Hana “Madness” Alfikih, Melawan Gangguan Bipolar Lewat Seni (Bagian 1) | OTC Digest

Hana “Madness” Alfikih, Melawan Gangguan Bipolar Lewat Seni (Bagian 1)

“Sebenarnya sejak TK saya merasa ada yang aneh dalam diri saya. Saya sering berhalusinasi. Saya merasa ada bayangan hitam yang mengintai. Saya merasa gelisah karena merasa dimata-matai. Menjadi ketakutan di ruangan gelap.

Kalimat itu membuka percakapan dengan Hana “Madness” Alfikih (26 tahun). Ia adalah penyandang bipolar sekaligus seniman kreator doodles dan boneka Hagi. Boneka Hagi adalah boneka simbol dari spesialis kedokteran jiwa yang merangkul dan melayani pasien gangguan jiwa yang membutuhkan.

Siang itu ia tampak sumringah ditengah-tengah para ahli (psikater) yang membahas topik bipolar. Sebagai seniman visual, Hana sudah berkeliling dunia untuk melakukan pameran karya. Ia mendapat apresiasi sebagai seniman dengan gangguan jiwa bipolar yang mampu mengekspresikan kondisi jiwanya ke dalam karya. 

Namun untuk sampai pada kondisi Hana sekarang, membutuhkan perjuangan panjang. “Perjalanan hidup saya up and down, saya sering merasa depresi dan ingin berontak. Kondisi saya diperparah dengan ketidaktahuan keluarga tentang penyakit ini,” ujar wanita cantik bertato ini. “Air mata orangtua saya sudah kering gara-gara saya.”  

Ia bercerita ada masa-masa ia merasa penuh energi, dan aktif. Namun mendadak sedih, depresi, bahkan histeris yang berlangsung berhari-hari. Penelitian menyatakan, episode depresi pada gangguan bipolar biasanya berlangsung sampai satu minggu.

Ketidaktahuan keluarga tentang penyakit kejiwaan membuat Hana dicap sebagai anak pemberontak, salah pergaulan, dan tidak dekat dengan Tuhan. Ia sempat mengalami dikurung di dalam rumah. Ini membuatnya  semakin histeris, dan kabur dari rumah.

Baca juga : Bunuh Diri dan Gangguan Bipolar

Kondisinya semakin memuncak ketika masa SMP dan SMA. “Sejak SMP saya sering kabur dari rumah. Ada suatu masa saya pulang jam 3 subuh. Karena takut untuk ketuk pintu, maka saya panjat pagar terus nunggu di depan garasi dengan halusinasi-halusinasi, ketakutan parah.

“Baru bisa masuk setelah ayah keluar rumah untuk solat subuh di masjid. Dan waktu itu saya menemukan surat di meja belajar. Isinya : kamu ingin ayah mati?” kenang alumnus Jurusan Advertising, Universitas Al-Azhar Indonesia itu.

Pada saat-saat seperti itu Hana merasa sebagai anak yang “rusak”. Mengaku sampai pernah mencoba untuk bunuh diri. Terjadi pergolakan batin hebat di dalam diri Hana, tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya, membenci sikap keluarganya namun di satu sisi sangat menyayangi kedua orangtuanya.   

 Mendekatkan diri dengan Tuhan – seperti yang diminta orangtua - sudah dilakukannya, namun tidak membuatnya bertambah baik. Beberapa kali Hana sempat di-ruqiyah. “Salah satu ustad bahkan sampai menangis mendengar cerita saya. Ia bilang : kalau saya jadi kamu, mungkin nggak kuat. Saya tidak bisa menolong, sebaiknya kamu ke psikiater saja,” paparnya di sela-sela peringatan Hari Bipolar Sedunia (World Bipolar Day) 2018, beberapa waktu lalu.

“Sebenarnya yang saya butuhkan saat depresi adalah pertanyaan: kamu kenapa nak?”

Bersambung ke bagian 2