Tak Perlu Lagi Menolak Vaksinasi MR | OTC Digest
vaksin_MR_MUI_boleh_babi

Tak Perlu Lagi Menolak Vaksinasi MR

Sepanjang Agustus hingga September, dilakukan vaksinasi MR (campak dan rubella) di sekolah (PAUD hingga SMP) dan luar lingkungan sekolah (Posyandu, Puskesmas, fasilitas kesehatan lain) untuk menjangkau anak usia 9 bulan hingga <15 tahun di provinsi luar Jawa. Ini merupakan kampanye vaksinasi MR fase 2; sebelumnya pada Agustus-September 2017, dilaksanakan kampanye fase 1 di seluruh provinsi di Jawa.

Sayangnya, kampanye MR fase 2 sedikit terkendala. Beberapa daerah menolak pelaksanaan vaksinasi lantaran vaksin yang digunakan belum mendapat sertifikat halal dari MUI (Majelis Ulama Indonesia). Apalagi kemudian, MUI menyatakan bahwa vaksin MR tidak halal karena menggunakan unsur babi dan organ manusia (human diploid cell) dalam pembuatannya. Namun akhirnya MUI mengeluarkan Fatwa No. 33/2018 bahwa vaksin MR produksi SSI (Serum Institute of India) hukumnya mubah; diperbolehkan karena belum ada vaksin yang halal dan suci. Adapun Fatwa MUI No. 04/2016 mendorong umat Islam untuk menjaga kesehatan dan melakukan upaya preventif dengan imunisasi.

Berdasarkan hasil pemeriksaan UPTD Laboratorium Kesehatan Daerah Provinsi Riau, produk akhir vaksin MR bebas atau negatif babi. Artinya, tidak ada material babi pada vaksin MR. “Vaksin MR menggunakan virus hidup. Untuk mengembangbiakkan virus, harus digunakan ke sel yang hidup pula,” terang Dr. dr. Sri Rezeki Hadinegoro, Sp.A(K), Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Ini diungkapkannya dalam diskusi bertajuk “Anak, Investasi Masa Depan” yang diselenggarakan FKUI di Jakarta, Jumat (31/08/2018).

Baca juga: Makna Babi dan Organ Manusia dalam Vaksin MR

Yang digunakan bukanlah daging, melainkan enzim tripsin. Inilah yang digunakan untuk mempersiapkan media untuk membiakkan virus. Pernah dicoba menggunakan enzim dari sapi, tapi hasilnya kurang baik, dan ada kekhawatiran akan penyakit sapi gila. Dilalahnya, yang paling cocok adalah enzim tripsin babi.

Setelah media tanam siap, barulah virus dibiakkan (dikultur). Setelah berkembang biak, virus 'dipanen' lalu dicuci dengan teknologi ultrafiltrasi. “Dicuci sampai ribuan kali karena kalau masih mengandung tripsin, tidak bisa bereaksi dengan bahan vaksin yang lain,” ujar Prof. Sri, yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Satgas Imunisasi IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia). Jadi, produk akhir vaksin memang betul-betul bersih dari unsur babi.

Berdasarkan fakta ini dan Fatwa MUI, hendaknya tidak lagi perlu menolak anak diimunisasi MR, demi kesehatan dan keselamatannya kelak. Terlebih bagi anak perempuan; terinfeksi rubella saat hamil bisa menimbulkan kecacatan pada bayi yang dikandungnya. Bagaimanapun, MUI merekomendasikan agar pemerintah menyediakan vaksin yang halal di masa depan.

Produsen vaksin dalam negeri PT Biofarma telah berjanji akan membuat vaksin MR halal, yang tidak menggunakan bahan binatang sama sekali (animal free). “Membuat vaksin itu tidak mudah, bisa 10-15 tahun. Tapi kalau tidak dimulai, tidak jadi-jadi,” tegas Prof. Sri.

Selain produksi India, vaksin MR juga diproduksi oleh Jepang dan Tiongkok. Jepang hanya memproduksi sedikit untuk kebutuhan negaranya sendiri, sedangkan vaksin dari Tiongkok belum mendapat persetujuan dari WHO. Seperti produksi India, vaksin dari Jepang dan Tiongkok pun bersinggungan dengan bahan babi dalam proses pembuatannya.

“Kita tidak usah ribut-ribut lagi. Yang penting sekarang kita harus menurunkan penyakitnya, sambil membuat vaksin yang halal,” pungkas Prof. Sri. (nid)