kanker serviks bisa sembuh jika ditemukan di fase awal

Kanker Serviks Bisa Dideteksi dengan Tes Pap Smear atau IVA

Kanker serviks kalau ditemukan pada fase awal dan segera diobati, bisa sembuh 100%. Terlebih lagi, menurut dr. Nurdadi Saleh, Sp. OG, Ketua Umum POGI (Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonesia),“Kanker serviks membutuhkan waktu lama untuk berkembang hingga stadium lanjut.”

Kanker serviks sayangnya cakupan deteksi dini di Indonesia masih sangat rendah. “Secara nasional, deteksi dini belum mencapai 5%. Di Jakarta saja, tidak sampai 10%,” ujar Dr. dr. Taufik Jamaan, Sp.OG yang praktik di RS Bunda dan Hermina, Jakarta. Dampak skrining rutin sangat besar. Selama 20 tahun pemantauan, Amerika Serikat (AS) berhasil menurunkan kanker serviks dari peringkat 1 kanker pembunuh perempuan di Negeri Paman Sam itu, menjadi peringkat 3; hanya dengan skrining Pap smear (tes Pap).

Kanker serviks mengancam perempuan yang aktif berhubungan seksual, dan disarankan melakukan pemeriksaan rutin. Bila hasilnya normal selama 3 tahun berturut-turut, “Pemeriksaan berikutnya cukup 3-5 tahun sekali,” tegas dr. Andi Darma Putra, Sp.OG dari FKUI/RSCM. Pemeriksaan paling sederhana dan paling lazim dilakukan di Indonesia, yakni tes Pap dan IVA (inspeksi visual asam asetat). Pemeriksaan terbaru yakni dengan tes HPV-DNA, yang memeriksa keberadaan virus penyebab kanker serviks.

Pap smear

Tes Pap ditemukan dokter asal Yunani, Georgios Papanikolau. Tes ini mengambil sampel (contoh) sel serviks, yang digunakan untuk mendeteksi sel-sel abnormal, atau perubahan sel yang berpotensi menjadi lesi pra kanker. Belum tentu semua sel abnormal mengarah pada kanker serviks; bisa  saja ‘hanya’ radang. Bila diperlukan, dokter akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut.

Pap smear dilakukan dokter dengan membuka vagina menggunakan spekulum atau ‘cocor bebek’. Selanjutnya dokter akan mengambil cairan serviks (scraping) dengan alat seperti sikat kecil yang halus. Cairan ini dioleskan pada object glass, lalu dibawa ke laboratorium untuk dibaca oleh ahli patologi. “Kalau membayangkan prosedurnya, tes Pap sepertinya menyakitkan, padahal tidak. Semuanya dilakukan dengan lembut,” tegas dr. Taufik.

Kombinasi tes Pap rutin dan follow up yang sesuai, dapat mengurangi kematian akibat kanker serviks hingga 80%. Di AS, lebih 50% kanker yang invasif terjadi pada perempuan yang tidak pernah melakukan tes Pap, dan pada 10-20% perempuan yang tidak melakukannya dalam 5 tahun. Sekitar ¼ kasus kanker serviks terjadi pada perempuan yang melakukan tes Pap, tapi tidak mendapat follow up memadai; misal perempuan tersebut tidak kembali lagi ke dokter untuk pengobatan, atau dokter tidak melakukan tes/pengobatan yang direkomendasikan.

IVA

Pemeriksaan dengan IVA telah menjadi program nasional. Skrining ini selain oleh dokter spesialis kandungan dan kebidanan, dapat dilakukan di layanan primer oleh dokter umum dan bidan. Dibanding tes Pap, IVA lebih sederhana dan lebih ekonomis. 

IVA dilakukan menggunakan asam cuka yang diencerkan, lalu dioleskan ke serviks. Bila terdapat kelainan, akan terlihat perubahan warna menjadi putih dan seperti kerak; ini IVA positif. Selanjutnya dilakukan cryotherapy. Bidan telah dilatih untuk menggunakan alat ini. “Sebulan kemudian, kembali lakukan pemeriksaan. Bila IVA masih positif, pasien akan dirujuk ke dokter kandungan,” terang dr. Nurdadi.

Tes Pap dan IVA memiliki keunggulan dan kekurangan. Sensitivitas IVA sangat baik dalam mendeteksi sel abnormal, tes Pap lebih unggul dalam hal spesifisitas, yakni lebih akurat dalam mengenali sel kanker. Idealnya, bila tes IVA positif maka diikuti tes Pap. Namun di daerah yang tidak ada fasilitas laboratorium untuk melihat sampel tes Pap, IVA sudah memadai. (nid)


Ilustrasi: People photo created by pressfoto - www.freepik.com