Ketahui Penyebab Asma Pada Anak | OTC Digest

Ketahui Penyebab Asma Pada Anak

Data di Asia menyatakan sekitar 107 juta orang menderita asma. Sementara di Indonesia, menurut Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan, Kementerian Kesehatan tahun 2018 sebanyak 4,5% (sekitar 11.179.032 orang) penduduk Indonesia menderita asma.

Sebagian besar asma disebabkan faktor alergi. Alergi dipengaruhi faktor genetik atau diturunkan dari orangtua. Biasanya, dalam satu keluarga ada anggota keluarga yang mengidap asma, atau penyakit alergi lain seperti eksim atau rhinitis alergi.

Perlu dipahami, bahwa yang diturunkan pada anak adalah bakat alerginya, sedangkan pencetusnya bisa berbeda-beda. Artinya pencetus alergi / asma pada anak dan orangtua bisa berbeda.

Menurut dr. Theresia Sandra Diah Ratih, MHA, Kepala Subdirektorat Penyakit Paru Kronis dan Gangguan Imunologi, Kementerian Kesehatan RI, asma pada anak sering terlihat sebagai batuk pilek yang terus menerus.

“Memang ada juga yang langsung terlihat seperti ada ‘kucing’ di dalam dada, yakni terdengar bunyi ngik saat bernapas (mengi). Harus di bawa ke dokter untuk mengetahui apa pencetus asmanya. Bahkan mungkin bisa dari infeksi flunya sendiri menyebabkan asma,” terang dr. Sandra dalam pemaparan program Healthy Lung Indonesia, di Jakarta (14/10/2019).

Pada anak-anak yang menderita asma keluhan batuk pilek tidak pernah menjadi sederhana, kerap kali dibarengi dengan demam. Batuk pilek sulit sembuh, atau muncul berulang.

Faktor pencetus tersering asma anak adalah zat yang dapat terhirup, seperti debu rumah, asap rokok, asap dapur, obat nyamuk, kapuk, bulu binatang, kosmetik dalam bentuk semprotan.

Jamur di dinding kamar yang lembab dan di AC yang jarang diservis, polusi udara dan asap kebakaran hutan juga memicu serangan asma.

“Keluarga yang ada riwayat asma tidak dianjurkan memakai karpet atau memasang wallpaper. Kalau pun ada gorden pilih dari bahan katun yang tipis, sehingga tidak menyimpan debu. Masih banyak hal-hal lain yang perlu dicari penyebab asma tiap orang berbeda,” tukas dr. Sandra.  

Apa yang bisa dilakukan?

Pencegahan primer (agar tidak terkena asma) pada mereka yang tergolong berisiko tinggi adalah menghindari pencetus. Sangat disarankan melakukan tes alergi.

Tes alergi merupakan prosedur pemeriksaan yang bertujuan untuk mendeteksi apakah tubuh seseorang memiliki reaksi alergi terhadap substansi atau bahan tertentu (alergen). Tes alergi dapat dilakukan dalam bentuk tes darah maupun tes kulit. Prosedur pemeriksaan ini umumnya dilakukan oleh dokter konsultan alergi.

Tetapi bila ia sudah memiliki asma, “Orangtua penderita wajib untuk selalu siap sedia obat pereda asma dan obat pengontrolnya. Beberapa orang bahkan sudah diajarkan sedari kecil untuk memakai pereda asma, kalau ia mulai sesak ia harus pakai,” tambah dr. Sandra.

Ada dua jenis pengobatan asma, yaitu obat yang digunakan saat terjadi serangan, dan obat untuk pencegahan. Saat terjadi serangan, biasanya anak diberi terapi obat brokodilator (inhalasi), untuk melebarkan saluran napas.

Untuk pencegahan digunakan kombinasi steroid dan long acting beta 2 agonist (LABA), yang berguna untuk merelaksasi otot polos bronkus. Ada pun kortikosteroid, berguna sebagai antiradang.

Asma pada anak sebagian besar bisa sembuh seiring dengan meningkatnya kekebalan tubuh. Sebagian kecil akan menetap sampai ia dewasa.

Baca juga : Batuk Anak Tak Kunjung Sembuh, Waspadai Asma

Dari kiri - kanan : Zaskia Adya Mecca, dr Rosye Arosdiani Apip, dr Theresia Sandra Diah Ratih, Krishnanand Atreya Country President Director AstraZeneca, Rizman Abudaeri Direktur PT AstraZeneka Indonesia, Agus Soetianto Country Representative of Project HOPE Indonesia. 

Program Healthy Lung Indonesia

Sebagai upaya penanganan asma, AstraZeneca bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan, Project HOPE (LSM), dan Universitas Gadjah Mada menginisiasi program Healthy Lung Indonesia, untuk memperkuat peran puskesmas.

Dilakukan penelitian di 20 puskesmas di Bandung, 27 puskesmas/klinik di Bantul, Yogyakarta, dan 24 puskesmas di Banjar, Kalimantan Selatan, untuk mengatasi kesenjangan pengobatan asma.

Kegiatan intervensi dilakukan untuk mengatasi masalah seperti ketersediaan infrastruktur dan obat-obatan yang tepat, meningkatkan pengetahuan dokter puskesmas/penderita tentang asma dan pengobatannya, dll.

Rizman Abudaeri, Direktur PT AstraZeneca Indonesia, dalam kesempatan yang sama menjelaskan dari total pasien asma yang berkunjug ke puskesmas hanya 10% yang terkontrol sempurnya (tidak membutuhkan banyak obat pelega), sisanya terkontrol sebagian atau tidak terkontrol sama sekali.

“20% pasien yang berkunjung ke puskesmas adalah usia sekolah, 46% pasien asma di puskesmas adalah usia kerja. Jadi beban ekonomi dan produktivitasnya luar biasa,” terang Rizman.

Dengan meningkatkan pelayanan selama program intervensi di puskesmas, pasien asma yang menggunakan obat pengontrol inhalasi mengalami peningkatan status asma terkontrol, dibandingkan yang menggunakan terapi oral.

Jumlah pasien yang berkunjung balik ke puskesmas meningkat. Artinya, semakin sedikit pasien yang dirujuk ke rumah sakit rujukan sehingga ikut menekan biaya pengobatan yang harus ditanggung oleh BPJS Kesehatan. (jie)