Cerita Penyintas Kanker Payudara Ani Noor Isfiani
ani_noor_isfiani

Cerita Penyintas Kanker Payudara Ani Noor Isfiani: “Yang Terberat Itu ketika Kasih Tahu Anak-Anak yang Sebenarnya”

Mei 2014. Ani Noor Isfiani (57 tahun) merasakan benjolan yang aneh pada payudara kirinya. Saat itu usia Ani 49 tahun, masih menjabat sebagai Senior Vice President di Bank CIMB Niaga.

Memang sejak menjalani operasi tumor payudara puluhan tahun sebelumnya ketika masih SMA, dokter selalu mewanti-wantinya untuk rajin periksa. “Jadi saya biasa periksa payudara sendiri. Cuma pegang-pegang saja, bukan SADARI yang bagus seperti sekarang. Pada Mei 2014 itu kok agak berbeda. Benjolannya tidak bergerak, dan keras,” ujar Ani kepada otcdigest.id.

Merasa ada yang tidak beres, Ani segera mengontak ke Prof. Dr. dr. Noorwati Sutandyo, Sp.PD-KHOM, yang telah dianggapnya sebagai kakak sendiri. Dua tahun sebelumnya, suami tercinta, Dino, meninggal dunia akibat kanker paru yang telah bermetastasis ke tulang. Prof. Noor-lah yang merawat sang suami, serta menguatkan Ani dalam mendampingi Dino hingga akhir.

Saat itu hari akhir pekan, dan Prof. Noor sedang mengikuti simposium di hotel. “Saya disuruh ke sana biar bisa diperiksa,” ujar Ani. Tanpa berlama-lama, Ani yang kini aktif sebagai Lovepink Squad, berangkat menghampiri Prof. Noor. “Setelah memeriksa saya, Prof. Noor meminta saya untuk segera USG payudara dan mamografi.

Ani menuruti nasehat Prof. Noor. Hari Senin, Ani ke RS untuk melakukan pemeriksaan. Hasilnya langsung keluar, dan Ani membaca: suspect malignant. Jantung Ani berdegub. Dari pengalamannya merawat sang suami, Ani tahu bahwa benjolan pada payudara kirinya kemungkinan ganas.

“Saya langsung telepon Prof. Noor, dan saya dirujuk ke spesialis bedah onkologi, dr. Sonar,” ujar Ani. Melihat hasil pemeriksaan Ani, Dr. dr. Sonar Soni Panigoro, Sp.B(K)Onk, M.Epid, MARS mencurigai benjolan tersebut kanker, dan bilang bahwa Ani harus dioperasi sesegera mungkin. “Dokter Sonar minta hari Rabu. Waktu itu saya kan masih kerja, jadi saya minta Jumat,” lanjutnya.

Akhirnya pada 16 Mei 2014, Ani menjalani operasi lumpectomy untuk mengangkat benjolan yang bersarang di payudara kirinya dan sebagian kelenjar getah bening di ketiak. Lumpectomy adalah pengangkatan jaringan yang dicurigai sebagai kanker, tanpa mengangkat keseluruhan payudara. Jaringan itu kemudian dibiopsi – dianalisis oleh dokter patologi anatomi (PA), untuk dinilai sifatnya, apakah ganas/jinak.

Faktor Risiko yang Dimiliki Ani Noor Isfiani

Ani yang kini berprofesi sebagai professional coach dan hipnoterapis sejak pensiun, tidak terlalu kaget ketika melihat hasil pemeriksaan yang menyatakan bahwa benjolannya suspect malignant. “Saya memang punya faktor risiko. Nenek meninggal karena kanker payudara, dan saya pernah operasi tumor payudara,” ujarnya.

Terlebih, Ani sadar bahwa pola hidupnya kurang baik pada masa itu. Ia banyak makan junk food, mi instan, minuman dalam kemasan, dan stres tinggi dalam pekerjaannya sebagai bankir.

Belum lagi, ia menjadi single parent bagi ketiga anaknya sejak sang suami berpulang pada 2014, yang membuat tingkat stres makin menjadi. Sebagaimana diketahui, stres merupakan salah satu faktor risiko kanker yang cukup kuat. “Dan sebelumnya sudah punya pengalaman merawat suami karena kanker. Jadi tidak terlalu kaget lagi,” lanjutnya.

