Anemia Sebabkan Gangguan Emosi dan Kecerdasan Anak | OTC Digest

Anemia Sebabkan Gangguan Emosi dan Kecerdasan Anak

Wajah dan telapak tangan pucat berkepanjangan, lesu, gampang pusing, detak jantung lebih cepat dan daya tahan tubuh lemah. Inilah gejala anak yang mengalami anemia defisiensi besi (ADB); istilah awamnya: kurang darah.

Anemia defisiensi besi adalah kurangnya kadar haemoglobin (Hb) dalam darah, akibat kurang zat gizi yang diperlukan untuk pembentukan Hb. Di Indonesia, sebagian besar anemia akibat kekurangan zat besi (Fe). Haemoglobin berfungsi membawa oksigen ke seluruh tubuh, dan membawa zat CO2 kembali ke paru-paru untuk dibuang keluar tubuh.

Zat besi berperan penting dalam perkembangan sistem saraf. Diperlukan dalam proses mielinisasi (pembentukan selubung saraf), neurotransmitter (penghantaran pesan di otak), dendritogenesis (pembentukan cabang sel saraf di otak) dan metabolisme saraf. Dan selubung saraf (mielin) penting dalam kecepatan berpikir anak.

“Kekurangan zat besi sejak dalam kandungan sampai anak usia dua tahun, membuat kemampuan anak terhambat dalam berbagai aspek emosi, konsentrasi, perilaku dan kecerdasan,” ujar dr. Elvina Karyadi, Msc, PhD, SPGK, Direktur Mikronutrient Initiative Indonesia. 

Ternyata, cukup banyak kejadian anemia di Indonesia. “Puslibang Gizi Bogor 2007 mencatat, rerata anemia dari 10 provinsi di Indonesia adalah 26,3 %,” tambah dr. Elvina.

Angka tertinggi ditemukan pada akhir masa bayi dan awal masa anak-anak; di antaranya karena defisiensi zat besi saat kehamilan. Ibu hamil yang mengalami kekurangan zat besi, dengan sendirinya melahirkan bayi yang kekurangan cadangan zat besi. Demikian pula dengan bayi berat lahir rendah (BBLR), risiko anemia defisiensi besi meningkat.  

Cadangan zat besi pada ASI hanya cukup untuk 4-6 bulan. Setelah itu, bayi perlu penambahan zat besi. Jika ibu tidak memberikan ASI ekslusif (0-6 bulan) dan menggantinya dengan susu formula, anemia lebih rentan terjadi.

Anemia defisiensi besi juga banyak ditemukan pada remaja akibat percepatan tumbuh, yang dan diperberat oleh kehilangan darah akibat menstruasi pada remaja putri.

Dr. Hardiono Pusponegoro, SpA(K), pakar Neurolog anak dari FKUI menjelaskan suplementasi besi diberikan kepada semua anak, dengan prioritas usia balita (0-5 tahun), terutama usia 0-2 tahun.

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) merekomendasikan untuk BBLR diberikan preparat besi oral dengan dosis 3 mg/kgBB/hari dari usia 1 bulan sampai 2 tahun, setiap hari. Untuk bayi cukup bulan dan berat normal diberikan 2 mg/kgBB/hari sejak usia 4 bulan – 2 tahun.

“Dosis maksimum untuk bayi: 15 mg/hari, dosis tunggal. Kemudian pada balita, usia 2-5 tahun, dan usia sekolah, 6-12 tahun, diberikan suplemen Fe sebanyak 1mg/kgBB/hari selama 2x/minggu selama 3 bulan berturut-turut setiap tahun. Khusus remaja perempuan ditambah 400 µg asam folat,” jelas dr. Hardiono.

Kadang, suplementasi Fe perlu tambahan vitamin C 2x 50 mg/hari untuk meningkatkan penyerapan besi, dan asam folat 2 x 5-10 mg/hari untuk meningkatkan pembentukan sel darah merah. Namun, ada pula beberapa suplemen yang tidak membutuhkan tambahan vit. C.

Zat besi juga bisa didapatkan dari sumber alami: daging merah, hati ayam dan sayuran hijau. Untuk mencegah konstipasi sebagai efek samping pemberian preparat besi, anak perlu  banyak minum. (jie)