manfaat makanan pedas untuk perempuan
manfaat_makanan_pedas

Manfaat Makanan Pedas untuk Perempuan Menurunkan Risiko Penyakit

Banyak perempuan yang menyukai makanan pedas. Tanpa disadari ternyata banyak manfaat makanan pedas untuk perempuan. Ada ibu-ibu yang makan bakso dengan tambahan beberapa sendok sambal. Atau mengonsumsi tempe goreng sambil menggigit cabai rawit. Dibandingkan dengan yang tidak suka makanan pedas, ibu ini jarang terserang flu dan masuk angin. 

Secara umum, memang makanan pedas sangat dikenal di kalangan masyarakat Indonesia. Berbagai daerah mulai Sabang sampai Merauke memiliki jenis sambal sendiri. Mulai sambal bajak, sambal bawang, sambal dabu-dabu, sambal terasi dan lain-lain. Nah, penggemar makanan pedas bisa bersorak, karena studi menemukan bahwa makanan pedas bisa menurunkan risiko penyakit dan kematian. 

Manfaat Makanan Pedas untuk Perempuan

Studi menemukan, cukup banyak manfaat makanan pedas untuk perempuan. Berikut ini di antaranya.

1. Menurunkan risiko penyakit tidak menular

Risiko penyakit yang bisa diturunkan yaitu penyakit diabetes, penyakit jantung, gangguan pernapasan dan kanker. Mereka yang mengonsumsi makanan pedas satu sampai dua kali seminggu, berpotensi menurunkan kematian 10% lebih rendah, dibanding yang hanya mengonsumsi makanan pedas kurang dari sekali seminggu. Mengonsumsi makanan pedas enam tujuh kali seminggurisiko kematian menurun sampai 14%. 

Ini adalah hasil studi di China selama beberapa tahun, yang melibatkan 500.000 orang berusia 30 -  79 tahun. Studi ini dilakukan antara tahun 2004 sampai 2008. Partisipan yang mengikuti penelitian diwajibkan melaporkan kondisi kesehatan masing-masing. Termasuk apakah suka minum alkohol dan berapa banyak, dan jumlah makanan pedas yang dikonsumsi. Mereka juga diharuskan melaporkan jenis makanan pedas yang dikonsumsi. Asupan makanan pedas dari cabai segar diketahui lebih bermanfaat untuk kesehatan, dibanding cabai yang sudah dikeringkan.

2. Menurunkan risiko kematian akibat infeksi

Mengenai studi ini, situs LA Times melaporkan bahwa perempuan yang tidak suka makanan pedas memiliki risiko kematian akibat infeksi, 45% lebih tinggi dibanding perempuan yang sering mengonsumsi makanan pedas. Sedangkan pada laki-laki, riset mencatat tidak ada hubungan antara mengonsumsi makanan pedas dengan risiko kematian akibat infeksi.

3. Meningkatkan usia harapan hidup

Para peneliti belum mengetahui secara pasti, mengapa mengonsumsi makanan pedas bisa berpengaruh pada usia harapan hidup seseorang. Lu Qi, peneliti dari Harvard School of Public Health Boston, Amerika Serikat, yang terlibat dalam penelitian ini menyatakan, penelitian-penelitian yang pernah dilakukan pada hewan memunculkan sejumlah kemungkinan. Mengonsumski makanan pedas terbukti dapat menurunkan risiko inflamasi, mempercepat proses pelarutan lemak dan mengubah komposisi bakteri (jumlah dan jenis bakteri baik lebih banyak dibanding bakteri oportunistik yang merugikan) dalam sistem pencernaan. 

Kandungan dalam Cabai

Cabai adalah tumbuhan yang termasuk suku terong-terongan (Solanacea), di mana terdapat sekitar 90 genus dan 2.000 spesies. Cabai tinggi kandungan vitamin C-nya, sekitar 7 kali lipat dibanding jeruk. Cabai juga mengandung  vitamin A, vitamin B dan vitamin E, serta mengandung mineral magnesium, tembaga, kalium, folat, mangan dan thiamin. Juga mengandung senyawa alkaloid dan capsaicin. 

Adalah capsaicin yang membuat cabai terasa pedas. Senyawa capsaicin ini bersifat anti-bakteri, anti-karsinogenik, anti-diabetes dan bersifat analgesik. Senyawa capsaicin juga dapat menurunkan kadar kolesterol dalam darah.

Kolagen adalah protein struktural utama dalam tubuh, diperlukan untuk menjaga integritas pembuluh darah, kulit, organ dan tulang. Vitamin C pada buah cabai berperan sebagai antioksidan alami yang dapat meningkatkan imunitas dan anti-radikal bebas.

Menurut Lu Qi, studi mengenai manfaat makanan pedas untuk perempuan dan untuk kesehatan secara umum, masih bersifat observasi. Belum dapat dipastikan secara ilmiah, benarkah ada hubungan antara makanan pedas dengan angka kematian yang rendah. “Masih dibutuhkan lebih banyak penelitian dan data dari populasi yang lebih luas lagi untuk diuji," ujar Lu Qi. (sur)