Sebelum menjadi ibu, semua persiapkan untuk menyambut kedatangan calon bayi sudah dilalukan. Mulai dari nama si buah hati, pakaian, box bayi, sampai memperkaya diri dengan informasi yang dibutuhkan. Proses ini tidak dialami Pradaningrum Mijarto yang biasa dipanggil Dani. Pada bulan Maret 2014, ia mendadak harus menjadi ibu bagi seorang bayi karena adik iparnya meninggal tak lama setelah persalinan, akibat eklamsia.
Eklamsia adalah komplikasi kehamilan yang berbahaya. Ibu hamil mengalami hipertensi berat. Bisa disertai kejang, diikuti penurunan kesadaran. “Adik saya (yang istrinya meninggal) saat itu sedang mengikuti pendidikannya di Lembang, Bandung, selama 9 bulan. Kemudian ditugaskan di Ambon, sampai sekarang,” kata Dani.
Dani yang berprofesi sebagai konsultan heritage, merupakan satu-satunya perempuan di keluarga. Kebetulan masih bebas dalam arti belum menikah, langsung mengambil alih tugas merawat si kecil.
Dani tersandung-sandung karena ia mendadak harus menjadi ibu bagi Syalom Natanael (kini 3,5 tahun). Ia tidak punya setitik ilmu pun tentang merawat bayi. Terlebih lagi, saat itu kondisi Natanael kritis; lahir prematur dengan berat 2,2 kg hingga harus perawatan di inkubator selama satu bulan.
“Saya sehari-hari bersama fosil, Mendadak harus mengurus bayi merah yang kecil banget. Saya punya anjing di rumah, yang saya urus dari kecil. Tapi ini kan beda, ini bayi manusia. Saya ndredek (gemetaran), bingung,” paparnya.
Tidak mengerti apa yang harus dilakukan, bertanya ke teman-teman ternyata tak cukup membantu; rata-rata mereka tidak punya pengalaman mengurus bayi prematur. Ia belajar dari ibu-ibu lain di rumah sakit, bagaimana cara memegang bayi, menggendong, kalau bayi nangis harus diapakan, bagaimana mengganti popok, dan lain-lain.
Selama satu bulan penuh Dani “kursus” mengurus bayi. Pekerjaan ia tinggalkan. Muncul masalah: bagaimana mendapat ASI saat si kecil nanti pulang. Ia tidak bisa mengandalkan stok susu dari rumah sakit.
“Suster memberi tahu untuk mencari donor ASI. Lah nyarinya di mana saya nggak tahu,” tutur Dani. “Saya tidak punya referensi dan akses untuk masalah ini.”
Pihak rumah sakit memberikan sederet nomor pendonor ASI yang bisa dihubungi. Belum sempat menhubungi, seorang ibu muda datang menawarkan ASI donor ke rumahnya di bilangan Pancoran, Jakarta Selatan. Ibu ini mendapat normor kontak Dani dari rumah sakit.
Tanpa skrining
Mantan wartawan Harian Warta Kota ini mendapat pembekalan bahwa ASI donor harus berasal dari ibu yang juga memiliki anak dengan jenis kelamin sama dan dari agama yang sama. Dalam agama Islam ada tata cara memberikan ASI bagi anak orang lain; saat dewasa antar saudara sepesusuan tidak boleh menikah.
“Saya baru tahu ada aturan-aturan seperti itu. Ibu ini bayinya perempuan dan muslim, sementara kami Kristiani. Dia bilang tidak apa-apa, dia memang ingin mendonorkan ASI. Selain ke anak ini, ia menjadi donor untuk bayi lain yang ibunya meninggal,” kenang Dani. “Ya sudah kalau dia tidak mempermasalahkan. Saya juga tidak apa-apa, yang penting Natanael bisa mendapat ASI.”
Selama sembilan bulan, ibu ini menjadi pendonor utama bagi Natanael. Sayangnya, pendonor ASI ini tanpa didahului proses skrining. Berulang kali Dani menanyakan apakah sang ibu tidak keberatan mendonorkan ASI meski ada perbedaan-perbedaan? Berulang kali dijawab: tidak masalah.
“Saat Idul Fitri, ibu itu datang. Dia bilang, besok anak – anak kita harus dikenalkan, supaya menjadi saudara. Saya tidak masalah, tapi takutnya secara Islam kan tidak boleh. Sebenanya, dia murni ingin membantu,” papar Dani.
Kadang ASI donor yang diberikan tidak mencukupi, karena si ibu harus membaginya dengan bayi lain. Dani, yang berpenampilan bak historian (celana jeans, kemeja dilipat selengan, jam tangan G-Shock di tangan kiri, gelang besar di tangan kanan), mencari donor ASI lain. Kali itu ia melakukan seleksi: ASI harus berasal dari ibu dengan bayi laki-laki, beragama Kristiani.
“Dapat ibu dari Bekasi. Saya tanya umurnya, anak ke berapa, merokok tidak, sedang mengonsumsi obat apa. Saya bertanya lewat telepon. Jadi, kalau dia bohong, saya tidak tahu,” tutur wanita berambut keriting ini.
Setelah genap sembilan bulan, Dani memutuskan untuk tak lagi memberikan ASI dari donor bagi Natanael. ASI diganti susu formula dan mulai diperkenalkan makanan semi padat (makanan pendamping ASI).
Bersyukur, tumbuh sehat
Sesuai aturan medis, skrining ASI donor harus melewati dua tahap: wawancara dan tes laboratorium. Tujuannya untuk mendeteksi virus atau bakteri yang berpotensi menular lewat ASI donor. Virus yang bisa ditularkan lewat ASI di antaranya HIV, sifilis, hepatitis B & C, serta HTLV (human T-lymphotropic virus).
Kemudian, ASI mesti disimpan dan didinginkan dalam wadah yang bersih. Sebelum diminum, ASI harus dipanaskan (pasteurisasi) pada suhu 62,5°C agar nutrisi tidak rusak dan bakteri mati. Masih ada lagi persyaratan-persyaratan lain.
Semua persyaratan itu sayangnya kurang dipahami oleh Dani. Dia pikir, toh ada dokter yang menangani Natanael. “Sempat pindah rumah sakit, ganti dokter. Masalah ASI donor saya ceritakan. Dokter tidak merespon negatif. Kata dokter: kita lihat perkembangannya, kan masih ada vaksinasi ini itu. Kalau ada apa-apa, seperti sering sakit, segera periksa,” terang Dani.
Meski sempat waswas karena memberikan ASI donor kepada keponakannya tanpa skrining, penulis kolom museum di sebuah media on line ini tetap berpikir positif bahwa yang ia lakukan untuk Natanel sudah benar. Puji Tuhan, selama ini keponakannya baik-baik saja.
“Ini pengetahuan dan pengalaman baru yang sangat berharga. Sekarang tugas saya adalah memastikan, anak itu sehat. Saya sempat bingung karena ujuk-ujuk (mendadak) harus jadi ibu. Terasa berat, tetapi saya anggap sebagai anugerah,” katanya.
Sekarang Natanael tumbuh sehat dan aktif. Beratnya normal, 14 kg. “Dia nggak bisa diam. Pusing saya, hahaha.” (jie)