggi atau makanan berlemak cenderung lambat dikeluarkan lambung. Ini akan memberi rasa kenyang lebih lama. Mencegah konsumsi makanan berikutnya.
Mereka yang mencoba makan lebih lambat disarankan untuk mencari makanan yang bertekstur keras dan diproses minimal.
Sebuah riset yang melibatkan 50 orang dengan berat badan normal menemukan bahwa makanan keras dikonsumsi lebih lambat, daripada makanan lunak, dan asupan energi paling rendah pada makanan keras yang diproses minimal.
Menggabungkan makanan bertekstur dengan makan perlahan bisa menjadi strategi yang efektif. (jie)