Ny. Machditiari, Hidayah Termanis Lewat Kanker Lidah | OTC Digest

Ny. Machditiari, Hidayah Termanis Lewat Kanker Lidah

Sariawan. Hampir semua orang pernah mengalami. Tapi yang dialami Ny. Machditiari (54 tahun) bukan sariawan biasa. Sariawan di bawah lidahnya sudah setahun tak kunjung sembuh. Sariawan dimaksud ternyata pertanda ia terserang kanker; kanker lidah. 

Ia tidak menjalani prosedur umum terapi kanker lidah. Operasi glosektomi yang memotong/mengangkat bagian lidah yang ditumbuhi sel kanker. Setelah itu, menjalani kemoterapi dan terapi radiasi. Kemudian dilakukan rekonstruksi lidah, dengan mengambil daging dari bagian tubuh pasien sendiri. Operasi glosektomi umumnya akan mempengaruhi kemampuan berbicara dan kemampuan menelan pasien.

Namun, mendengar Ny. Tari – panggilannya -  bicara, tak ada yang menyangka bahwa lidahnya pernah dihinggapi kanker.  Dengan logat Jawa yang lumayan kental, bicaranya tidak terdengar cadel. Dan saat melafalkan kata atau huruf tertentu, sulit untuk mengatakan bahwa lidahnya bermasalah.

Hanya saja, kataya, “Kalau dilihat, lidah saya ini sedikit miring.” Dengan wajah berbinar, ia menilai, “Kanker  lidah yang saya alami adalah hidayah termanis dari Allah.” 

Awalnya, “hadiah” itu  terasa mengagetkan juga. Dari garis keturunan langsung (ayah ibu, kakek nenek) tidak ada yang memiliki  riwayat kanker. Penyakit yang ia derita tiga tahun lalu ini menyadarkan bahwa dalam diri setiap orang, sebenarnya, ada sel kanker. “Tinggal bagaimana kita menjaga, supaya sel kanker itu tidak aktif,” katanya.

Ibu dua putri ini mengakui, dulu pola hidupnya jelek. Makan tidak ada aturan, kerap begadang. Sepertinya, itu terbawa oleh pekerjaannya di bagian  general affair. Kanker secara psikologis membuat wanita yang dikenal kuat ini menjadi mellow. Suasana mendung dan hujan, yang dulu ia sukai, kini terasa menakutkan. Hal ini membuat kedua anaknya membuat shift jaga, agar  selalu ada yang menemani ibundanya.

 

Sariawan tak kunjung sembuh

Ny. Tari bekerja disebuah perusahaan operator telekomunikasi seluler.  Tahun 2013, ia menderita sariawan. Anehnya, sariawannya tak kunjung sembuh meski sudah diobati. Ia merasa terganggu karena menelan makanan, dan tenggorokannya radang. Semakin lama, sariawan bertambah parah. Jika makan, cenat-cenutnya terasa sepanjang hari. Demam kadang datang dan pergi, siklus menstruasinya ikut ngaco. Sang suami curiga dan menduga, sariawan di lidah Ny. Tari tak bisa dianggap remeh.

Suami sudah berkali-kali menyarankan untuk biopsi, tapi ia menolak. Pikirnya, “Ini kan hanya sariawan biasa. Untuk apa dibiopsi?”

Sampai suatu hari, ia merasa sudah tidak tahan. “Kok sariawan mami ini tambah sakit ya,” ia mengadu kepada anak tertuanya yang berprofesi sebagai dokter. Sang anak memeriksa dan menemukan kejanggalan. Sariawan itu sudah melebar, ada daging tumbuh. Di pinggirnya terdapat titik-titik putih tapi bukan nanah. Berbekal diagnosa sang anak, Ny. Tari mencari informasi di internet.  Hasilnya, merujuk ke tanda-tanda bahwa ia kena kanker lidah.

Putrinya mendorong untuk periksa ke dokter bedah di Jakarta. “Ukurannya sudah terlalu besar, jadi sulit dibiopsi. Lebih baik langsung dioperasi,” ucap dokter sambil menjelaskan bahwa operasi akan memotong hampir setengah sisi kiri lidah Ny. Tari. Dokter ini merujuk Ny. Tari ke dokter onkologi alias ahli kanker. Beberapa dokter ia datangi, untuk memastikan kondisinya. Semuanya menyatakan bahwa lidahnya harus dipotong, titik!

Istri Didi RS Adi itu seketika seperti melihat mendung yang menakutkan. Di kantor, ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Di rumah, keadaannya sama saja. Blank. Ketika itu, lidahnya hanya bisa merasakan rasa pahit. Namun, Ny. Tari masih menolak jika lidahnya harus dipotong. Sang suami memaklumi dan kemudian menawarkan untuk mencoba konsultasi ke perwakilan FUDA Cancer Hospital, di bilangan Kelapa Gading, Jakarta Utara. FUDA Cancer Hospital ini pusatnya ada di Tiongkok. Suami dan juga Ny. Tari berharap, ada pengobatan alternatif yang bisa dilakukan.

 

Cryosurgery

Di perwakilan FUDA Kelapa Gading, Ny. Tari mendapat penjelasan bahwa FUDA Cancer Hospital memiliki teknologi cryosurgery, yang dapat menghidarkan pemotongan lidah. Tumor atau sel kanker biasanya akan “melawan” jika dipotong, dan bisa tumbuh kembali. Cryosurgery  adalah teknologi dengan cara membekukan dan mematikan sel-sel tumor menggunakan gas, sampai minus  (-)160°C. Kemudian, suhu dinaikkan perlahan sampai 20-40°C. Hal ini membuat sel-sel yang membeku dan mati  mencair, sekaligus menstimulasi sel imun untuk menyerang sel kanker.

