pemberian obat yang benar pada anak, kapan diberikan dan dosisnya

Pemberian Obat Yang Benar Pada Anak, Kapan Diberikan dan Bagaimana Dosisnya?

Golongan obat apa saja yang boleh diberi untuk obat panas, pilek atau diare? Kapan boleh diberikan untuk anak/bayi? Bagaimana pemberian obat anak yang benar? Pertanyaan-pertanyaan tersebut kerap orangtua tanyakan. Banyak suami – istri ‘baru’ yang takut memberikan obat pada anaknya. Salah memberi obat justru bisa berisiko fatal.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan anak-anak adalah kelompok usia 0-18 tahun. Anak bukanlah dewasa mini. Artinya, menurut dr. Luszy Arijanty,SpA dari RS Gading Pluit Jakarta, jika pada orang dewasa misalnya dosis obat adalah satu sendok makan, maka tidak otomatis dosis untuk anak menjadi setengahnya.

Obat secara definitif adalah semua zat nabati, hewani atau kimia yang dalam dosis layak (tepat sesuai indikasi) dapat menyembuhkan, meringankan atau mencegah penyakit. Artinya jika dosis kurang atau berlebihan, si kecil tidak sembuh, bahkan bisa tambah sakit.

“Pemberian obat untuk anak adalah berdasarkan berat badan anak. Karena fungsi organ anak belum matang. Menurut WHO organ anak baru matang saat berusia 18 tahun, setelah selesai masa pubertas,” imbuhnya. “Jadi, walau berat anak sudah sama dengan mamanya, jika belum umur 18 tahun, organnya belum matang.”

Idealnya konsultasikan terlebih dulu dengan dokter sebelum memberikan obat pada anak, terutama untuk anak < 2 tahun. Obat bebas (obat OTC / over the counter) yang dijual di pasaran umumnya diperuntukkan bagi anak > 2 tahun.

“Obat OTC biasanya adalah dosis umum, berdasarkan kriteria usia. Biasanya dosis cenderung lebih rendah. Sementara jika konsultasi ke dokter dosis yang diberikan disesuaikan dengan berat badan anak,” ujar dr. Luszy.   

Dosis umum adalah perbandingan usia dan rata-rata berat badan anak. Jika anak tergolong kurus, pemberian dosis umum juga berisiko berlebihan. Sebaliknya, jika si kecil tergolong obesitas, dosis umum belum tentu mempan mengurangi /menyembuhkan gejala penyakit.

Tidak semua harus tiga kali sehari

Tidak semua obat otomatis diminum tiga kali sehari. Banyak obat-obat baru yang hanya diminum 1-2 kali sehari. Ini dimaksudkan untuk kepraktisan dan kepatuhan konsumsi obat. “Jadi penting sebelum minum, baca dulu labelnya,” tambah dr. Luszy.

Penyerapan obat ada di usus, sekitar ½ jam setelah obat masuk. Jika sesaat setelah diberi obat anak muntah, obat mesti diberikan ulang karena belum terserap. Setelah diserap, obat akan didistribusikan ke target organ, misalnya ke saluran napas untuk obat pilek atau saluran cerna untuk diare.

Setelah itu obat akan diekskresikan (dikeluarkan) oleh ginjal bersama urin, feses, keringat bahkan lewat airmata. Pemberian obat berikutnya diperbolehkan setelah 4 jam.

Anak masih minum ASI, haruskah minum obat? Apa tidak ibunya saja yang minum obat? “Harus,” tegas dr. Luszy. Memang benar pengeluaran obat juga terjadi lewat ASI, tapi dalam jumlah yang kecil, tidak sampai 5%. Anak tetap harus minum obat setelah menyusu.

Satu hal lagi, kadar puncak obat dalam ASI adalah 1-3 jam setelah obat diminum. Sehingga ibu perlu mengonsultasikan dengan dokter jika akan mengonsumsi obat. Harapannya agar ibu diresepkan obat dengan dosis yang sesuai.

“Jadi sakit sang ibu bisa sembuh, dan tetap bisa memberikan ASI pada si kecil,” tukas dr. Luszy. “Atau jika si ibu mengonsumsi dosis tinggi, amannya, ASI setelah 1-3 jam tersebut dibuang saja. Baru diberikan pada anak 4 jam kemudian.” (jie)

Bersambung ke : Bagaimana Pemberian Obat Demam, Pilek dan Diare Yang Tepat Untuk Anak