kanya puspokusumo bangkit dari kondisi koma dan lumpuh

Mengenal Sosok Kanya Puspokusumo ‘Presiden’ Multiple Sklerosis Indonesia: Bangkit Dari Kondisi Koma dan Lumpuh

RA. Kanya Puspokusumo dan multipel sklerosis adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Ia adalah presiden sekaligus pendiri yayasan Multipel Skeloris Indonesia (MSI). Bangkit dari kondisi koma dan lumpuh dan menginspirasi orang lain.

Title ‘presiden’ MSI itu jangan dipandang sebagai sesuatu yang bersifat jumawa. Wanita kelahiran 48 tahun lalu ini mendirikan MSI karena ingin berbagi rasa dengan sesama penderita multipel sklerosis (MS).

Multipel sklerosis adalah penyakit autoimun langka, di mana sistem imun tubuh terlalu aktif. Ia menyerang selubung saraf (myelin) pada susunan saraf pusat (otak dan sumsum tulang belakang). Kerusakan myelin mengganggu fungsi serabut saraf untuk menghantarkan pesan ke/dari otak.

Gangguan akibat MS bisa ringan sampai berat. Dari sekedar kesemutan, kaku tubuh, lumpuh sampai gagal ginjal. Beberapa penderita selama bertahun-tahun mengalami allodynia, yakni rasa perih di kulit akibat sentuhan, bahkan oleh gesekan baju yang dipakai. Atau mengalami tic doloreux, rasa sakit yang sangat tajam dan intens di bagian wajah, biasanya terpicu saat minum atau menggosok gigi. 

Ingat mendiang komedian Pepeng, ia pernah tercatat sebagai anggota MSI yang aktif menyuarakan tentang penyakit ini.

“Sulit untuk mediagnosa MS, karena gejalanya hilang timbul,” ujar wanita yang berdomisili di Bandung, Jawa Barat ini. ”Dokter di Indonesia pun banyak yang belum familier dengan MS.”

Kanya terdorong mendirikan MSI sebagai wadah curhat bagi para penyandang MS. Berbagi informasi seputar pengobatan, cara mengatasi gejala atau memberi dorongan mental agar sesama penyandang MS bisa tetap perjuangan : untuk hidup.

Awalnya sekitar tahun 2004, sejak Kanya terdiagnosa MS, ia merasa ‘sendirian’. Istilah multiple sklerosis sangat asing di telinganya, tidak ada organisasi MS di Indonesia, obat-obatan belum masuk dan tidak ada teman curhat yang mengerti, termasuk orang-orang terdekatnya.

Mulailah ia mencari organisasi serupa, dan menemukan MS International Federation yang berdomisili di London. Melakukan kontak, namun sayang baru 3 tahun kemudian muncul respon. Ia menjelaskan ingin membuat organisasi MS di Indonesia, dan mendapat dukungan dari organisasi internasional tersebut.

Berbekal informasi awal tentang penyakit ini, ia ‘bergerilya’ mencari teman-teman senasib. “Awalnya saya nulis artikel-artikel tetang MS dikirim ke koran atau majalah, saya rangkul mas Pepeng (alm) juga. Akhirnya tahun 2008 jadi organisasi. Dari situ mulai ketemu dokter dan banyak orang lain,” katanya. 

Bagi wanita yang juga berprofesi sebagai penulis, penerjemah dan editor di beberapa media ini organisasi yang ingin dia bagun tidak hanya memberi informasi pada penyandang, tapi juga pada keluarganya.

“Orang di sekitar kita mungkin menganggap kita sangat nyebelin, tapi itu bukan mau kita,” tambahnya. Perlu diketahui penderita MS gampang mengalami mood swing (perubahan emosi), seperti ingin menangis tanpa sebab yang susah dikontrol. 

Solusinya, menurut Kanya, adalah dengan nrimo. Menerima jika punya MS dengan segala komplikasinya. Saat sudah mampu nrimo, diharapkan mampu mengelola stres. Diketahui bahwa stres adalah penyebab tersering kekambuhan.