Ny. Tari merasa mantap. Ia mengajukan permohonan cuti untuk berobat ke RS FUDA di Guangzhou, Tiongkok, dan atasannya langsung setuju dan memberikan doa.

“Ini kesempatan buat bu Tari untuk menjadi lebih baik. Tidak semua orang bisa mendapat hidayah dari Allah. Dia memberi penyakit ini di usia yang masih relatif muda, di mana tenaga masih kuat untuk melawan penyakit. Kalau penyakit datang saat tua, situasinya bisa berbeda. Berobatlah sampai sembuh,” pimpinannya memberi semangat.  

Dengan hati mantap, ibu dari Natasya Ayu Andamari dan Monica Dwininta ini berangkat ke FUDA Cancer Hospital, Tiongkok. Di sana ia ditangani tim dokter yang berjumlah 6-7 orang. Biopsi di FUDA menyatakan kanker yang diidapnya masuk stadium 2.

Tanggal 1 Juni 2014 mereka tiba di Guangzhou. Empat hari berikutnya langsung cryosurgery. “Lidah saya dibalik agar bisa dibekukan dengan sempurna. Tidak boleh ada makanan dan minuman yang masuk. Sebagai ganti nutrisi, tiap hari saya diinfus sampai 17 botol,” ia mengenang.

Cryo ternyata sakit sekali. Selama 4 har  ia tidak bisa tiduran; hanya bisa duduk. “Lidah saya dibalik, kayak bentuk ikan gurame goreng menari. Di lidah seperti ada salju, tidak boleh dikelopek, biarkan mencair. Ngomong tidak bisa, komunikasi hanya lewat tulisan. Tasya dan Monik tak henti-hentinya mengelap air liur yang terus menetes dari mulut saya,” tutur Ny. Tari.

Setelah kondisinya membaik, dilanjukkan dengan kemoterapi lokal dengan mengalirkan obat langsung ke area kanker. Setelah 17 hari di FUDA, Ny. Tari kembali ke Jakarta dan istirahat untuk memulihkan kondisi tubuh.

Kembali ke Jakarta, ia sempat menemui psikolog untuk curhat. Hal ini lumayan membantunya, untuk menerima kondisi yang dialami. “Jika memang saya dipilih untuk menghadapi ini, ya saya ingin menjalaninya dengan kemampuan terbaik,” paparnya.

Setelah 21 hari, ia kembali ke FUDA untuk kemoterapi kedua (total 6 kemoterapi yang harus dijalani). Kali ini ia ditemani oleh kembarannya, Tara.  Efek kemoterapi, ia muntah-muntah tak kunjung henti. Bahkan minum air putih membuatnya mual tak kepalang. Setelah kemoterapi itu, dokter memberi kabar, “Anda tidak perlu kemoterapi lagi, karena benjolannya sudah mengecil. Tapi, langsung dioperasi, bagaimana?”

Sontak ia marah. “Dari awal dibilang tidak akan dioperasi. Ngapain berobat jauh-jauh kalau harus dipotong” kenang Ny. Tari. Ternyata, yang dimaksud dokter adalah mengikis benjolan yang sudah mengecil, bukan operasi memotong lidah. 

Operasi pengikisan dilakukan saat kunjungan ke 3 di FUDA. “Setelah operasi, yang pertama saya cari adalah kaca. Perlahan saya julurkan lidah, ternyata memang tidak dipotong. Saya mencoba bicara, Alhamdulillah tidak cadel.”

Hari ketiga pasca-operasi, ia merasa sudah fit. Ia bercanda dengan OB (office boy) dan perawat memakai bahasa tarzan, karena mereka tidak bisa bahasa Indonesia atau Inggris. Ny. Tari sempat bertanya: kapan harus kembali lagi untuk kemoterapi? Ia malah ditertawakan. Mereka bilang, sel kankernya sudah bersih, sudah tidak ada. “Bahagia banget rasanya. Terima kasih ya Allah untuk semua proses ini. Semua kebaikan ini bersumber dari-Mu,” ucap Ny. Tari. Ia hanya perlu kontrol 6 bulan kemudian, cukup di FUDA Kelapa Gading.

Ny. Tari menilai, penyakit kanker lidah adalah cara Allah untuk mengubah hidupnya ke arah lebih baik. Kanker membuatnya membentuk kebiasaan baru. Pukul 22.00 ia tidur, bangun jam 4.30 untuk shalat subuh, kemudian jalan kaki keliling komplek selama setengah jam. Ke manapun sekarang ia selalu membawa bekal makanan sehat. Setiap malam, akan membuatkan mix jus apel, jeruk dan wortel untuknya.

“Suami bilang ke anak-anak: sekarang di rumah tidak ada lagi makanan enak. Semua makan seperti makanan mami. Ke pesta atau acara resepsi pernikahan pun, saya  membawa bekal. Di tempat pesta, saya hanya mengambil makanan yang “aman”. Selebihnya makan bekal yang saya bawa, yang tanpa penyedap masakan,” katanya.

Awalnya tidak mudah.  Ny. Tari berjuang keras untuk tidak lagi atau mengurangi masakan asin dan pedas kesukaannya, “Saya harus berjuang untuk mengurangi. Kalau bisa nggak makan sambal sama sekali.”

Bahwa penyakit yang pernah diderita adalah hidayah, Ny. Tari merasakan kini keluarganya dipenuhi cinta kasih. Dan, “Saya belajar untuk pasrah.” (jie)