Anak membutuhkan stimulasi, yang merangsang semua fungsi tubuhnya. Caranya sebaiknya dilakukan dengan bermain bentuk-bentuk kata. Fungsi penglihatan terstimulasi dengan melihat tulisan, fungsi pendengaran dari ibu yang membacakan kata-kata, fungsi kasih sayang dengan pelukan.
Menurut Prof. Dr. dr Soedjatmiko, SpA(K), MSi, memberikan nutrisi yang baik saja belum cukup tanpa adanya stimulasi yang tepat. Riset menyatakan ibu hamil yang diberi asupan tinggi DHA (dokosaheksaenoat acid) yang mampu meningkatkan kecerdasan, tidak menunjukkan adanya kadar Brain Derived Neurotrophic Factor (BDNF) yang bermakna di tali pusat bayi.
BDNF adalah protein dalam darah yang menunjukkan aktivitas otak. Penelitian pada hewan dan manusia dewasa menunjukkan stimulasi fisik, visual dan auditori meningkatkan pengeluaran BDNF di amigdala (bagian otak yang mengatur emosi), dan hippokampus (bagian otak yang berhubungan dengan memori).
Prof. Sudjatmiko menegaskan, “Pertumbuhan otak anak pesat-pesatnya pada 2-3 tahun pertama. Kecepatan BDNF pada bayi muda lebih cepat dibanding bayi yang lebih tua.”
Peningkatan BDNF berdampak pada perangsangan transmisi di sinaps (percabangan yang menghubungkan sel otak satu dengan lainnya, untuk menghantarkan sinyal kimia atau listrik). Semakin padat/ruwet sinaps dalam otak si kecil, berarti dia semakin pintar.
Mengukur BDNF
Prof. Soedjatmiko melakukan riset mengukur BDNF dalam darah anak. Penelitian dilakukan pada 80 anak sehat; 40 anak masuk kelompok stimulasi, 40 anak kelompok kontrol (tanpa stimulasi).
Metode yang dilakukan dengan melatih ibu, untuk menunjukkan 15 kata sederhana (mama, papa, susu, bola, kakak, adik, mandi, pipis, dll) dalam satu hari.
Duduk berhadapan dengan anak, ibu membacakan urutan kata. Diulang 3x/hari. Setiap hari, ditambahkan 5 kata baru dan 5 kata lama dibuang. Dilakukan 4 hari/minggu selama 8 minggu, sampai total yang dikenalkan adalah 60 kata.
Kegiatan ini dihentikan/ditunda jika si kecil capek, mengantuk atau sudah tidak mau bermain. “Lakukan saat anak mau bermain, tidak ada waktu-waktu khusus,” ujar Prof. Soedjatmiko.
Pada minggu ke 9, dilakukan uji bermain mengenal kata untuk kelompok stimulasi dan minggu ke 10 pada kelompok kontrol. Uji bermain mengenal kata dilakukan dengan cara ibu menunjukkan dan membacakan 4 – 6 kata, kemudian mengambil 2 kata dan menunjuk satu kata yang ditanyakan ibu.
Anak harus menunjuk 1 kata yang ditanyakan, bukan dengan mengucapkan atau membacanya. Setelah anak menunjuk atau tidak menunjuk kata dalam 1 menit, ibu memeluk dan mencium anak sambil berseru : hore ! tanpa menilai pilihan anak benar atau salah.
Hasilnya, kadar BDNF kelompok stimulasi lebih tinggi dibanding kelompok kontrol. Peningkatan BDNF pada kelompok stimulasi sebanyak 24,6 %, sedangkan di kelompok kontrol BDNF justru turun sebesar 12,34%. Yang menarik, di awal penelitian kadar BDNF pada kelompok stimulasi lebih rendah dari kelompok kontrol. Namun dengan stimulasi selama 8 minggu, terjadi peningkatan yang bermakna.
Demikian pula dengan kemampuan mengenali tulisan/kata; bahkan pada kelompok kontrol yang hanya mendapat stimulasi selama 1 minggu. Mereka dapat menunjuk 1 dari 2 kata dengan benar sebesar 50%, 1 dari 3 kata 29% dan 1 dari 4 kata 19%.
“Disimpulkan, stimulasi bermain menunjukkan dan membacakan kata terbukti meningkatkan kemampuan anak mengenali tulisa kata. Ini berkaitan dengan fungsi pembelajaran dan memori anak,” papar Prof. Soedjatmiko.
Kasih sayang penting
Faktor-faktor yang berperan pada peningkatan BDNF, antara lain kekerapan ibu menunjukkan dan membacakan kata (24 kali selama 9 minggu). Selain itu, ada faktor emosi sosial (pelukan dan ciuman) untuk menghasilkan peningkatan BDNF yang optimal. Hal ini tidak pernah dilaporkan dalam penelitan-penelitian sebelumnya, pada orang dewasa dan binatang.
Menurut Prof. Soedjatmiko, faktor emosi-sosial, kognitif dan stimulasi berperan penting dalam proses pembelajaran dan memori. “Stimulasi anak usia dini harus dilakukan dalam suasana menyenangkan, tanpa paksaan dan dilakukan pengulangan,” ujarnya.
Ekspresi sayang orangtua dibutuhkan, sebagai landasan membentuk kepercayaan anak bahwa ia disayangi dan dibutuhkan, sehingga anak dapat meningkatkan perkembangan emosi-sosial dan rasa percaya dirinya. (jie)