Mengenal Faktor Risiko Kanker Payudara, yang Bisa Dihindari dan yang Tidak
faktor_risiko_kanker_payudara

Mengenal Faktor Risiko Kanker Payudara, yang Bisa Dihindari dan yang Tidak

Lebih dari 22.000 jiwa. Inilah kematian yang disebabkan kanker payudar di Indonesia pada tahun 2020, menurut Globocan. Bisa dibayangkan betapa banyak anak yang terpaksa kehilangan ibu akibat penyakit ini. Deteksi dini menjadi kunci penting untuk mencegah kematian akibat kanker payudara. Selain itu, juga penting untuk mengenali faktor risiko kanker payudara yang kita miliki.

Memang sampai saat ini belum diketahui penyebab pasti dari kanker payudara; tidak seperti kanker serviks, yang telah diketahui disebabkan oleh infeksi virus HPV. Namun memang, ada beberapa faktor risiko, yaitu faktor-faktor yang bisa meningkatkan risiko terjadinya kanker payudara.

Pada dasarnya, kanker terbentuk dari sel-sel “bandel” yang tidak menaati peraturan. “Tiap sel di tubuh kita sangat taat dengan mekanisme yang ada. Dia akan membelah sesuai instruksi, dengan bentuk serta ukuran yang seragam,” jelas Prof. Dr. dr. Noorwati Sutandyo, Sp.PD-KHOM dari RS Kanker Dharmais, Jakarta. Bila “masa kerjanya” selesai dia akan mati dengan sendirinya sesuai aturan.

Tidak demikian pada sel kanker. Sekilas, sel kanker seolah-olah tampak seragam dan menurut, seperti sel normal. “Padahal tidak. Sudah waktunya mati, dia tidak mau mati. Disuruh stop jangan berkembang terus, dia terus berkembang,” papar Prof. Noorwati, dalam webinar kesehatan yang diselenggarakan oleh OTC Digest beberapa waktu lalu. Bentuk dan perilaku sel-sel kanker pun tidak seragam.

Mengenali Faktor Risiko Kanker Payudara

Secara umum, faktor risiko kanker payudara ada yang bisa dihindari dan ada yang tidak, seperti dijelaskan oleh Prof. Noorwati berikut ini.

1. Faktor risiko yang tidak bisa dihindari

“Kita tidak bisa menghindari lanjut usia, riwayat kanker payudara di keluarga, riwayat tumor payudara jinak, dan riwayat reproduksi,” ujar Prof. Noorwati. Faktor-faktor risiko tersebut berhubungan dengan imunitas tubuh dan paparan estrogen. Pada usia tua, imunitas tubuh cenderung menurun. Inilah yang membuat risiko terkena kanker payudara menjadi lebih besar.

Adapun riwayat kanker payudara di keluarga merupakan salah satu faktor risiko yang sangat berpengaruh dalam terjadinya kanker payudara. Demikian pula dengan tumor payudara. “Mereka yang pernah memiliki tumor payudara, lebih berisiko terhadap kanker payudara. Risiko ini tetap ada sekalipun tumor sudah diangkat,” jelas Prof. Noor.

Riwayat reproduksi yang merupakan faktor risiko kanker payudara yaitu usia haid pertama <12 tahun, hamil pertama >40 tahun, dan menopause >54 tahun. Mengapa demikian? “Bila haid pertama di usia kurang dari 12 tahun, berarti dia lebih dini terpapar oleh estrogen,” terang Prof. Noor. Estrogen merupakan hormon yang penting bagi perempuan, tapi bila paparannya terlalu panjang, akan meningkatkan risiko kanker payudara.

Kehamilan di usia >40 tahun atau tidak pernah hamil, juga berhubungan dengan estrogen. “Artinya, dia terus menerus menstruasi, dan bertemu dengan estrogen. Kehamilan merupakan faktor proteksi karena pada saat hamil, hormone estrogennya rendah,” jelas Prof. Noor.

Bagaimana dengan menopause >54 tahun? “Pertama, dia berusia lebih tua, di mana imunitas sudah mulai menurun. Kedua, paparan estrogen yang diterimanya lebih panjang. Maka risiko mendapatkan kanker paudara pun lebih besar,” ucap Prof. Noor.

2. Faktor risiko yang bisa dihindari

Ini berkaitan erat dengan pola hidup, serta konsumsi obat yang mengandung hormon. Yang berkaitan dengan gaya hidup antara lain obesitas, pola makan tinggi lemak, serta merokok dan minum alkohol.

“Pada obesitas, terdapat banyak lemak di bawah kulit. Lemak merupakan kolesterol yang bisa diubah menjadi estrogen,” terang Prof. Noor. Terkait pengaruh rokok dan alkohol terhadap kemunculan kanker payudara, telah dibuktikan dalam penelitian.

Pil kontrasepsi tertentu bisa menjadi faktor risiko. “Pilih pil kontrasepsi yang terdiri dari estrogen dan progesteron, jangan yang estrogen murni. Namun setelah saya cek di BPOM, yang beredar di Indonesia adalah kombinasi estrogen dan progesteron, jadi lebih aman,” tuturnya.

Konsumsi hormone replacement therapy atau terapi sulih hormon (TSH) perlu lebih hati-hati. Di negara maju, konsumsi TSH jangka panjang adalah hal yang umum, karena perempuan tidak ingin merasakan keluhan menopause seperti vagina kering, kurang berenergi, dan lain-lain. Memang TSH bisa mengurangi keluhan-keluhan tersebut. Namun di sisi lain, bisa meningkatkan risiko terhadap kanker payudara, bila dikonsumsi dalam jangka panjang.

Faktor risiko lain yaitu tidak menyusui. Mengapa demikian? Baca penjelasannya di artikel berikut ini. (nid)

____________________________________________

Ilustrasi: Image by jcomp on Freepik