“Memang butuh waktu untuk bisa menerima MS, dan butuh waktu bagaimana membangkitkan niat tetap survive. Saya tidak pernah menyangka akan mengalami koma setelah pernah lumpuh dan buta beberapa saat. Dari sana kita belajar bagaimana bisa memperbaiki kualitas hidup,” terang wanita yang berdarah ningrat Keraton Yogyakarta ini. 

Dari lumpuh sampai koma

Tahun 1997 adalah awal dari semuanya. Kanya mendadak mengalami lumpuh selama sepekan. Tidak diketahui penyebab kelumpuhan walau sudah melakukan CT scan dan pemeriksaan fungsi lumbal. Dokter berkesimpulan ini adalah stroke ringan. Ajaibnya ia kembali dapat berjalan, dan beraktivitas seperti biasa. “Ok, penyakit saya sudah sembuh,” pikirnya.

Kemudian saat Kanya mengikuti program pertukaran dosen di Shizuoka, Jepang (2001) – Ia pernah mengajar di STBA Yapari Bandung - serangan itu terulang. Di sinilah dokter dengan tegas menyatakan ia menderita multipel sklerosis.

“Bingung waktu pertama kali mendengar tentang MS. Dokter ngasih fotokopian bahan tentang MS,” ujarnya.  MS membuatnya lumpuh sebulan.

Penyakit ini membuat dunianya ‘jungkir balik’. Kanya mesti belajar hidup di kursi roda dan mulai belajar jalan dengan bantuan fisioterapi.

Karena MS adalah penyakit langka, maka pengobatan dan terapi dilakukan di Singapura, Jepang dan Amerika selama hampir setahun.

Saat kembali ke Indonesia tahun 2004, Ibu dari Mohammad Rayhan Candraditya Pramesti mendapati hidup dengan MS di Indonesia tidak mudah. Obat yang selama ini ia pakai tidak ada di Indonesia, terpaksa membeli dari Singapura.

Mood swing yang tak terprediksi membuat hidupnya tambah berat. Wanita yang mahir bebahasa Inggris, Jepang dan Prancis ini kerap dianggap berbohong karena di satu saat terlihat sehat namun mendadak terlihat sangat lemah.

“Di tahun 2004 itu saya pernah koma 5 hari. Awalnya kepala sangat sakit, lantas saya tidak sadar. Bangun-bangun sudah di Amerika. Pengobatan di sana sekitar setahun,”terangnya.

Bangun dari koma, segalanya menjadi memburuk, baik suami atau teman-temannya meninggalkannya. Ia bercerai tidak lama setelah didiagnosa MS. Marah, sedih, benci semua campur aduk.

Kanya sampai pada pemahaman bahwa sakit hatinya hanya akan membuat MS gampang kambuh. Walau tak gampang, Kanya merubah pandangan : daripada bermuram durja, lebih baik menghadapi sakitnya dengan berani dan menunjukkan pada orang lain walau menderita MS tetap bisa bermanfaat bagi orang lain.

Dari sana ia berketetapan untuk merubah ‘atmosfer’ di Indonesia dengan menulis segala informasi tentang MS di media. Dan berhasil mendirikan yayasan Multipel Sklerosis Indonesia pada tahun 2008.  

Pengobatan stem cell

Saat di AS, Kanya menjadi kelinci percobaan dengan memakai stem cell (sel punca). “Sebenarnya itu tidak disarankan, karena tingkat keberhasilannya sangat kecil. Kebetulan saya berhasil, tapi orang lain belum tentu,” terangnya.  

Disamping stem cell, sebagaimana penderita MS lain, Kanya harus melakukan suntik obat interferon  3 kali sebulan. Ia juga melakukan meditasi untuk menyeimbangkan antara tubuh dan pikiran. Olahraga seperti jogging dan yoga sangat disarankan, karena sekaligus sebagai pelepas stres.

Alhamdulillah sejak 2010 sudah bisa lepas obat, tapi kadang-kadang suka kambuh. Misalnya lagi nulis tahu-tahun jarinya kaku, atau lagi jalan tidak ada yang nyandung bisa jatuh sendiri, pegang barang tiba-tiba terlepas sendiri,” tutupnya. (jie)