makanan manis mengurangi kecemasan

Makanan Manis Mengurangi Kecemasan? Dietisien: "Belum Tentu"

“Setiap suapan terasa seperti kebahagiaan yang tak terhingga”. Ungkapan ini menggambarkan bagaimana kita menikmati suatu makanan. Ada kalanya kita makan sebagai pelampiasan emosi negatif. Namun lewat makanan pula kita bisa memperbaiki mood, bahkan kecemasan.

Pola makan berperan penting dalam kesehatan fisik dan mental, mempengaruhi energi, suasana hati dan ketahanan terhadap stres. 

Fitri Hudayani, SST, SGz, MKM, RD, Ketua PP Asosiasi Dietisien Indonesia (AsDI), menjelaskan, saat ini umum terjadi transformasi makanan - tidak sesederhana dulu -, membuat selain lebih menarik atau enak, juga tinggi kalori/gula. 

“Misalnya pisang goreng, sekarang ada pisang goreng coklat, pisang goreng macha. Teh manis jadi teh boba, dll,” katanya. Padahal biasanya kalau sedang stres kita cenderung konsumsi makanan/minuman manis untuk memperbaiki mood

Makanan/minuman kekinian tersebut umumnya tinggi gula dan punya indeks glikemik (IG) tinggi. Ini adalah nilai kecepatan makanan/minuman meningkatkan gula darah. Semakin tinggi nilai IG-nya semakin cepat gula darah terkatrol. Namun di satu sisi, semakin cepat pula ia turun. 

“Fluktuasi kadar gula darah dalam tubuh akan menyebabkan kelelahan dan kecemasan,” imbuh Fitri kepada OTC Digest. “Makanan yang tinggi gula dan lemak dapat mempengaruhi produksi serotonin dan dopamine sebagai neurotransmitter yang mengatur suasana hati dan kecemasan.” 

Neurotransmitter seperti serotonin, dopamine dan GABA (gamma-aminobutyric acid) berfungsi antara lain menghalang-halangi sinyal tertentu di sistem saraf pusat yang menyebabkan rasa cemas. Juga berperan aktif dalam ketenangan dan relaksasi tubuh, sehingga mengurangi kecemasan. 

Alasan lain Fitri tidak menyarankan makanan tinggi gula dan lemak adalah karana akan mempengaruhi komposisi mikrobiota usus dengan memproduksi senyawa pro-inflamasi (memicu peradangan) dengan memperburuk ‘komunikasi’antara usus dan otak. 

Ada istilah gut-brain axis di mana ada jalur komunikasi antara usus dan otak, misalnya saat kita merasa stres atau cemas biasanya muncul gangguan pencernaan, mules. 

“Alih-alih mengurangi kecemasan, justru menambah stres peradangan di dalam tubuh,” terang Fitri.  

Sejalan dengan pendapat di atas, Prof. Ir. Endang S. Rahayu, MS, Guru Besar Mikrobiologi Pangan, Universitas Gadjah Mada, menambahkan otak sehat didukung oleh fisiologi usus yang normal, didukung pula oleh mikrobiota usus yang normal (normobiosis).

Ada hubungan saling mempengaruhi antara kesehatan mental dengan fungsi usus yang tidak normal. Berkaitan dengan adanya dysbiosis (ketidakseimbangan komposisi mikrobiota usus; bisa didominasi bakteri patogen), dan terjadi peningkatan jumlah sel-sel peradangan. 

Dysbiosis usus berdampak pada gangguan neurologikal,” Prof. Endang menekankan.  

Makanan yang direkomendasikan 

Dari sisi gizi, tidak ada makanan tertentu yang bisa mengatasi masalah spesifik. Semuanya adalah gabungan dari konsumsi makanan sehat, yang akhirnya membantu kesehatan fisik dan mental secara holistik.

Fitri menekankan pentingnya: 

  1. Konsumsi makanan dengan pola gizi seimbang yang lengkap dan bervariasi
  2. Konsumsi makanan sumber omega-3 (ikan laut, kuning telur, kacang-kacangan, alpukat, dll) dan sumber vitamin yang dapat mengoptimalkan kerja otak
  3. Konsumsi prebiotik (serat dari sayur/buah) dan probiotik (bakteri baik) untuk mengoptimalkan kerja usus dan komunikasi usus dengan otak
  4. Hindari makanan olahan, makanan tinggi gula dan lemak

Probiotik dan perbaikan gejala depresi

Probiotik berperan dalam menghasilkan zat-zat penting untuk kesehatan otak, yang dapat mencegah kecemasan maupun depresi, yaitu, asam lemak rantai pendek (SCFA), GABA, norepinephrine, dopamine, serotonin, serta interleukin 10 (IL-10) yang penting sebagai antiinflamasi. 

“SCFA juga dapat menekan munculnya beberapa komponen yang menyebabkan kecemasan maupun depresi,” imbuh Prof. Endang.

Mikrobiota usus berperan dalam memodulasi homeostasis sistem saraf pusat. Sebaliknya dalam kondisi dysbiosis dapat mengganggu kesehatan otak, ini terkait dengan kondisi depresi dan kecemasan.

“Riset pada mahasiswa kedokteran yang akan menghadapi ujian nasional di Jepang menunjukkan konsumsi minuman fermentasi susu yang mengandung probiotik L.casei strain Shirota (LcS) selama 8 minggu menunjukkan, konsumsi probiotik LcS setiap hari dapat menjaga keanekaragaman mikrobiota usus, dan meredakan respons disfungsi perut terkait stres,” Prof. Endang menguraikan. 

Studi lain dilakukan pada pasien depresi mayor. Diketahui jumlah bakteri probiotik jenis Lactobacilli dan Bifidobacterium di usus pasien depresi mayor lebih rendah dibanding orang normal. Partisipan diminta mengonsumsi minuman probiotik LcS selama 12 minggu. 

Hasilnya, peringkat depresi berkurang secara signifikan setelah konsumsi LcS. Probiotik (Bifidobacterium dan Atopobium dari filum Actinobacteria) meningkat. Penelitian yang diterbitkan di jurnal Microorganism ini menyimpulkan konsumsi strain Shirota dapat meringankan gejala depresi, didukung oleh populasi Actinobacteria yang meningkat. 

“Berdasarkan studi-studi yang sudah dipublikasikan, dilaporkan tidak ada indikasi adanya efek samping dengan konsumsi probiotik,” pungkas Prof. Endang. (jie)