Alergi makanan, khususnya alergi susu sapi meningkatkan stunting dalam jangka panjang. Menurut penelitian, stunting ditemukan pada 9% anak dengan alergi makanan. Risiko semakin meningkat hingga mencapai 24% pada kelompok anak yang didiagnosis alergi protein susu sapi.
Stunting dalah perawakan pendek yang disertai penurunan kognitif dan gangguan perkembangan, akibat malnutrisi kronis. Hubungan sebab-akibat antara alergi susu sapi dengan stunting cukup kompleks. Dijelaskan oleh Dr. dr. Zahrah Hikmah, Sp.A(K), batita membutuhkan asupan makronutrisi dan mikronutrisi yang cukup untuk menunjang tumbuh kembangnya.
Mengapa Alergi Susu Sapi Meningkatkan Risiko Stunting
Nutrisi yang paling krusial untuk mencegah stunting adalah protein hewani. “Sementara itu, makanan yang bersifat alergen umumnya yang mengandung protein dan lemak yang penting,” ungkap Dr. dr. Zahrah. Ini disampaikannya dalam webinar Bicara Gizi bertajuk Ketahui Kaitan Anak Alergi Susu Sapi dengan Stunting yang diselenggarakan oleh Danone Specialized Nutrition (SN) Indonesia dalam rangka memeringati Allergy Awareness Week 2023, beberapa waktu lalu.
Susu sapi adalah salah satu sumber protein hewani yang baik untuk si Kecil karena juga mengandung zat-zat gizi lainnya untuk tumbuh kembangnya, seperti kalsium, kalium, vitamin B12, dan vitamin D.
Sayangnya, semua nutrisi penting ini tidak bisa diterima oleh anak yang alergi susu sapi, lantaran sistem imunnya menganggap protein susu sapi sebagai zat asing yang berbahaya. “Jika alergi susu sapi pada anak tidak diatasi dengan baik, maka dapat berpotensi terjadi dampak yang berkepanjangan. Diet eliminasi yang tidak tepat tanpa penggantian jenis makanan yang memadai berpotensi menimbulkan stunting pada anak,” papar dr. Zahrah.
Baca juga: Beda Alergi Susu Sapi dengan Intoleransi Laktosa
Bila anak mengalami alergi susu sapi ataupun makanan lainnya, orang tua cenderung terlalu berhati-hati dalam memberikan makan pada anak yang alergi, sehingga banyak makanan yang dipantang tanpa dasar yang jelas. “Akibatnya, si Kecil kekurangan makanan yang penting. Ditambah lagi nafsu makannya mungkin menurun karena pilihan makanan terbatas,” tutur Dr. dr. Zahrah.
Belum lagi, anak yang alergi cenderung lebih sering sakit sehingga kebutuhan nutrisinya meningkat, tapi tidak terpenuhi. Nafsu makan anak pun makin bekurang lagi saat sakit. Selain itu, “Anak alergi juga rentan mengalami radang saluran cerna, yang bisa mengganggu penyerapan nutrisi.” Hal-hal tersebutlah yang menjadi alasan mengapa alergi susu sapi meningkatkan risiko stunting.
Kenali Gejala Alergi Sedini Mungkin
“Deteksi dini alergi susu sapi penting sekali untuk mencegah terjadinya stunting,” tegas Dr. dr. Zahrah. Untuk itu, penting untuk mengenali gejalanya secara dini. Gejala alergi susu sapi bisa muncul di saluran cerna (diare, kolik), kulit (gatal-gatal, dermatitis atopik), maupun di saluran napas (asma, rinitis). “Coba perhatikan apakah gejala-gejala seperti itu sering berulang dengan pemicu yang sama? Apakah ada riwayat alergi pada keluarga? Bila jawawabannya ya, curigai kemungkinan alergi,” lanjutnya.
Bila gejalanya batuk/pilek, perhatikan tanda-tanda lain berikut ini. Apakah disertai demam? Siang lebih dominan dibandingkan dengan pagi/malam? Dahak/ingus kental atau berwarna? “Bila semua jawabannya ‘tidak’, pikirkan alergi. Bila ada jawaban ‘ya’, pikirkan infeksi,” imbuhnya.
