kanker serviks momok bagi perempuan

Kanker Serviks Masih Menjadi Momok Bagi Perempuan

Kanker serviks disebabkan oleh infeksi HPV, utamanya ditularkan melalui hubungan seksual. Kanker serviks atau kanker mulut/leher rahim, memang, masih menjadi momok bagi perempuan di seluruh dunia. Di Argentina, 3 juta orang berbaris selama 15 jam di bawah guyuran hujan, umtuk menyampaikan penghormatan terakhir kepada Eva (Evita) Peron. “La Senorita”, Ibu Negara yang mereka cintai.

Kanker serviks membuat Evita menutup mata selamanya di usia 33 tahun, pada 26 Juli 1952. Isak tangis dan ratapan seluruh rakyat Argentina mengiringi kepergiannya. Meski kesehatannya terus memburuk sejak pingsan di hadapan publik pada 9 Januari 1950, Evita terus bekerja tanpa kenal lelah. Dirahasiakan bahwa ia pernah menjalani histerektomi (operasi pengangkatan rahim), untuk mengatasi kanker serviks stadium lanjut.

Kanker serviks telah merenggut nyawa Evita Peron, aktris Yvette Wilson dan Jade Goody, peserta reality show Inggris Big Brother. Organisasi Kesehatan Dunia WHO menyebutkan, kanker serviks menempati urutan kedua kanker yang paling banyak terjadi pada perempuan di dunia. Diperkirakan, ada 530.000 kasus baru kanker ini setiap tahunnya.

Yang mengkhawatirkan, sebagian besar kanker serviks terjadi di negara berkembang. Setiap tahun, 270.000 perempuan meninggal karena penyakit ini, lebih 85% kematian terjadi di negara yang berpendapatan rendah-sedang. Di Indonesia, kanker serviks dan kanker payudara bergantian menempati urutan 1 dan 2 kanker pada perempuan. Diperkirakan, penyandang kanker serviks mencapai 90-100/100 ribu perempuan Indonesia, dengan sekitar 15 ribu kasus baru/tahun.

Menurut dr. Andi Darma Putra, Sp.OG dari FKUI/RSCM, “Hampir 100% kanker serviks disebabkan oleh HPV (human papilloma virus). Apa pun yang terjadi di serviks, tanpa adanya HPV tidak akan terjadi kanker serviks.”

HPV hidup di permukaan (epitel) kulit dan ditransmisikan dari satu orang ke orang lain melalui kontak skin to skin, tapi tidak ditularkan lewat kontak fisik sehari-hari. Bila virus ini menempel di kulit kemaluan laki-laki maupun perempuan, bisa terdorong ke dalam alat genital perempuan hingga mencapai serviks. Mayoritas (85%) HPV terdorong melalui hubungan seksual (penetrasi); 15% sisanya karena hal lain, termasuk misalnya memasukkan jari tangan.

HPV (human papilloma virus) ada lebih dari 100 tipe, tapi hanya sekitar 30 jenis yang menginfeksi manusia. Tidak semuanya ganas; ada yang high risk (bisa menyebabkan kanker) – sekitar 15 jenis, dan ada yang low risk (tidak menyebabkan kanker).

“HPV tipe 16 dan 18 termasuk  high risk, paling berbahaya dan paling sering menyebabkan kanker serviks,” terang dr. Andi. Tipe 6 dan 11 tidak memicu kanker, tapi dapat menyebabkan kutil di kemaluan.

Tipe lain kerap menyebabkan kutil di kaki, wajah atau bagian tubuh lain. ‘Manusia Akar’ seperti Dede di Jawa Barat, merupakan kasus langka kutil yang ekstrim, akibat infeksi HPV.

Infeksi HPV pada genital tidak serta merta menyebabkan kanker serviks. Dan, sebenarnya, peluang untuk sembuh sangat besar. “Saat terjadi infeksi, dalam 2-3 tahun mendatang 95% akan hilang sendiri. Hanya 5% yang menetap (persisten). Ini yang berbahaya,” tutur dr. Andi. Infeksi yang persisten inilah yang bisa berkembang menjadi kanker serviks.

Mengapa yang 5% menjadi infeksi persisten? “Itu multifaktorial. Teori terakhir adalah imunologi,” ujar dr. Andi. Perempuan dengan imunologi (kekebalan tubuh) rendah, lebih rentan. Misalnya pada penderita HIV/AIDS, atau yang menderita stres.

Perlukaan pada kulit genital dan paparan berulang, juga meningkatkan risiko. Mereka yang sering berganti pasangan seksual, sangat berisiko bisa tertular HPV. Bukan berarti pasangan suami-istri yang saling setia tidak memiliki risiko. Setiap hubungan seksual, seaman apa pun, dapat menimbulkan risiko terhadap infeksi menular seksual.

Dari 5% yang persisten, untungnya, tidak semuanya menjadi kanker. Bisa saja infeksi persisten sangat lama hingga seumur hidup. Bisa juga, dari persisten berubah menjadi lesi pra kanker. Bila didiamkan, lesi bisa berubah menjadi kanker. Pasien termuda dr. Andi yang positif HPV dan ada lesi pra kanker, yakni seorang siswi kelas 2 SMP. “Kami bersyukur, saat dia melakukan skrining ditemukan lesi pra kanker. Langsung diobati, sehingga terhindar dari kematian,” ucapnya.

Bisa sembuh

 Perjalanan penyakit kanker serviks bisa belasan bahkan puluhan tahun. “Virus mengubah sel-sel di mulut rahim tidak dalam waktu singkat. Paling cepat 6 bulan, dan bisa hingga 20-25 tahun,” papar dr. Andi. Ironisnya, sebagian besar pasien (70%) datang setelah stadium lanjut. Padahal, banyak kesempatan agar kanker serviks ditemukan pada stadium dini. Kanker serviks stadium awal tidak menimbulkan gejala; mayoritas gejala baru muncul saat penyakit sudah parah/berat. Sayangnya, pasien biasanya mencari pengobatan setelah ada keluhan.

 “Lesi pra kanker bisa sembuh 100%. Kalau sudah menjadi kanker, kita tidak lagi bicara sembuh melainkan harapan hidup,” tegas dr. Andi. Pasien stadium 1, harapan hidup 90-99%. Bila sudah stadium 4 (akhir), hanya 10-20%. 

Mengetahui kondisinya, banyak pasien yang tidak kembali lagi ke dokter. Alih-alih menjalani pengobatan, pasien malah berobat ke tempat lain yang belum teruji. Misalnya berobat ke ‘orang pintar’. Dalam kasus kanker, pengobatan alternatif seperti rebusan tanaman herbal bisa membantu, untuk meningkatkan daya tahan tubuh sehingga tubuh lebih kuat melawan kanker. Tapi, belum teruji secara ilmiah sehingga tidak bisa dijadikan pengobatan utama.

Tanda dan gejala yang muncul saat kanker serviks berkembang makin jauh antara lain perdarahan yang tidak normal, misalnya perdarahan di antara periode haid, setelah senggama, atau setelah menopause. Bisa muncul nyeri pada panggul atau perut bagian bawah atau nyeri saat berhubungan seksual. Tanda lain yakni keputihan yang tidak normal: cairan kekuningan yang berbau bercampur darah. (nid)


Ilustrasi: Image by Free-Photos from Pixabay