Bagi Ani, justru yang paling berat adalah berkata jujur kepada anak-anak mengenai kondisinya. Ia paham betul, anak-anaknya memiliki trauma dengan kanker, yang telah merenggut ayah mereka tercinta.

Perjuangan Terberat

Ani Noor Isfiani sangat bersyukur, operasi berjalan baik. Ketika ia membuka mata, yang pertama kali dilihatnya adalah wajah putra sulungnya, Deva, yang saat itu baru berusia 19 tahun. “Dia bilang, ‘Mama positif kanker, tapi tenang saja, kankernya sudah diambil semua’. Saya cuma bisa bengong, kok bisa anak umur 19 tahun tenang sekali, bahkan menenangkan ibunya,” kenang Ani.

Ani baru tahu belakangan dari sahabatnya, bahwa Deva sebelumnya menangis sesenggukan di tangga. Hati Ani trenyuh. “Dia menangis di belakang, tapi di depan, berusaha menenangkan ibunya. Sementara, masih ada dua adiknya umur 12 dan 14 tahun yang belum tahu mengenai keadaan saya,” tutur Ani.

Pulang dari RS setelah operasi, drain masih terpasang untuk menampung darah sisa operasi. “Si bungsu yang membersihkan drain setiap malam, dan mengukur berapa banyak darah yang keluar,” ujar Ani. Ketiga anaknya begitu kompak merawat dan menjaga Ani, meski putranya yang nomor 2, Vianda, dan putri bungsunya, Alanii, belum mengetahui penyakit yang diderita ibunda tersayang.

Hasil biopsi akhirnya keluar. Benjolan itu dikonfirmasi ganas. Kanker stadium 2B karena sudah sampai di ketiak; 4 dari 7 getah bening yang dangkat dari ketiaknya, positif kanker. Grade kanker 3+, dengan ER/PR dan HER2+. Artinya, kanker memiliki reseptor hormon estrogen dan progesteron positif, dan reseptor HER2 positif. Tipe kanker yang lebih cepat berkembang.

Dengan kondisi seperti itu, Ani harus menjalani kemoterapi. Mau tak mau, ia harus segera berterus terang kepada Vianda dan Alanii. Prof. Noor menyarankannya untuk liburan dulu dan menghabiskan waktu bersama anak-anak, sebelum berjuang menjalani pengobatan dengan kemoterapi. Kemoterapi akan dilakukan sebanyak 18x, setiap tiga minggu. “Prof. Noor menyuruh liburan dulu, karena selama kemo setahun lebih, tidak akan bisa ke mana-mana,” ujar Ani.

Ani mengajak ketiga anaknya berlibur ke Singapura, “Maksud hati ingin berbicara dengan anak-anak dalam keadaan senang, tapi kok tidak tega.” Ia terus menundanya, hingga mereka pulang. Namun 1 Juli, Ani harus masuk RS untuk kemo pertama. “Terpaksa ngomong dong. Akhirnya aku kumpulkan anak-anak, kita ngobrol di tempat tidur,” ucapnya.

Ani mengatakan, ia akan ke RS besok untuk kemoterapi. “Mama kena kanker kayak papa?” begitu tanggapan mereka. Vianda dan Alanii histeris. Mereka takut, ibunda tersayang juga akan pergi selamanya, seperti ayah.

Ani berusaha menenangkan. “Mama kena kanker payudara, beda sama kanker paru. kanker paru memang berat, palagi stadium 4. Kalau Mama, punya probabilitas hidup 5 tahun lebih besar,” tuturnya lirih kepada ketiga buah hatinya. Ia berusaha tegar di depan anak-anak, meski hatinya koyak. “Itulah hal terberat yang harus saya hadapi,” ujar Ani.

Ani Noor Isfiani masih harus berjuang menjalani kemoterapi dan radiasi, yang tentunya tidak mudah. Terlebih, ada kejadian berat yang membuatnya putus asa hingga hampir tidak mau lagi melanjutkan pengobatan. Seperti apa ceritanya? Baca artikelnya di sini. (nid)