Untuk memastikan diagnosis, tentunya harus dilakukan oleh dokter. Orang tua disarankan untuk mencatat makanan harian si Kecil, dan ibu bila bayi masih mendapat ASI. Bila diperlukan, bisa dilakukan uji tusuk alergi (skin prick test) dan IgE Spesifik dalam darah. Selanjutnya, dokter akan memberikan uji eliminasi dan provokasi. Yaitu memantang alergen, diikuti dengan mencoba lagi, dalam pengawasan dokter.
Pengganti Susu Sapi yang Tepat
Pada dasarnya, anak dengan alergi susu sapi bisa tumbuh dan berkembang normal seperti anak lainnya. Yang penting, anak mendapatkan makanan pengganti yang tepat, yaitu protein hewani. “Bisa telur, ikan, ayam, seafood atau daging. Berikanlah protein hewani yang bisa diterima anak. Jangan hanya pangan nabati,” tegas Dr. dr. Zahrah.
Alergi susu sapi bisa sendiri menghilang (remisi) dengan sendirinya seiring pertambahan usia anak. Di tahun pertama, angka remisinya 45-55%; di tahun kedua 60-75%; dan di tahun ketiga, 90% anak mengalami remisi.
Pada bayi yang masih mendapat ASI eksklusif, maka ibu yang harus menghindari makanan yang memicu alergi pada bayi. Itu sebabnya, ibu perlu mencatat asupan makanan harian, agar bisa diketahui makanan apa yang memicu alergi. “Bila bayi ternyata menunjukkan gejala alergi ketika ibu mengonsumsi susu sapi, maka ibu harus menghindari semua produk yang mengandung susu sapi dan turunannya,” papar Dr. dr. Zahrah.
Bagaimana bila bayi tidak bisa mendapat ASI? “Pilihannya adalah susu formula hidrolisat ekstensif, atau susu asam amino,” terangnya. Juga tersedia susu formula soya yang terbuat dari isolat protein kedelai, tapi IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) tidak menyarankannya untuk bayi usia 0-6 bulan, kecuali pada keadaan khusus. Misalnya masalah ekonomi keluarga, bayi tidak bisa menoleransi susu formula jenis lain, atau keluarga menjalankan pola makan vegetarian.
“Adapun formula hidrolisat parsial (partially hydrolyzed) tidak boleh diberikan kepada anak yang sudah dinyatakan alergi susu sapi,” tandas Dr. dr. Zahrah. Formula jenis ini bisa dberikan pada anak yang belum menunjukkan gejala alergi, tapi ada riwayat alergi di keluarga.
Baca juga: Susu Hipo Alergenik
Selewat usia 6 bulan, bayi mulai mendapat MPASI. “MPASI tetap mengikuti, tidak mengandung protein susu sapi dan turunannya. Kalau makanan padat sudah mencukupi kebutuhan, maka susu formula tidak lagi menjadi sumber gizi utama. Pemberian susu dan jenisnya disesuaikan diagnosis terakhir, apakah masih alergi ataukah sudah toleran,” tutur Dr. dr. Zahrah. Bila bayi masih alergi, maka pilihannya yaitu formula hidrolisat ekstensif, asam amino, atau isolat kedelai.
Jangan lalai memonitor tumbuh kembang si Kecil. “Dalam enam bulan pertama, monitoring berat badan, panjang badan, dan kepatuhan pantang di usia 1, 2, dan 4 bulan,” ucap Dr. dr. Zahrah. Pada enam bulan berikutnya dilakukan evaluasi terhadap berat badan, panjang badan, dan kepatuhan pantang di usia 6, 9, dan 12 bulan. “Ini sambil dicoba, dilakukan provokasi terhadap susu sapi. Kalau masih ada gejala alergi maka pantangan dilanjutkan,” imbuhnya.
Alergi susu sapi meningkatkan risiko stunting, tapi ini bisa dicegah. “Prinsip utama terapi adalah menghindari segala bentuk protein susu sapi, bukan dengan obat. Pemberian susu formula pengganti harus disesuaikan dengan kondisi bayi atau anak, dan sesuai dengan rekomendasi IDAI. Monitoring tumbuh kembang pada anak dengan alergi susu sapi harus dilakukan secara berkala,” pungkas Dr. dr. Zahrah. (nid)
____________________________________________
Ilustrasi: Image by master1305 on Freepik