Dia merasa selalu diikuti seseorang, padahal tidak. Sangat emosional dan kalau ngobrol, lama-kelamaan tensinya naik, marah-marah. Kalau mengamuk bisa semalaman sampai pagi. Suatu kali dia pergi naik sepeda motor, pulangnya jalan kaki. Dicari-cari, sepeda motor yang dinaiki akhirnya ditemukan di daerah Cibinong, Bogor. Puluhan kilometer jaraknya dari rumah di Pondok Gede, Bekasi.
Bagus Utomo masih mengingat semua itu dengan jelas. “Dia” yang dimaksud adalah kakak kandungnya sendiri, yang mengidap gangguan jiwa skizofrenia. Melihat perilakunya, masyarakat menganggap penderita sebagai “orang gila”. Bagaimana tidak. “Kakak saya itu berkata mau berangkat ke kantor. Padahal bajunya kotor dan bau. Pulang ke rumah, di pintu baunya sudah kecium. Bau karena tidak pernah mandi dan buang air di kamar. Sampai seperti itu,” ujar Bagus.
Banyak yang menganggap, penderita seperti kakak kandung bagus adalah kutukan, korban santet atau hukuman dari Sang Pencipta. Penderita skizofrenia berperi laku “aneh”, sebenarnya, karena mengalami brain disorder. “Dengan deteksi dini dan pengobatan teratur, penderita bisa sembuh dan bisa kembali bekerja,” papar Bagus dalam acara peringatan Hari Kesehatan Jiwa 2016 di Jakarta. Adapun kakaknya agak lambat terdeteksi.
“Setelah sekitar 10 tahun, kami baru menemukan pengobatan yang sesuai. Kalau sejak awal kami mendapat informasi yang benar tentang skizofrenia, waktu tidak akan terbuang sia-sia,” paparnya. Pengalaman menghadapi sang kakak, mendorong Bagus (43 tahun), mendirikan Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia. Ia pernah ditolak, diusir secara halus atau kasar. Pernah diacungi golok saat hendak membawa pasien skizoprenia untuk berobat. Ia tak hendak menyerah. Wajar bila kemudian ia mendapat penghargaan Guislan Award, atas dedikasinya kepada penderita skizofrenia.
Penyebab
Bagus mengisahkan, gangguan jiwa sang kakak, tidak muncul tiba-tiba. Kondisi ekonomi, tekanan pekerjaan, masalah percintaan dan faktor lingkungan, merupakan pemicu timbulnya perilaku aneh sang kakak. Saat itu (tahun 1995), sang kakak berprofesi sebagai guru STM swasta di Jakarta.
Awalnya, ia dianggap mengalami stres dan depresi. Berobat ke psikiater, gejala reda. Obat habis, gejala kambuh lagi. Begitu berulang-ulang. Bagus berpikir, kakaknya itu mengidap penyakit, gangguan spiritual atau memang temperamennya buruk.
Seisi rumah merasa bingung, takut, kesal. “Kami merasa tidak aman. Kalau saya lembur atau tugas ke luar, jam berapa pun saya pilih pulang ke rumah. Takut ada apa-apa dengan ibu dan adik perempuan saya,” papar laki-laki yang bernah bekerja di Center for International Forestry Research (CIFOR) itu.
Upaya untuk mencari penyembuhan dilakukan; akupuntur, mengubur tolak bala di sekitar rumah, minum air yang didoakan, mendatangi “orang pintar” sampai transfer penyakit ke telur dan kambing. Tidak mempan. “Semua dicoba. Dari yang dekat sampai jauh. Membawa pasien perjuangan tersendiri, karena kakak saya mengamuk. Uang habis dan kami kehilangan harapan,” ujar Bagus.
Untungnya, keluarga pasien open minded, dan tidak malu-malu. “Orang boleh ngomong apa saja di belakang saya. Kalau ngomongnya di depan saya, ya marahlah hahaha,” paparnya.
Sepuluh tahun berjalan, Bagus mendapat informasi: jangan-jangan kakandanya itu menderita skizofrenia. Tahun 2005, sang kakak mulai menjalani terapi gangguan jiwa skizofrenia di sebuah panti swasta di kawasan Ciganjur, Jakarta Selatan. Berangsur-angsur, pasien menunjukkan kemajuan. Emosinya lebih stabil, frekuensi mengamuk berkurang.
Tiga bulan pertama masuk panti tidak boleh dijenguk, terus dibawa pulang beberapa hari. Balik ke panti 2 minggu kemudian, pulang lagi. Sistem disapih seperti itu kurang lebih selama setahun. Di rumah, kadang kakaknya melamun atau ketawa sendiri. Kondisi sepertin itu sekitar 3-4 tahun. Semakin cepat pihak keluarga dapat menerima penyakit tersebut, proses penyembuhan menjadi lebih mudah. Akhirnya, “Setelah lama berjuang untuk bangkit dari skizofrenia, kakak saya sembuh total. Belum lama ini ia menikah,” papar Bagus sambil tersenyum.
Saat ini sang kakak bisa bebas pergi ke mana saja, tanpa keluarga harus khawatir. Yang penting, rutin konsultasi ke dokter, kontinyu minum obat dengan dosis yang pas sekali sehari. Obat generic yang dikonsumsi murah, Rp.30 ribu/ bulan.
Trilogi kenyamanan
Menurut Bagus, ada trilogi kenyamanan untuk mendeteksi seseorang mengalami gangguan mental, yakni: nyaman untuk diri sendiri, keluarga dan masyarakat.
“Saat seseorang menunjukkan ada gangguan dari trilogi kenyamanan tersebut, misalnya menarik diri, putus dari realitas, ditambah rawat dirinya (mandi, cuci, kakus) menurun, perlu dibawa ke layanan kesehatan,” ujar Bagus yang membuat blog dan grup di Facebook, untuk sesi diskusi dan curhat tentang skizofrenia.
Penderita skizofrenia menunjukkan gejala berupa halusinasi dan gelusi. Rangsangan bisa pada ke 5 panca indera, namun tidak ada sumbernya. Misal mendengar suara, melihat sesuatu, mencium bebauan dan sebagainya.
“Ada keyakinan yang salah tapi tidak bisa dikoreksi. Misalnya waham kebesaran; pasien merasa sebagai nabi, pemimpin, atau merasa punya kekuatan supranatural. Ada waham kejar; merasa ada yang mengikuti sehingga ketakutan,” tambah Bagus.
Pasien sendiri merasa tidak ada yang salah dengan dirinya, sementara keluarga dan lingkungannya merasa terganggu. Pada kasus seperti ini pendekatan dimulai secara persuasif, mengajak pasien ke psikiater. Ada keluarga yang menutup diri dan mengucilkan penderita, karena merasa malu. Sikap seperti ini tidak menyelesaikan masalah.
“Kalau kita perlakukan penderita secara tidak adil, atau melanggar HAM (hak asasi manusia), dia akan ingat. Penderita perlu diperlakukan dengan bermartabat. Skizofrenia bisa disembuhkan. Pilihan obat banyak dan tidak menyebabkan kecanduan. Obat pelu diminum terus, seperti pada penyakit diabetes atau hipertensi. Dosisnya makin kecil,” katanya.
Bagus membuktikan, pasien skizoprenia dapat disembuhkan. “Saat melihat orang ‘gila’ di jalan atau ada kasus pemasungan, saya berpikir : tentu keluarganya saat ini sangat menderita, tegangi. Itu memotivasi saya untuk tidak menyerah,” kata Bagus. (jie)