Kaki bengkok pada bayi (clubfoot) adalah salah satu masalah ortopedik bawaan yang kerap terjadi. Walau tidak berbahaya, kondisi ini mengkhawatirkan setiap orangtua.
Di banyak kasus kaki bengkok pada bayi, orangtua membawanya ke tukang pijat/urut. Berharap proses pemijat bisa meluruskan kondisi kaki tersebut. Namun banyak juga orangtua yang kecele, karena kaki si kecil tetap menekuk ke dalam.
Masih banyak orang menganggap kaki bengkok pada bayi akibat tidak dibedong. Ini adalah mitos. Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), semua bayi lahir dengan kondisi lutut bengkok, yang berarti kedua tumit saling mendekat dan kedua lutut saling menjauh, membentuk huruf O.
Seiring waktu, biasanya kondisi ini akan membaik dengan sendirinya. Namun pada beberapa kasus, kaki bengkok terjadi. Bisa jadi merupakan kondisi postural atau kelainan struktural.
Dalam istilah medis kondisi ini disebut congenital talipes equinovarus (CTEV), penyakit kelainan bawaan anggota gerak yang paling sering terjadi. Hasil penelitian March of Dimes Birth Defect Foundation di Indonesia tahun 1980 - 2001 menyebutkan jumlah bayi yang mengalami kelainan bawaan mencapai 59,3 per 1000 kelahiran hidup.
Dari jumlah tersebut CTEV merupakan salah satu jenis kelainan bawaan yang memiliki angka kejadian lebih tinggi dari jenis kelainan bawaan lainnya yaitu mencapai 21,9% dari jumlah total bayi dengan kelainan bawaan.
Penyebab dari CTEV masih belum diketahui secara pasti namun beberapa faktor seperti genetik dan lingkungan berkontribusi meningkatkan risiko terjadinya CTEV. CTEV ditandai dengan adanya perubahan pada empat struktur utama yaitu kaki tengah cavus, kaki depan adduksi, tumit varus dan kaki belakang equinus.
Dr. Asa Ibrahim, SpOT, dalam akun X-nya (dulu Twitter) menjelaskan, dengan perawatan segera dan tepat, angka kesembuhan kaki bengkok pada bayi sangat tinggi. Terapi lini pertama dengan persentasi keberhasilan tinggi adalah melalui pemasangan gips (metode Ponseti).
“Penanganan CTEV yang optimal adalah segera, dengan pemasangan gips secara serial (beberapa minggu), untuk mengoreksi bengkok pada kaki pasien,” tulisnya.
Secara bertahap kaki bayi yang bengkok diluruskan perlahan dengan pemasangan gips selama 4-6 minggu. Dr. Asa melanjutkan, “Tidak bisa langsung ditarik lurus, harus bertahap, dengan gentle, dan tepat sehingga tidak menyakiti dedek bayi.”
Metode Ponseti diperkenalkan oleh Ignacio Ponseti pada tahun 1940. Dilaporkan memiliki tingkat keberhasilan mencapai lebih dari 90%, sehingga sampai saat menjadi gold standar dalam penanganan CTEV.
Terapi ini diprioritaskan untuk bayi usia < 2 tahun, hal ini ditujukan agar remodeling tulang dapat maksimal dan mencegah kelemahan jaringan ikat.
Kepatuhan orangtua
Masalah utama terapi kaki bengkok bayi ini justru bukan pada si kecil, melainkan orangtuanya. “Sering kali bayi yang digips ini ngerawatnya lebih susah, rewel, sehingga gak tuntas pengobatannya bukan gara-gara bayinya, tetapi karena orangtuanya capek, nyerah,” terang dr. Asa.
“Gak sekali dua kali dipasang gips 2-3 x terus pasien sudah tidak kontrol lagi, padahal progresnya bagus, tapi orangtuanya capek, males, akhirnya dengar bisikan orang-orang tidak bertanggung jawab tidak perlu digips untuk sembuh.”
“Yang terjadi? Kambuh, tambah parah, kaku, jalannya gak bagus.”
Pada kasus di mana kaki bengkok terlambat diterapi, terlanjur kaku/susah berjalan, sering kali pemasangan gips saja tidak efektif. Dibutuhkan terapi yang lebih invasif, mulai dari operasi kecil hingga operasi besar.
Setelah koreksi total dengan gips serial, untuk mencegah kekambuhan, si kecil perlu menggunakan foot abduction brace (FAB). Penggunaan FAB dipertahankan selama 3 bulan penuh waktu (selama 23 jam per hari), kemudian dilanjutkan dengan waktu tidur siang dan malam selama 4 tahun.
“Habis lewat periode itu, insya Allah tanpa sepatu sudah aman, adek kakinya baik lagi, fungsinya baik lagi, siap jadi the next Bambang Pamungkas!” katanya.
Banyak kelainan bawaan pada bayi jika penanganannya cepat dan tepat, memberikan hasil yang baik, tanpa memerlukan tindakan operasi. (jie)