Nora : Olahraga Tak Cukup Lawan Obesitas
Kisah Nora

Nora : Olahraga Tak Cukup Lawan Obesitas

“Aku gemuk karena faktor genetik, tambah makan yang tidak terkontrol. Mamaku gemuk, kedua saudara laki-lakiku gemuk. Papa gemuk, untungnya dia tinggi. Kalau pendek, wah  …. hahaha,” ujar wanita berusia 36 tahun ini.

Nora gemuk sedari kecil, saat di SMA beratnya mencapai 120 kg. Ingin langsing seperti teman-temannya yang lain? Sudah pasti. Ditambah lagi saat itu hendak merayakan sweet seventeen. Ia konsultasi ke dokter gizi. “Diberi obat untuk memforsir tenaga, dan saya jadi nggak doyan makan. Dalam waktu 3 bulan berat badan turun sampai 40 kg.”

Tapi, melihat hasilnya, sang mama protes. “Mukamu jadi peyot gitu, jangan lagi diminum obatnya,”  Nora menirukan sang mama. “Jadi, aku mulai makan lagi dan berat badanku naik lagi.”

Itu berlangsung sampai ia berusia 30 tahun. Ia mengaku sangat doyan makan. Daftar nomor kontak di hand phone pun sebagian besar nomor restoran. Sebagai  akuntan yang kerap kekerja sampai larut malam, fast food jadi pilihan utama untuk mengganjal perut.

“Tengah malam saya bisa telepon KFC kalau lapar. Atau bikin mie instan sekaligus 3 bungkus. Martabak manis satu loyang, kalau belum habis belum bisa tidur, hahaha,” gelaknya.

Ukuran celananya saat itu XXXL . Berat badannya melambung sampai 133 kg. Ia pernah mencoba bermacam diet, pil pengurus sampai herbal, tapi tidak berhasil. Berat badannya turun sebentar, kemudian beratnya membal lagi.

“Jeansku bisa dibikin horden, hahaha. Aku oke saja minum teh, atau susu untuk diet, tapi kalau disuruh tidak makan nasi nggak bisa,” tambah wanita yang hobi traveling ini.

Akibat kegemukan, ia kerap sesak napas saat tidur. “Sebulan bisa 2x ke UGD, gara-gara napas mampet,” ujarnya. 

Olahraga tidak cukup

Lelah bolak-balik ke UGD, akhirnya Nora masuk gym, yang pernah ditinggalkan. Kali ini ia menggunakan personal trainer. Tapi sampai 5 bulan, berat badannya tak juga turun.

“Saya tanya ke pelatih, apa yang salah? Dia balik tanya: makannya bagaimana, diatur tidak? Saya bilang tidak.”

Ternyata walau olahraga mati-matian, jika pola makan tidak berubah, justru berat badan naik. Ada konsep makan untuk “balas dendam” setelah capek olahraga. Ia disarankan memakai katering makanan sehat. Lewat jasa katering sehat, kebutuhan kalori harian Nora dihitung dan diterjemahkan dalam 3x makan dan 2x snack.

Dua minggu pertama masa penyesuaian dengan pola makan baru terasa menyiksa. Biasa makan sebakul menjadi seuprit, membuat Nora stres. “Aku telepon ahli gizi, kalau malam lapar, bagaimana solusinya? Makanan diet cuma sampai leher, hahaha,” papar Nora. “Aku disarankan membuat agar-agar tanpa gula.”

Masuk minggu ke 3, ia sudah bisa beradaptasi dengan pola makan baru. Menjalani diet dan olahraga tiap hari, berat badannya turun 20 kg.

“Saat itu saya sedang getol-getol-nya olahraga. Tiap Selasa dan Kamis boxing. Senin, Rabu, Jumat ke gym sampai 4 jam. Hari Minggu pergi berenang. Berat badanku turun menjadi 80 kilo,” paparnya.

Mendisiplinkan otak

Nora menjelaskan rahasia sukses turun berat badan adalah mengontrol nafsu makan. Harus bisa mendisiplinkan otak untuk tidak melulu memikirkan makanan.

Ada jargon “kamu adalah apa yang kamu makan (you are what you eat)”. Kebanyakan orang, terutama wanita, gemuk karena “lapar mata”, gampang kepingin saat lihat makanan. 

“Bakwan bisa lebih dari 1000 kalori. Satu donat J.CO kalorinya sampai 500. Sudah capek-capek olahraga bakar 200 kalori, dirusak dengan sekali makan donat,” katanya. 

Bisa dibilang dulu Nora hidup untuk makan, bukan makan untuk hidup. Selalu memikirkan mau makan apa, bahkan setelah selesai makan.

Kini, ia tidak olahraga setiap hari setelah terkena tifus akibat over training. Dokter sampai mengharuskan istirahat total. Saat ini porsi olahraganya cukup 1,5 jam. (jie)