Arie Ardian Priyadi, Cuci Darah Gara-Gara Soda (Bagian 2) | OTC Digest

Arie Ardian Priyadi, Cuci Darah Gara-Gara Soda (Bagian 2)

Masuk ITB

Lusus SMA, Arie diterima di Jurusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB), dan ini adalah masa emasnya.

Ia tidak mau terlihat seperti orang sakit. Aktif dalam himpunan mahasiswa dan kegiatan olahraga, seperti sepak bola, softball, tenis dan basket. Aktivitas ini membuatnya lebih “hidup” dan merasa normal.“Kalau ada yang  mengajak main bola atau tenis, ayo. “Nggak kepikiran nanti cimino-nya kena raket atau gimana,” ia terkekeh.

Saat diterima menjadi mahasiswa baru,  ia juga mengikuti ospek, walau ia boleh tidak ikut. “Itu kesempatan bertemu teman-teman baru. Aku tidak mau dianggap sakit  meski memang capek, kalau lagi kena hukuman,” ujar pria mengajar privat desain ke rumah-rumah. 

Waktu hemodialisa (cuci darah) disesuaikan dengan jadwal kuliah. Jika ada kuliah pagi, Arie pergi HD siang, demikian sebaliknya. Seperti mahasiswa yang lain, Arie mengalami masa-masa tidak pulang ke rumah, tidur di jalan, namun semua itu tidak membuatnya mangkir jadwal cuci darah. Kebetulan letak rumah sakitnya tidak jauh dari kampus.

“Setelah cuci darah, balik lagi ke kampus. Sekarang saya nyesel lulus, karena nggak bisa ke kampus lagi,” ia tertawa.

Baca juga : Arie Ardian Priyadi, Cuci Darah Gara-Gara Soda (Bagian 1)

Cuci darah 2x seminggu telah menjadi rutinitas. Rasa bosan tidak dapat dihindari, namun ia “melawan” dengan berfikir positif agar suatu saat bisa memenuhi keinginannya  untuk transplantasi ginjal. “Harus santai, kalau stres justru tensi naik atau badan terasa nggak enak,” katanya.

Sampai sekarang, sudah 24tahun ia cuci darah. Menurut Prof. Rully, bila penderita gagal ginjal rutin cuci darah, usianya unlimited seperti orang normal. Kalau pun meninggal biasanya karena penyakit lain seperti stroke, diabetes atau penyakit jantung.  

Arie biasa berbagi suka duka menjalani hemodialisa lewat buletin yang diterbitkan Yayasan Bina Ginjal. Juga membuka account di kaskus.co.id, tentang pengalamannya. “Aku nulis di Kaskus malam hari sebelum esoknya HD. Selesai HD aku buka lagi, ternyata yang komentar sudah berhalaman-halaman.

Rata-rata dari keluarga pasien yang bertanya, gimana melawan rasa bosan. Atau, gimana cara memotifasi orangtua yang cuci darah,” papar Arie. 

“Setiap pasien cuci darah harus menemukan kunci, yang membuatnya tetap semangat,” katanya. Bagi Arie, kuncinya adalah kesabaran dan optimisme menghadapi hidup. Dengan “kunci” ini, ia bisa lulus kuliah sementara. Sementara, mahasiswa lain sehat, banyak yang drop out. (jie)